Berukuran kertas A4, Sensor Pencemaran Polusi Udara Portable buatan mahasiswa Teknik Unhas ini didesain sangat minimalis.
Jika membandingkan kandungan udara di kota besar seperti Makassar dengan daerah pegunungan Malino, pastilah yang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi adalah Makassar. Makassar sebagai kota besar di Sulawesi dengan tingkat penggunaan kendaraan yang cukup tinggi, memiliki tingkat polusi udara yang tinggi pula. Untuk mengatasi masalah udara yang tercemar, sebagai langkah pertama biasanya dilakukan langkah monitoring atau pengecekan kandungan gas.
Saat ini, sudah banyak diciptakan alat sensor udara. Biasanya alat tersebut digunakan untuk mengukur atau mengecek jumlah kandungan gas di udara. Sayangnya, alat yang ada masih memiliki ukuran yang cukup besar. Akibatnya, hanya bisa digunakan di luar ruangan dan memiliki kapasitas jarak jangkauan yang cukup rendah, yakni lima hingga sepuluh meter saja.
Seperti halnya alat pemantau udara yang disediakan oleh Departemen Teknik Lingkungan Unhas. Alat ini berukuran seperti mobil truk sehingga tidak memungkinkan untuk dibawa ke dalam ruangan dan hanya digunakan secara outdoor (luar) saja. Hal itu membuatnya tidak efektif dan efisien.
Berangkat dari kondisi tersebut, A. Muh. Fahri Rauzi Idrus, mahasiswa Teknik Lingkungan Unhas terdorong untuk membuat sebuah alat bernama “Sensor Pencemaran Polusi Udara Portable”. Berukuran layaknya kertas A4, sensor udara buatan A. Muh. Fahri Rauzi Idrus cukup minimalis digunakan dalam ruangan bahkan bisa dibawa kemana-mana.
“Kan ada tiga langkah preventif, yang pertama, pencegahan, penanganan, dan yang terkahir adalah penanggulangan. Nah alat ini di langkah monitoring saja atau pencegahan,” terang Fahri.
Saat ditemui di Gedung CSA lantai dua Computer Center Fakultas Teknik Unhas beberapa waktu lalu, ia mengungkapkan bahwa alat yang ia buat memiliki jangkauan yang cukup besar yakni 100 hingga 500 meter. Selain itu, lanjut Fahri sapaanya, bahwa keunggulan alatnya dibanding yang lain adalah bersifat tahan air atau waterproof.
“Tidak ada alat polusi, walaupun ada, tidak ada yang jangkauannya besar karena alat polusi sekarang hanya bisa outdoor sedangkan alat ini bisa indoor dan outdoor” jelasnya.
Walau begitu, ia mengungkapkan bahwa alatnya masih memiliki resiko bila terkena air. karena belum memiliki silikon sehingga kemungkinan masih mengalami sekat air.
Fahri menjelaskan, alatnya bekerja ketika terdapat indikator-indikator yang mempengaruhi enam sensor tersebut. Maka sensor akan menangkap sinyal dan mengirimkannya ke Arduino Mega melalui sistem komunikasi I2C. Adapun Arduino Mega yang ia gunakan, didatangkan langsung dari Jerman.
Alat yang telah diuji coba selama satu bulan ini dilengkapi enam sensor. Sensor tersebut diantaranya Sensor CO2, CO, CH4, Air Quality, Suhu dan Kelembapan. Rencananya, ia akan membuat aplikasi bernama “Blink” yang berfungsi memonitoring alat tersebut melalui telepon genggam. “Itu nanti kita monitoring suhu hari ini apa, polusi hari ini berapa, jadi nanti juga ada sistem pencegahannya, jika sudah melewati batas, akan ada pemberitahuan melalui sms.”
Selain itu, alatnya memiliki tiga mekanisme yang dapat dipilih pengguna untuk mengecek kondisi kadar udara. Mekanisme tersebut yakni, monitoring melalui handphone (Hp), komputer dengan menggunakan kabel sambungan UART. dan terakhir bisa dicek melalui Secure Digital (SD) Card atau data lock.
Adapun UART atau Universal Asynchronous Receiver Transmitter adalah protokol komunikasi yang umum digunakan dalam pengiriman data serial device satu dengan yang lainnya.
Fahri menambahkan bahwa sensor yang ia buat mampu bekerja tanpa listrik rumah. Alat yang ia modifikasi dapat dijalankan menggunakan aki atau baterai karena menggunakan sistem AC DC, sehingga sangat efisien. Selain itu, memiliki voltase yang cukup rendah dan mampu bekerja satu hingga tiga hari. Jadi sangat efisien jika dibawa bepergian.
Dalam pembuatan alat ini, Fahri pertama-tama melakukan evaluasi penggunaan alat, guna menemukan alat yang pas dan sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, melakukan survei harga dan pembelian barang. Langkah selanjutnya, melakukan perangkaian alat kemudian proses pembuatan bahasa pemrograman. “Terakhir, yakni assembling atau proses pemasangan alat,” tambah Fahri.
Fahri yang juga seorang tentor mengajar ini, mengakui bahwa beberapa kendala kerap ia temui dalam proses pembuatan sensor udara, termasuk biaya pembelian barang. “Sensor agak susah, jadi memang agak mahal, walaupun biaya sendiri tapi agak terbantu juga karena saya juga seorang tentor,” tuturnya.
Selain biaya, bahasa pemrograman pun ia kerjakan sendiri. Masalah kurangnya sumber daya manusia ia keluhkan, karena selama ia belajar di Teknik Lingkungan, belum pernah ia diajarkan mengenai pemrograman alat sensor tersebut.
Meski demikian, dalam proses pembuatan alat tersebut, ia tidak lepas dari bimbingan Dr Ir Hj Sumarni Aly MT, Ketua Departemen Teknik Lingkungan. Bantuan pun kerap kali ia terima dari Laboratorium Mekatronika atau Departemen Teknik Mesin yang lebih paham mengenai kerja alat mesin.
Jika masih ada dana tambahan untuk penelitian, alat ini dapat dikembangkan lagi ke depannya sesuai dengan kebutuhan pasar. Misalnya sensornya ditambah ataupun dikurangi agar lebih efisien, tambahnya.
Ia berharap alat yang ia buat dapat digunakan dibanyak tempat. Salah satunya itu di Riau yang kerap kali terjadi kebakaran hutan ataupun pabrik-pabrik yang kerap kali memproduksi udara tercemar. “Karena kegunaan alat ini memang pada tahap pencegahan, jadi sebelum terjadi ada langkah antisipasi terlebih dahulu,” terang Fahri
Rencananya, alat tersebut akan digunakan untuk kebutuhan laboratorium udara dan kebisingan Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Unhas.
Nurmala