Perguruan tinggi baik negeri maupun swasta pada realitasnya tidak dapat dipisahkan dari dua hal yang menjadi bagian penting di dalamnya. Kedua hal tersebut ialah “mahasiswa” dan “organisasi”. Kampus menampung kedua hal tersebut sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dan saling memiliki keterikatan. Namun, walaupun keduanya memiliki keterikatan dalam kehidupan kampus, keduanya tetap terbangun atas dasar definisi yang berbeda.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Jadi, siapapun itu, jika ia terdaftar sebagai peserta didik di sebuah perguruan tinggi, maka ia disebut sebagai mahasiswa. Mahasiswa sendiri sebagai anggota civitas akademika akan diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran diri sendiri dalam mengembangkan potensi diri di perguruan tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, hingga profesional.
Lebih dari itu, mahasiswa juga dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang memiliki tanggung jawab moral terhadap tumbuh-kembangnya bangsa. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Mantan Ketua Senat Indonesia Tahun 1964, A.M Fatwa dalam buku Syaifullah Syam (2005), bahwa mahasiswa adalah kelompok generasi muda yang mempunyai peran strategis dalam kancah nasional, karena mahasiswa merupakan sumber kekuatan moral bagi mahasiswa.
Jika merujuk pada penjabaran di atas, penulis menganggap bahwa mahasiswa selain memiliki tanggung jawab akademik, juga memiliki tanggung jawab sosial atau yang dalam istilahnya disebut sebagai pengabdian kepada masyarakat.
Maksudnya ialah, bahwa mahasiswa harus tampil sebagai insan akademis yang pikirannya berdasar pada intelektual keilmuan dalam bertindak, memandang, dan menyikapi segala hal, terutama pada hal-hal yang berkenaan dengan proses perkuliahan. Mahasiswa juga harus tampil sebagai sekumpulan orang yang menggunakan kapasitas intelektualnya dalam memikirkan dan membela nasib rakyat. Itulah mengapa mahasiswa dianggap sebagai individu yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam perjalanan bangsa ini, karena ia mampu melakoni hidup dengan dua hal tersebut.
Dalam hal menjalankan tanggung jawab akademik, mahasiswa hanya mengembangkan daya intelektualnya melalui perkuliahan di dalam kelas agar bisa menyelesaikan masa kuliahnya. Tetapi dalam hal menjalankan tanggung jawab moralnya terhadap orang banyak, mahasiswa membutuhkan sesuatu di luar aktivitas perkuliahan yang dapat menggugah selera kritisismenya. Bukan berarti bahwa proses perkuliahan di dalam kelas tidak akan menghasilkan apa-apa, tetapi akan lebih paripurna apabila proses kritisisme dikembangkan di luar perkuliahan.
Penting kiranya mahasiswa melakukan aktivitas bermutu di luar proses perkuliahan, karena mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari kodratnya sebagai manusia yang berjiwa sosial. Seperti yang sampaikan oleh Aristoteles, bahwa manusia itu adalah makhluk politik (Human Politician). Bahwa mahasiswa sebagai manusia yang berjiwa sosial mestilah harus bergaul dengan manusia yang lainnya, baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun untuk memenuhi kebutuhan kelompok. Sebagai makhluk sosial, mahasiswa tentu saja tidak hanya memiliki cita-cita secara pribadi, tetapi juga bisa saja memiliki cita-cita bersama yang hendak dicapai berdasarkan konteks perkembangan zaman.
Oleh karena itu, untuk mencapai harapan yang diinginkan secara bersama atau hendak untuk mengaktifkan nalar kritis dan tanggung jawab moralnya terhadap bangsa, mahasiswa membutuhkan sebuah wadah yang dapat menghimpunnya menjadi satu. Dalam dunia kampus, wadah tersebut acap kali kita kenal dengan istilah “lembaga” atau “organisasi”.
Organisasi berasal dari kata organon, yang dalam bahasa Yunani berarti alat. Selain itu, organisasi berasal dari istilah organism yang merupakan sebuah entitas dengan bagian-bagian yang terintegrasi dimana hubungan mereka satu sama lain saling berkaitan secara utuh.
