Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis hasil Survei Nasional Literasi Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2024. Survei tersebut menunjukkan bahwa Gen Z masih memiliki indeks literasi dan inklusi keuangan yang rendah dibandingkan dengan kelompok lainnya, terutama yang berada pada kelompok usia 15-17 tahun.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi mengungkapkan, anak muda paling berisiko mengalami masalah keuangan karena minimnya literasi. Hal ini sangat disayangkan karena generasi muda yang lebih melek dengan teknologi justru kurang dalam literasi keuangan.
Mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana dampaknya? Simak wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Jum Nabillah bersama Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Rizky Utami SE MAcc Fin tentang literasi keuangan dan inklusi keuangan Generasi Z, Minggu (11/08).
Bagaimana Anda melihat laporan terbaru OJK tersebut?
Memang betul bahwa OJK dan bahkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah sosialisasikan hasil semuanya. OJK bilang bahwa ternyata generasi yang usia 15-17 tahun, sebutannya sekarang Gen Z itu justru rendah atau boleh dibilang masih menengahkan kapasitas literasi keuangannya.
Kenapa bisa sampai seperti itu? Pertama, kalau kita lihat pertanyaan-pertanyaan surveinya itu memang menanyakan terkait produk-produk keuangan. Apakah mereka paham bagaimana mengelola keuangan. Misalnya apakah pernah mereka ikut langsung membeli produk-produk perbankan, obligasi, atau surat utang negara dan sebagainya.
Jadi survei itu menunjukkan bahwa banyak pertanyaan-pertanyaan keuangan yang mungkin justru malah Gen Z ini tidak begitu mengenal istilah-istilah itu, atau bahkan tidak begitu paham sama sekali.
Apa yang membuat kelompok ini kurang dalam literasi keuangan?
Kalau kita lihat perilaku Gen Z, itu karena mereka lahir seiring perkembangan teknologi. Jadi boleh dikatakan bahwa hampir semua Gen Z ini punya smartphone, punya teknologi yang digunakan.
Teknologi membuat Gen Z memiliki keinginan untuk mendapatkan validasi bahwa mereka tidak kelewatan dengan banyak tren di media sosial saat ini. Istilahnya FOMO (Fear of missing Out). Jadi ikut-ikut tren itu jadi satu hal kebanggaan bagi Gen Z.
Kedua, mereka juga terlihat takut berbeda atau mungkin ikut dengan tren yang ada, seperti FOMO, YOLO (You Only Live Once), istilah-istilah itu selalu muncul. Dan karena hal ini yang membuat mereka tidak mengecek kondisi keuangannya terlebih dahulu dan akhirnya ikut terlibat dalam pusaran pasar media sosial yang ada.
Apakah hal itu ada kaitannya dengan status mereka yang masih menjadi tanggungan orang tua?
Jadi memang bahwa usianya 15-17 biasanya masih ditanggung oleh orang tua atau bahkan ada beasiswa yang mereka terima. Mereka bisa saja berpikiran bahwa ternyata saya tidak perlu punya tanggung jawab untuk mencari sumber penghasilan. Karena selama ini mereka merasa nyaman dengan kondisi seperti itu, jadi lebih gampang mengeluarkan uangnya.
Makanya literasi keuangan atau edukasi terkait mengelola keuangan itu perlu diterapkan sedini mungkin. Di level sekolah, SMP, SMA itu harus dikenalkan bahwa ini uang, kamu bisa belanja untuk apa. Mereka harus diperkenalkan bahwa kalau kamu belanjakan untuk aset produktif kira-kira berapa penghasilan ke depan yang kamu peroleh.
Bahkan harus diperkenalkan juga, bahwa ternyata ada aktivitas keuangan selain menabung yang bisa kamu lakukan, misalnya berinvestasi, membeli peralatan atau produk-produk yang bisa meningkatkan nilai jual aktivitas atau pekerjaannya.
Jadi sebenarnya tidak masalah kalau punya keinginan besar untuk belanja, tapi harus memilah mana yang kira-kira bisa menghasilkan ke depan supaya bisa tercapai financial freedom. Kemandirian secara finansial itu penting sekali menurut saya untuk diajarkan di usia yang lebih dini.
Seberapa penting inklusi dan literasi keuangan ini bagi masyarakat, terutama bagi pelajar?
Penting sekali. Mereka harus punya pemahaman tentang bagaimana mengelola keuangannya. Supaya tidak asal membeli produk dan jasa atau sampai mereka terjerat pada pinjaman online atau aktivitas judi online yang saat ini lagi marak.
Bagaimana dampak dari minimnya literasi keuangan pada kelompok usia 15-17 tahun?
Pertama, mereka merasa tidak mau terkucilkan, mau ikut-ikutan, membeli sesuatu bukan berdasarkan kebutuhan. Karena sangat dimudahkan untuk belanja dan mereka punya literasi di bidang itu, tapi tidak punya kapasitas atau literasi keuangan yang cukup. Jadi ini yang harus dikhawatirkan ke depannya.
Kedua, mereka tidak mengecek dulu kondisi keuangannya, lalu akhirnya terjerat pinjaman online (Pinjol). Keuangannya itu perlu diatur dengan baik dan bijak supaya bisa masuk ke level income yang tidak mencemaskan. Ini supaya nanti tidak perlu lagi terjerat dengan pinjol atau bahkan judi online. Banyak sekali dampak negatif yang bisa muncul dan itu bisa dicegah melalui edukasi literasi keuangan.
