Tulisan kali ini memang berbeda dari cermin saya sebelum-sebelumnya, sebab tulisan ini juga ditujukan untuk saya sebagai cermin dalam kata yang sebenarnya. Cermin yang semoga mampu merefleksikan bayangan kepada diri saya dan mungkin juga kalian teman-teman mahasiswa. Sudahkah kita memahami dan bertindak sebagai mahasiswa sepenuhnya?
Menjadi mahasiswa merupakan sebuah privilege bagi segelintir anak muda, sebab tidak semua dapat menempuhnya. Dilansir dari Katadata, hanya 6,68 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang dapat merasakan bangku pendidikan tinggi. Hal yang patut disyukuri oleh kita (saya dan kalian) sebab mampu menjadi bagian minoritas itu.
Mahasiswa, sebuah gelar yang seringkali dipertanyakan namanya, mengapa ada kata maha sebelum kata siswa. Jawabannya tentu bisa dicari sendiri secara historis. Mahasiswa merupakan bagian dari civitas academica kampus, sebuah kelompok yang bertanggung jawab memelihara dan mengembangkan budaya akademik. Tanggung jawab yang bebannya justru tidak main-main, sebab itu adalah kerja intelektual dan tidak bisa dilakukan sembarangan.
Beberapa waktu lalu, di beranda sosial media saya terlintas sebuah bacaan yang menarik tentang kampus Indonesia yang harus belajar merawat aktivisme dari Australia. Tulisan di The Conversation ini merefleksikan bagaimana mahasiswa Indonesia, termasuk kita, lemah akan pergerakan.
Mengapa mahasiswa harus ikut dalam kerja-kerja aktivisme? Di paragraf sebelumnya, saya telah menuliskan bahwa mahasiswa adalah salah satu bagian dari kaum intelektual. Seorang intelektual harus mengungkapkan kebenaran dan mengungkapkan kebohongan. Sebab intelektual adalah kalangan yang paling dekat dengan logika, dan tentu saja etika.
Etika dan logika yang menjadi dasar pijakan mahasiswa inilah yang akhirnya membawa mahasiswa harus menyuarakan kebenaran dan kebaikan. Selain itu mahasiswa juga harus berpihak pada keadilan, sebuah kewajiban dan tanggung jawab yang sangat mulia.
Aktivisme mahasiswa seharusnya menjadi ruh dalam diri tiap-tiap yang menempuh pendidikan tinggi. Sebab dialektika para civitas academica seperti kita juga yang mewarnai tumbuh kembangnya tradisi kehidupan kampus hingga hari ini. Perdebatan argumen yang kokoh tanpa adanya sentimen yang negatif menjadi ruang kebebasan indah bagi mahasiswa.
Memang bisa dipahami bahwa sebagai seorang yang menempuh pendidikan tinggi, kadang kala rasa superior mahasiswa sulit terbendung. Namun, perlu disadari bahwa pendidikan bukan untuk disombongkan melainkan dipertanggungjawabkan dan digunakan dengan baik untuk masyarakat luas.
Seperti ucapan Tan Malaka, tujuan pendidikan adalah mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Toh, kita adalah bagian dari masyarakat yang seharusnya lebih perasa akan hal-hal di sekitar kita. Tugas mahasiswa yang berada dalam dunia intelektual kampus adalah bagaimana menggunakan ilmu yang didapatkan untuk diterapkan kepada masyarakat untuk membangun bangsa dan meningkatkan taraf kehidupan sekitar.
Mahasiswa yang pada hakikatnya merupakan bagian dari masyarakat pastinya paham betul akan apa yang disebut ketidakadilan. Namun, akankah kita tergerak untuk mencegah atau menghilangkan ketidakadilan itu?
Kesadaran kolektif merupakan hal utama yang perlu ditanamkan dalam diri kita semua. Kesadaran ini membantu merawat dan menciptakan keakraban serta perjuangan yang solid dari hal-hal yang akan dikawal.
Kampus dan bangsa hari ini
Kondisi pendidikan tinggi yang katanya sumber pemikiran intelektual, hari ini berada pada titik nadirnya. Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid dalam opininya sehari yang lalu menuliskan Kampus Masa Bodoh di Harian Kompas. Ia menyoroti bagaimana kampus hari ini masa bodoh akan nasib dan masa depan bangsa.
Dalam opini itu, ia mengemukakan bahwa ada empat hal yang menurutnya menyebabkan kampus masa bodoh terhadap tanggung jawab intelektualnya, yaitu tidak adanya kesadaran akan tanggung jawab kampus, eksposur kepada informasi yang terbatas, kompas moral yang sudah tidak berfungsi, dan yang paling parah adalah jika kemerdekaan intelektual yang terenggut.
Opininya itu banyak menyoroti pada para pendidik dalam hal ini dosen yang masa bodoh. Namun, tidak banyak mengkritik mahasiswa yang juga termasuk pada kalangan civitas academica kampus.
Tidak bisa ditutupi lagi, para pendidik di pendidikan tinggi, utamanya pada kampus yang notabenenya adalah kampus negeri bisa saja tersandera sebab mereka merupakan pegawai negara yang diatur oleh negara. Hal ini menjadi salah satu alasan tersanderanya kebebasan mereka dalam mengkritik petinggi dan kebijakan yang dihasilkan, karena hirarki kerja yang ada.
Berbeda dengan mahasiswa yang tidak memiliki kepentingan apapun dan tidak tersandera pada hal manapun. Sebagai salah satu elemen dari civitas academica tadi, mahasiswa seharusnya bisa memainkan peranan penting untuk menjaga eksistensi dari rumah intelektualnya.
Meskipun represifitas dari kebebasan berekspresi tetap ada dari petinggi dan aturan kampus, mahasiswa pasti tahu dengan kesadaran kolektifnya tidak akan ada yang bisa menghalanginya. Jika para senior kita yaitu dosen dan guru besar tersandera, sudah menjadi tanggung jawab kita untuk mengambil alih dan mewakili mereka menjaga kompas moral intelektual untuk menjadi penjuru moral bangsa Indonesia.
Muh Amar Masyhudul Haq
Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2021
Sekaligus Litbang SDM PK identitas Unhas 2024
