“Penerjemah bahasa bukan hanya sekedar menerjemahkan suatu tulisan, menerjemahkan bahasa lain ke bahasa lainnya. Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yakni adat, budaya, dan kebiasaan dari setiap bahasa asal negara yang perlu dikuasai agar penerjemahannya tepat dan pesan yang ingin disampaikan tepat sasaran.”
Sepenggal paragraf itulah yang menjadi pegangan salah satu sosok penerjemah bahasa dengan dedikasi puluhan tahun di Universitas Hasanuddin, Dr H Lukmanul Hakim.
Lebih dari 40 tahun yang lalu, Lukman yang masih berstatus mahasiswa bergabung ke Pusat Bahasa yang dulunya akrab disebut Balai Bahasa Unhas sebagai penerjemah. Dari titik itu, ia banyak menerjemahkan dokumen bahasa Indonesia menjadi bahasa Inggris. Ia bercerita tulisan yang pertama kali diterjemahkan pada saat itu adalah Ijazah.
Sejak pertama kali menjadi penerjemah hingga saat ini, Lukmanul paling banyak menerjemahkan Ijazah Sarjana maupun Pascasarjana. Sejak dulu Pusat Bahasa Unhas memiliki banyak sekali utilitas, namun hanya beberapa orang saja yang memanfaatkan utilitas tersebut, bahkan tak jarang orang-orang dari luar Unhas dan juga berbagai Instansi Pemerintah banyak memasukkan tulisannya di Pusat Bahasa untuk diterjemahkan. Lukman juga seringkali menerima surat perjanjian, hak notaris, akta cerai, dan masih banyak lagi dari lingkup pemerintahan ia terjemahkan.
Hingga akhirnya pada 1981, Lukman diterima sebagai dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unhas setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya.
Saat ditemui di Pusat Bahasa, Jumat, (23/9), ia menceritakan berbagai pengalaman menarik yang dijumpai selama menjadi sosok penerjemah. Sambil berusaha mengingat kejadian masa lalu, pria yang rambutnya telah memutih itu melanjutkan kisahnya.
“Dari berbagai tulisan yang saya terjemahkan hingga saat ini, dan berbagai pengalaman menarik yang pernah saya alami, nyatanya saya bisa melihat karakteristik seseorang dari tulisan yang biasanya ingin diterjemahkan” ungkap Lukman ketika menceritakan pengalamannya saat menjadi seorang penerjemah.
Di masa pensiunnya kini, tentu ia tidak seproduktif dulu. Saat ini, Lukman menerjemahkan dua hingga empat tulisan dalam seminggu. Saat ditemui di Pusat Bahasa ia mengatakan bahwa ia jarang bekerja seorang diri, biasanya beberapa orang membentuk tim untuk menerjemahkan sebuah buku. Walaupun nyatanya bekerja dalam tim jauh lebih sulit karena perlu menyamakan persepsi atau gaya bahasa terjemahan.
Dalam kariernya sebagai penerjemah, tentu banyak tantangan dan masalah yang dihadapi. Pernah salah satu klien mengoreksi hasil terjemahannya. Padahal, kenyataannya terjemahannya sudah benar dan sesuai dengan standar luar negeri. Pernah juga hasil terjemahan Lukman dicoret hingga kliennya mengkritik dengan nada tinggi.
Selama telah pensiun sebagai Dosen FIB Unhas, ia hanya sesekali datang berkunjung di Pusat Bahasa. Ia lebih banyak menerjemahkan tulisan di rumahnya yang naskahnya dikirim hanya melalui Whatsapp pegawai di Pusat Bahasa.
Di akhir kesempatannya, Lukmanul juga mengingatkan untuk mahasiswa yang nantinya ingin melangkah ke dunia kerja. “Jangan lupa untuk menerapkan ataupun mengimplementasikan seluruh ilmu yang telah dituai saat berstatus sebagai mahasiswa,” ujar Lukman.
Lukman juga berpesan kepada para pembaca, khususnya mahasiswa. “Mahasiswa perlu memiliki wawasan yang luas, mahasiswa perlu mengetahui tindakan apa yang perlu ia lakukan jika dihadapkan oleh berbagai situasi, mampu menghadapi masalah, dan kunci utamanya adalah bisa membangun komunikasi yang baik dengan orang lain,” ucapnya.
Dunia yang sedang kita hadapi saat ini sudah begitu besar tantangannya. Lukman menekankan bahwa walaupun saat ini kita disibukkan dengan pekerjaan, satu hal yang tidak boleh terlupakan, yakni beribadah.
Arti sukses menurut beliau adalah ketika kita sudah mengerjakan semua pekerjaan kita di dunia, bermanfaat bagi orang lain, mengerjakan seluruh tanggung jawab dan kewajiban. Dan yang pada akhirnya sukses dapat dikatakan apabila kita telah mendapatkan surga-Nya.
Fathria Azzahra Affandy