Jadi kalau dikatakan masih kurang untuk literasi keuangan, OJK sudah melakukan survei itu. Kemudian kalau kita ngecek lagi, memang iya mereka mengikuti tren FOMO itu dan YOLO itu. Mereka masih di pusaran pasar media sosial yang cukup besar. Akhirnya mungkin yang harus kita coba lakukan saat ini adalah mengedukasi. Jadi memang literasi keuangan itu terus kita booming-kan.
Apa pengaruh dari kurangnya literasi dan inklusi keuangan ini terhadap perekonomian?
Sikap, perilaku, cara berpikir, dan cara bersikapnya Gen Z itu bisa berpengaruh di dua sisi. Ada yang sifat positif karena dapat meningkatkan penjualan dari Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan bahkan produk-produk lokal.
Kalau dari sudut pandang ekonomi, pertumbuhan pendapatan ekonomi yang ada pasti signifikan karena jumlah penduduk kita itu hampir 30 persen diisi oleh populasi Gen Z. Jadi Gen Z ini cukup besar akan berpengaruh terhadap pendapatan ekonomi negara ke depan.
Sebaliknya, kalau misalnya Gen Z-nya ternyata lemah secara finansial dan bahkan terjerat pinjol di mana-mana atau aktivitas judi online banyak digandrungi oleh Gen Z, itu justru membahayakan perekonomian kita ke depan.
Bagaimana literasi keuangan ini berdampak pada target Indonesia Emas 2045?
Literasi keuangan ini termasuk salah satu indikator Human Development Index (HDI) Indonesia. Kapasitas dan pengetahuan terkait bagaimana mengelola keuangan itu menjadi indikator mereka punya skill dan kualitas yang bagus, termasuk Sumber Daya Manusia (SDM).
Kalau bicara soal jumlah populasi generasi muda kita, yang istilahnya generasi usia produktif untuk bekerja, itu cukup besar dan bisa menjadi emas atau justu menjadi “cemas” kalau tidak dimanfaatkan dengan baik. Justru yang tadi mereka ini adalah SDM yang konsumtif malah menjadi beban negara. Jadi itu yang kita coba untuk cegah sedini mungkin, karena masih ada waktu dan menurut saya yang paling utama adalah perbaiki literasi, pendidikan.
Sejauh ini, upaya apa yang telah dilakukan untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan?
Sebenarnya banyak, cuman adanya di online dan dilaksanakan oleh pihak luar. Jadi mungkin kalau Gen Z itu sendiri melihat itu tidak penting dia tidak akan mengikuti kursusnya. Tapi kalau misalnya kita buatkan secara terstruktur di institusi pendidikan mau tidak mau mereka akan menerima materinya.
Saat ini OJK bekerja sama dengan kampus-kampus PTN-BH, juga bekerja sama dengan Unhas untuk melakukan survei. Jadi nanti di Balance (Basic Learning Skills, Character and Creativity) itu akan dibagi survei terkait literasi keuangan itu. Tapi menurut saya itu tidak hanya berhenti di survei, tapi perlu ada pelatihan lanjutan. Dan kalau bisa di balance juga harusnya ada informasi atau materi terkait literasi keuangan, mungkin itu yang paling efektif.
Selain itu, semakin banyaklah kita membuat kegiatan-kegiatan sosialisasi literasi keuangan itu. Karena menurut saya bukan hanya penting bagi ibu-ibu saja atau orang tua atau yang sudah berkeluarga, tapi sedini mungkin kita persiapkan generasinya kita untuk mengenal perilaku konsumsi serta alokasi keuangan dengan baik dan bijak. Itu jauh lebih penting untuk saat ini.
Sebagai seorang akademisi yang menaruh perhatian di bidang manajemen keuangan, apakah ada kiat-kiat untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi dan inklusi keuangan ini?
Saya selalu berangkat pada hal yang terdekat dari diri sendiri. Misalnya kita ini sadar betul bahwa literasi keuangannya jangan sampai rendah, maka yang dilakukan adalah sosialisasi, edukasi. Edukasi dan sosialisasi itu bisa dilakukan melalui institusi pendidikan.
Kedua, membentuk semacam diskusi. Diskusi-diskusi kecil yang mungkin tidak butuh dana besar, tapi dapat meningkatkan kepedulian atau bahkan mengerti soal isu literasi keuangan.
Selain itu, kita perlu bekerja sama dengan banyak sektor. Sektor pendidikan, sektor perekonomian, keuangan, dan semuanya itu harus bersama-sama bergerak untuk membantu supaya Gen Z ini jangan sampai terjerat pada hal-hal yang negatif.
Apa harapan Anda ke depannya?
Saya berharap para orang tua atau siapapun yang punya relasi dengan Gen Z ini untuk bisa membangun hubungan emosional yang baik dan mengedukasi. Jadi Gen Z harus melek dengan produk mana yang dibutuhkan, bukan karena ikut-ikutan.
Gen Z punya kesempatan dan potensi yang besar. Jangan sampai nanti justru malah tidak begitu dimaksimalkan perannya karena mereka sudah lupa dengan tujuannya.
Informasi Narasumber:
Rizky Utami SE MAccFin
Riwayat Pendidikan:
Sarjana Akuntansi, Universitas Hasanuddin (2015)
Magister Accounting and Finance, The University of Adealide, Indonesia (2019)