Organisasi juga didefinisikan oleh beberapa tokoh ahli, diantaranya Chester Irving Barnard seorang Eksekutif Bisnis Amerika (1938) dalam bukunya “The Executive Functions”, yang menjelaskan bahwa organisasi adalah sistem kerjasama antara dua orang atau lebih. Sedangkan menurut James D. Mooney (Ekonom Perancis), mengatakan bahwa organisasi adalah bentuk setiap perserikatan manusia untuk mencapai tujuan bersama. Sementara menurut W.J.S. Poerwadarminta, organisasi adalah susunan dan aturan dari berbagai-bagai bagian (orang dsb.) sehingga merupakan kesatuan yang teratur.
Lalu, apa yang mendasari kita membentuk organisasi?
Jika merujuk pada penjelasan di atas, sebuah organisasi terbentuk karena tiga hal. Pertama, adanya sekumpulan individu yang bergabung dan bekerja sama atas dasar kesamaan tujuan/ide (goal). Kedua, adanya sekumpulan individu yang bergabung dan bekerja sama atas dasar kesamaan misi (mission). Dan yang ketika karena adanya sebuah kelompok yang gabung atas dasar visi dan prinsip.
Seperti itulah juga dalam dunia kampus, organisasi muncul sebagai sesuatu yang tidak lepas dari hal-hal di atas. Sehingga wajar saja jika organisasi dalam kampus tidak pernah punah meskipun mahasiswanya telah berganti dari generasi ke generasi atau dari zaman ke zaman. Di dalam kampus, ada begitu banyak organisasi. Seperti Himpunan Mahasiswa Departemen (HMD), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Majelis Perwakilan Mahasiswa (Maperwa), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan masih banyak bentuk organisasi lainnya yang memiliki orientasi gerakan berbeda-beda.
Organisasi-organisasi yang ada di dalam kampus tentu didirikan bukan untuk sesuatu yang merugikan. Meskipun pandangan mahasiswa terhadap eksistensi organisasi berbeda-beda penafsirannya. Tetapi walaupun demikian, penulis hendak untuk menerangkan mengapa mahasiswa penting untuk berorganisasi.
Organisasi sebagai wadah pengembangan kapasitas diri
Seperti yang diungkap penulis di awal secara maknawi, bahwa belajar di dalam kelas tidak cukup untuk memenuhi pemenuhan kapasitas diri sebagai mahasiswa. Di dalam kelas, mungkin saja yang diasah hanyalah tuntutan akademik agar mendapatkan nilai yang baik. Tetapi, di dalam organisasi kita mendapatkan hal-hal yang lebih dari itu.
Sebagai mahasiswa, ada banyak hal yang dapat kita peroleh dalam berorganisasi. Misalnya manajemen diri (kemampuan untuk mengendalikan diri akan suatu tindakan yang sedang dilakukan atau hendak dilakukan), kepemimpinan (kemampuan mempengaruhi atau mengendalikan orang banyak), retorika (kemampuan berbicara yang baik dan benar), kritisisme (kemampuan intelektual atau ketajaman pikiran), sosialisasi (kemampuan bergaul di berbagai kalangan), dan masih banyak hal lainnya.
Agar hal-hal di atas dapat diserap atau dapat mengejawantah dengan baik, tentu sebuah organisasi haruslah bermutu dalam aktivitas-aktivitasnya melalui kesadaran visioner orang-orangnya. Jadi, mahasiswa apabila berorganisasi maka ia akan menjadi pemikir juga sekaligus sebagai aktor dari apa yang dipikirkannya. Perpaduan keduanyalah yang akan menggiring kita pada peningkatan kapasitas diri seperti yang tersebutkan di atas.
Yang kerap terjadi belakangan ini ialah, ada banyak individu mahasiswa yang ingin mendapatkan manfaat berorganisasi. Sementara ia tidak pernah ingin mengabdikan atau mendedikasikan segala bentuk pikiran dan tindakannya untuk organisasi. Misalnya, bagaimana mungkin seorang mahasiswa bisa mendapatkan manfaat berorganisasi bila datang rapat saja malas-malasan atau hanya sekadar datang menjadi penonton agenda organisasi tanpa melibatkan diri dalam prosesnya.
Singkatnya, apabila kita hendak untuk menemukan atau merasakan manfaat berorganisasi, maka hilangkan semua bentuk kejumudan dan kemalasan kita. Terlibatlah secara aktif dalam mengikuti dan menjalani segala bentuk program-program yang telah dirumuskan dan akan dijalankan secara saksama.
Organisasi sebagai pengembangan minat dan bakat
Dalam dunia kampus, kita mengenal istilah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Yaitu sebuah organisasi intra kampus yang berorientasi menumbuhkembangkan skill mahasiswa dan atau untuk menciptakan insan akademis yang memiliki keahlian pada bidang tertentu berdasakan minat dan bakat mahasiswa. Seperti di Universitas Hasanuddin, ada begitu banyak UKM yang bernaung. Ada yang bergerak di bidang kesenian, jurnalis, olahraga, kesusasteraan, fotografi, perfilman, penalaran, pecinta alam, koperasi, dan masih banyak lagi.
UKM menjadi organisasi intra kampus yang dapat melatih skil mahasiswa dalam meningkatkan minat dan bakatnya. Namun walaupun demikian, bukan berarti organisasi di luar UKM tidak dapat mengembangkan minat dan bakat mahasiswa. Hal itu dapat kita verifikasi kebenarannya dengan melihat ragam organisasi di dalam kampus hari ini yang masing-masing memiliki cara tersendiri untuk mengembangkan minat dan bakat anggotanya.
Organisasi disebut-sebut dapat mengembangkan minat dan bakat orang-orang yang bernaung di dalamnya, dikarenakan organisasi memiliki banyak instrument mulai dari kegiatan yang beragam hingga pada banyaknya sumber daya manusia yang masing-masing memiliki keahlian di bidangnya. Apabila di dalam kelas mahasiswa diajarkan literasi misalnya, di dalam organisasi pun ada hal demikian. Organisasi memanglah alternatif kedua mahasiswa untuk menemukan kemampuan dirinya, tentu melalui pelatihan-pelatihan organisasi yang bermutu.
Organisasi sebagai poros pergerakan
Membincangkan mahasiswa terkadang tidak lepas dari pembahasan pergerakan. Hal itu dikarenakan mahasiswa memiliki kekuatan advokasi yang dapat mengawal segala hal demi kepentingan orang banyak. Pergerakan mahasiswa erat kaitannya dengan organisasi yang menjadi tempat bernaungnya, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Baik BEM tingkat Fakultas maupun BEM tingkat Universitas, semuanya sama-sama dapat menjadi episentrum pergerakan mahasiswa terhadap isu-isu tertentu yang dianggap layak untuk diperjuangkan kebenarannya. Karena BEM memanglah organisasi yang bernafas perjuangan melalui gerakan-gerakan mahasiswa baik gerakan demonstrasi ataupun gerakan lainnya.
Penting kiranya mahasiswa membidik BEM sebagai organisasi yang dapat bersentuhan langsung dengan kepentingan orang banyak. Baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan mahasiswa itu sendiri. BEM disebut sebagai organisasi poros pergerakan, dikarenakan BEM menyediakan bidang atau kementerian tersendiri yang secara khusus mengaji, menelaah, dan mengadvokasi banyak isu. Tentunya, segala bentuk pergerakan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atas nama BEM haruslah gerakan yang berbasis intelektual.
Selain hal di atas, mahasiswa-mahasiswa yang ingin bergabung di dalam BEM haruslah orang-orang yang betul-betul memiliki komitmen organisasi yang kuat. Apabila tidak demikian, maka BEM hanyalah akan menjadi organisasi yang berjalan di tempat. Di tingkat BEM, pembicaraan tidak lagi berkutat pada persoalan bagaimana menemukan jati diri, bagaimana membentuk karakterki intelektual, tetapi justru semua itu memang harus dimiliki oleh individu-individu yang hendak bergabung dalam BEM. Itu penting, agar BEM memiliki stok kaum pejuang.
Penulis: Firmansyah Demma
Mahasiswa Sastra Daerah
Fakultas Ilmu Budaya
Angkatan 2019.
Mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah FIB Unhas