Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia kerap kali disertai dengan euforia berbagai perlombaan yang dilakukan oleh masyarakat. Seringnya dikenal sebagai lomba 17-an. Dalam hal ini masyarakat atau panitia lomba akan menuangkan kreativitas mereka untuk membuat berbagai lomba demi memeriahkan hari kemerdekaan.
Namun pernahkah terbesit di benak Anda mengapa Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia identik dengan perlombaan seperti panjat pinang, makan kerupuk dan lain sebagainya? Apakah ada sejarah kolonialisme di baliknya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Reporter PK identitas Unhas, Muhammad Mukram Mustamin melakukan wawancara langsung dengan Dosen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, A Lili Evita SHum MHum, Jumat (18/08).
Bagaimana awal mula munculnya kegiatan perlombaan dalam memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia?
Lomba 17 Agustus itu awalnya dari sistem pendidikan di Indonesia. Sekitar 1947 mulai ada kurikulum yang membahas mengenai hal tersebut. Kalau kita berbicara kurikulum berarti berarti berkaitan dengan sejarah pendidikan. Ada sejarah pendidikan yang basisnya tradisional ke modern yang dilanjutkan oleh pemerintah Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tahun 1947 berusahalah dibuat satu kurikulum untuk pengajaran, dikenal dengan nama Leer Plan. Jadi rencana pembelajaran yang diinginkan pada saat itu adalah bagaimana meningkatkan nasionalisme, terutama bagi anak anak dan bagaimana dia mengenal sejarah.
Kemudian perealisasian Leer Plan ini termasuk Lomba 17-an yang baru dilakukan pada 1950. Tidak langsung direalisasikan karena butuh proses perencanaan yang cukup panjang. Jadi pencetusan idenya pada 1947, kemudian perealisasiannya di tahun 1950. Setelah tahun 1950, sepertinya ada perkembangan lagi terkait kurikulum itu.
Mengapa kegiatan lomba pada saat itu hanya diperuntukkan untuk anak-anak?
Ingat, bahwasanya untuk membuat catatan penting dari perjalanan bangsa atau revolusi sebuah bangsa harus dimulai dari anak-anak, sehingga ini adalah persiapan jangka panjang. Bagi anak sekolahan, lomba bisa mengasah keterampilan mereka. Kalau di kelas mereka sudah mendapatkan pembelajaran. Dengan kata lain, melatih kognisinya di kelas. Jadi dua minggu atau bahkan satu bulan setelah 17-an ada persiapan dilakukan untuk mengikuti lomba-lomba untuk mengasah keterampilan mereka juga.
Lantas apakah benar bila perlombaan panjat pinang dibuat oleh Belanda dan menjadikan hal tersebut sebagai tontonan tertawaan bagi mereka?
Sebenarnya kita harus membalik cara pandang terkait dengan kolonialisme penjajahan. Kita adalah tuan di rumah kita. Kita tidak bisa memandang bahwasanya orang luar itu adalah tuan. Tradisi mengenai permainan tradisional itu sudah dilakukan jauh sebelum adanya kolonial.
Adapun lomba tradisional seperti panjat pinang itu bisa jadi merupakan tradisi masyarakat pantai yang suka memanjat pohon kelapa. Kemudian mereka punya ide untuk melakukannya di sebuah lapangan dan menjadikannya sebagai perlombaan. Yang mengajarkan mereka bisa sampai di atas bukan orang kolonial, itu hanya tontonan mereka. Teknik untuk bisa mencapai puncak itu masyarakat pribumi yang lebih tahu caranya.
Mengapa lomba yang dibuat untuk mengenang masa-masa penjajahan tersebut justru seolah menjadi tradisi di tiap 17-an?
Masa lalu itu bukan sesuatu yang pahit. Masa lalu adalah obat untuk melihat masa depan yang lebih baik. Jadi kita hanya melihat apa yang terjadi di masa lalu. Kalau dia adalah sebuah kesalahan, kita ada waktu untuk memperbaiki. Kalau itu adalah kecerobohan, hari ini kita harus lebih hati-hati. Kalau yang kemarin itu benar, maka sekarang tugas kita untuk pertahankannya. Jadi bukan berarti harus dilupakan, tidak juga untuk diingat kemudian disesali. Akan tetapi sejarah itu ada untuk masa sekarang dan untuk masa depan yang lebih baik kedepannya.
Apa tujuan dan manfaat yang didapatkan oleh masyarakat Indonesia dengan adanya lomba 17-an ini?
Cinta tanah air, keadilan, dan peringatan sejarah. Sejarah bahwasannya apa yang kita dapatkan sekarang ini tidak datang sebagai sesuatu yang tidak ada sebabnya, tetapi ada peristiwa yang melatarinya. Kita tidak ingin kembali pada masa itu, penjajahan dan imperialisme. Kegiatan ini juga bisa meningkatkan jiwa nasionalisme.
Kesadaran tentang sejarah dan nasionalisme harus terus dipupuk karena bisa jadi bentuk penjajahan itu tidak lagi bentuk fisik. Bisa dalam bentuk ide, budaya, serangan di media sosial, dan hoaks. Jadi berkemungkinan besar untuk generasi sekarang mulai dari anak SD hingga SMA tidak siap, sehingga tidak tahu identitas dirinya. Kalau kata Soekarno, bukan soal orang luar yang akan menjajah kita, tetapi diri kita sendirilah. Kita akan lebih cenderung melakukan perlawanan dengan bangsa kita sendiri.
Apa harapan Anda kedepannya terkait adanya kegiatan ini?
Harapan saya supaya makna dari kemerdekaan itu tidak lepas hanya sekadar lomba, tapi juga kita harus paham akan sejarah. Jadi kita bisa memaknai kemerdekaan dari setiap tindakan yang kita lakukan.
Data Diri Narasumber:
Nama: A Lily Evita SS MHum
Riwayat Pendidikan:
S1: Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Hasanuddin
S2: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia