Mahasiswa Kesatuan Bima menggelar diskusi dengan tema, “Matinya Demokrasi Kampus di Era Milenial”. Acara ini berlangsung di Kafe Sarjana Universitas Hasanuddin (Unhas), Sabtu (26/8).
Adapun pembicara pada diskusi tersebut, yakni Endang Sari SIp MSi(Dosen Fisipol Unhas) dan Fajlurrahman Jurdi SH MH (Dosen Fakultas Hukum Unhas).
Saat menyampaikan sambutannya, Endang, sapaan akrabnya mengatakan, demokrasi berawal dari kisah dipenggalnya kepala seorang raja Perancis, yang kemudian menjadikan kekuasaan kosong akibat tumbangnya simbol absolutisme kekuasaan.
Menurutnya, saat itulah muncul sebuah revolusi yang akhirnya memberikan kesempatan bagi seluruh rakyat untuk menduduki kekuasaan tersebut, tanpa memandang keturunan maupun jabatan.
“Pasca simbol tersebut ditumbangkan, yang terjadi kemudian adalah muncul sebuah era dimana tidak ada lagi perbedaan darah dari setiap orang, yang menganggap jika darahnya bukan ‘darah biru’ maka ia tidak memiliki akses untuk mendapatkan kekuasaan secara berbeda. Dari situlah muncul era bahwa siapapun dia, ketika layak maka berhak untuk menjadi seorang raja,” tuturnya.
Lebih lanjut Endang menjelasakan, gerakan revolusi Perancis inilah yang mengilhami murid-murid Cokroaminoto (Muso, Sukarno, dan Kartosuwiryo). Kemudian, merekalah yang menjadi tokoh dari tiga ideologi besar yang mewarnai sistem politik di awal perjalanan kemerdekaan Indonesia. Di mana Muso dengan komunisnya, Sukarno dengan nasionalisnya, dan Kartosuwiryo dengan Darul Islamnya.
Pada kesempatan yang sama, Fajlurrahman selaku pembicara kedua juga mengutarakan pendapatnya.
“Prasyarat demokrasi itu adalah conscious. Jika orang tidak memiliki conscious dalam demokrasi ia akan menjadi massa. Ketika orang menjadi massa, ia tidak bisa berbaris rapi, namun hanya menjadi kerumunan. Saat orang menjadi kerumunan maka hilanglah conscious-nya, kesadarannya hilang, dan ini adalah masalah bagi demokrasi kita,” jelasnya.
Sebagai penutup dalam dialog tersebut, Muhammad Zulfikar, selaku moderator memberikan closing-statement.
“Dalam konteks milenial diskursus ini tersedia banyak ruang teknologi, seperti media sosial. Namun, syarat untuk tidak disorientasi terhadap demokrasi yang subtansial itu adalah harus memiliki kesadaran kritis. Sehingga analisis terhadap persoalan maupun isu-isu yang ada, mampu disaring secara baik,” ucapnya.
M17