“Apapun akan aku lakukan demi tanah kelahiranku ini. Tapi jika tanah ini harus ditukar denganmu, aku lebih memilih kamu.”
Maipa Deapati dan Datu’ Museng, dua nama yang lekat dalam ingatan warga Makassar yang menyimpan kisah cinta sejati yang tragis. Kisah ini menceritakan seorang ksatria Mangkasara’ (Makassar) yang harus mempertaruhkan segalanya, tanah kelahirannya dan istrinya tercinta yang keduanya menjadi incaran Belanda.
Maipa Deapati dan Datu’ Museng, mendengar nama tersebut kisahnya yang tragis terekam jelas di ingatan warga Makassar. Cinta sejati dua insan yang dipisahkan oleh maut, ketika ksatria Mangkasara’ mempertaruhkan tanah kelahiran dan istri tercintanya yang sama-sama ingin direbut oleh Belanda.
Kisah mereka diangkat ke dalam sebuah film produksi Rere Art2tonic yang pertama kali rilis pada 2018. Film ini kembali tayang di bioskop Makassar sejak tanggal 7 November 2024, dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Makassar yang ke-417.
Film dibuka dengan adegan salah seorang pemuda asal Makassar yang ditugaskan membawa surat untuk memanggil Datu Museng dari Samawa atau yang dikenal dengan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Surat tersebut berisi berita tentang penjajah Belanda yang mulai menguasai Gowa-Tallo akibat pihak kerajaan dan banyaknya rakyat yang berkhianat.
Saat surat itu tiba, betapa terkejutnya Datu’ Museng akan keadaan yang menimpa tanah kelahirannya. Mengetahui hal itu, Raja Samawa langsung mengutus Datu’ Museng beserta istrinya, Maipa Deapati untuk segera berangkat ke Makassar dengan membawa para pengawal istana.
Hanya saja, kebimbangan menimpa Datu’ Museng apakah Maipa Deapati harus menetap di Samawa atau ikut dengannya, pasalnya Maipa adalah putri kerajaan penerus Kerajaan Samawa. Namun karena bentuk kesetiaan, Maipa Deapati akhirnya tetap ikut mendampingi suami tercintanya.
Sesampainya di Makassar, amarah Datu Museng memuncak karena pemuda Makassar yang tak berkhianat kepada Belanda hanya tersisa puluhan. Dengan sabar Datu’ Museng tak lelah melatih mereka dengan kemampuan “bunuh satu mati tujuh” mengandalkan keris dan badik sebagai senjata utama.
Hari demi hari berlatih disertai tawakkal kepada tuhan, pada beberapa peperangan Datu’ Museng berhasil menumpas Belanda. Hal ini juga berkat kepiawaian Maipa Deapati dalam mengatur strategi perang, dibantu tiga pengawal wanita yang mahir memanah dan bela diri.
Sayangnya, pada perang terakhir sebelum kematiannya prajurit Datu’ Museng kalah telak. Pihak Belanda mendatangkan tentara dari Batavia sehingga jumlah mereka sangat banyak tak sebanding dengan pemuda Makassar yang tinggal hitungan jari. Salah seorang pengkhianat turut membocorkan rahasia kepada Belanda bahwa Datu’ Museng tidak bisa dibunuh dengan peluru, melainkan dengan pedang atau keris.
Ujian Datu’ Museng tidak hanya dalam perang saja. Tomalompoa, sebutan VOC yang berkuasa di Makassar kala itu juga mengincar Maipa Deapati. Paras Maipa yang cantik jelita membuat Tomalompoa serakah dan ingin mempersunting putri kerajaan Samawa tersebut.
Karena rasa cinta Maipa Deapati yang begitu besar kepada Datu’ Museng, ia tidak rela kalau dirinya harus diperistrikan oleh Tomalompoa. Maka dari itu, Maipa meminta kepada suaminya agar dibunuh saat detik-detik kekalahan perang.
“Kita datang sama-sama, kita pulang sama-sama. Satu tidak pulang, semua tidak pulang.” Begitulah kata lirih Maipa Deapati kepada suaminya. Dengan berat hati, Datu’ Museng menikam leher Maipa yang ditutupi dengan selendang merah. Jasadnya kemudian didudukkan di teras gubuk pinggir pantai, tempat perang terakhir Datu’ Museng dengan penjajah Belanda.
Di akhir cerita, diperlihatkan sebuah gambar yang konon katanya menjadi tempat meninggalnya Maipa Deapati dan Datu’ Museng. Saat ini, tempat itu diabadikan sebagai nama jalan, yaitu Jalan Maipa Deapati dan Jalan Datu’ Museng yang berdampingan di area Pantai Losari, Makassar.
Kisah Maipa Deapati dan Datu’ Museng kerap dianggap sebagai Romeo-Juliet versi lokal. Kental akan sejarah dan budaya, film ini memanfaatkan latar budaya Makassar yang kaya, seperti Benteng Somba Opu dan Fort Rotterdam yang memberikan keaslian dan kekayaan visual. Penggunaan pakaian tradisional seperti baju bodo dan passapu khas Bugis-Makassar turut memperkuat unsur budaya dan identitas lokal.
Penggambaran karakter Datu’ Museng sebagai ksatria tangguh yang rela mengorbankan segala hal untuk Makassar serta peran Maipa Deapati sebagai istri yang setia dan strategis dalam perang, menambah daya tarik film ini. Kekuatan emosi keduanya mereka memperkuat unsur tragedi dan cinta sejati yang menembus batas-batas kehidupan dan kematian.
Tak hanya itu, pemilihan pemain-pemainya juga tak kalah menarik. Datu’ Museng diperankan oleh aktor terkenal asal India yang juga pemeran Arjuna di serial Mahabarata, Shaheer Sheikh. Sedangkan peran Maipa Deapati dilakoni oleh aktris cantik Makassar sekaligus alumnus Universitas Hasanuddin, Fildzah Hidayatil Baqi Burhan.
Selain kisah cintanya, film ini memperlihatkan nilai kepahlawanan dari seorang Datu’ Museng. Jadi, sudahkah kalian menyaksikan romansa Maipa Deapadi dan Datu’ Museng?
Nabila Rifqah Awaluddin