Dosa besar yang masih bertahan di dunia pendidikan Indonesia ada tiga : perundungan, pelecehan seksual dan intoleransi.
Bullying sering terjadi pada kalangan siswa sekolah, kampus hingga dunia kerja. Secara harfiah, bully yang berasal dari kata dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai penggertak, orang yang mengganggu kelompok atau individu yang lemah.
Bullying makin marak terjadi di masa kini. Kasus-kasus perundungan di lingkup sekolah bahkan di lingkungan sekitar kita makin membludak. Perundungan dapat menimpa siapa saja tanpa pandang bulu. Biasanya perundungan terjadi dalam bentuk hinaan atau gertakan yang disematkan pada orang-orang yang dianggap lemah.
Sedikit cerita, saya pun pernah mengalami bullying. Kala itu, saya mulai dibully sejak kelas 2 SMP. Bullying ini dilakukan oleh tiga orang teman saya. Mereka yang paling sering mengganggu saya selama hampir dua setengah tahun. Mereka adalah Fio, Muso, dan Iwan (semuanya nama samaran).
Kasus atau kejadian ini sering saya alami. Karena saya duduk di bangku paling depan, seringkali saat pelajaran berlangsung tiga orang di belakang saya akan mengganggu saya secara bergantian.
Muso mencolek saya, memainkan salah satu komponen tas saya sampai hampir rusak (yang sampai sekarang barang itu masih saya simpan), saya juga sering ditarik mundur hingga kursi saya tertarik ke belakang.
Terkadang, tangan jahil Muso menjangkau saya untuk ‘diganggu’. Bahkan lebih dari itu, kursi yang saya duduki pun sempat digeser membabi buta.
Orang kedua, adalah Fio. Ia saya golongkan sebagai pendosa besar karena sering memukuli saya dari belakang. Fio juga sering melontarkan hinaan untuk menghina fisik saya. Tidak hanya itu, siswa penderita gangguan mental pun Fio labrak yang berakibat siswa itu pun terpaksa pindah ke sekolah lain.
Tak sampai situ saja, yang paling menjengkelkan kala Fio mengganggu saya saat Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) tahun 2018. Karena saya tak kuasa menahan gangguan itu, saya pun mengadukan ke orang tua dan guru di sekolah. Tak lama berselang, Fio pun kena teguran keras sampai-sampai salah satu guru mengancam untuk memperkarakan di polisi.
Memasuki jenjang SMA, saya sempat merasa tenang selayaknya manusia biasa. Namun, sekitar sepekan setelah masa Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), saya mendapat kabar bahwa Fio juga bersekolah di tempat yang sama. Ibu saya mengetahui kabar ini sehingga ia menghubungi temannya yang merupakan guru bahasa Inggris di SMA itu, untuk meminta bantuan agar ‘dipisahkan’ dari Fio supaya kami tak sekelas.
Dan untungnya, tak sampai satu semester, kami tak lagi bersekolah di tempat yang sama. Ia keluar dari sekolah entah karena apa dan saya pun tidak peduli.
Karena perundungan tersebut, saya hampir saja bunuh diri. Untung saja tidak terjadi, terkadang saya berusaha bangkit, namun terus terjatuh. Bukan hanya sekali, tapi berulang kali. Satu hal yang menjadi penopang dalam diri saya adalah kesabaran.
Kala saya mendengar orang-orang menganggap saya adalah orang yang penyabar, saya pun hampir tak kuasa menahan tangis mendengarnya walau ditahan di depan orang lain.
Semenjak itu, saya mulai menenangkan diri, memulihkan perasaan yang terguncang serta membangun sikap ‘bodoh amat’. Seiring waktu, saya sudah tak sudi lagi menemui orang-orang itu sebagai bentuk ‘hukuman paling ringan’ dari saya.
Berakhir? Iya, tapi kembali lagi saat kuliah.
Kuliah pun saya kembali mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Pelakunya setahun lebih tua dari saya. Terkadang saya pun bingung entah apa yang harus saya lakukan selain pasrah dan membiarkan, sembari memikul perihnya dibully. Melawan balik pun timbul kebimbangan.
Semenjak berkuliah, saya merenung bagaimana saya bisa sampai terlihat ‘tegang’ atau terlalu serius. Lama kemudian, saya pun mulai menyadarinya. Mungkin saja, bully yang menimpa saya berefek pada interaksi dengan orang lain dan juga membuat saya sulit membedakan mana yang candaan atau serius. Saya memukul rata sebagai serius.
Karena pengalaman ini, saya tentu mengutuk keras segala macam perundungan yang terjadi. Dan melalui pengalaman itu pula, saya belajar bagaimana menyesuaikan diri saat berinteraksi dengan teman maupun orang lain.
Di samping itu, tidak ada jalan lain selain mencari jati diri dan kapabilitas yang mereka mungkin tak bisa ataupun sukar mereka raih sebagai jawaban yang tepat untuk saya dan juga bagi mereka yang ingin melawan balik. Boleh kok pelaku bully diserang balik, tapi saya pikir itu cuma menguras tenaga saja. Ah… sudahlah, membuat orang lain melongo saya anggap sudah lebih dari cukup.
Sungguh tulisan ini hanyalah untaian kisah dari seorang lelaki yang lemah dan berusaha menguatkan dirinya sedikit demi sedikit seiring bertumbuh dewasa. Rasanya sukar untuk melupakan sepenuhnya apa yang saya alami di masa silam dan menghilangkan efek perundungan yang menimpa diri saya.
Saking besarnya dosa yang timbul dari bully, korban bully boleh saja memperkarakan pelaku hingga ke akhirat. Selagi korban bully masih hidup, berusaha keraslah minta ampunannya. Syukur saja diterima, kalau ditolak? Baiklah, selamat menempuh hidup ‘baru’.
Mari kita sadari dan ingat bahwa bully adalah dosa besar.
Hanya orang dungu yang melakukan bullying.
Muhammad Nur Ilham
Mahasiswa Fakultas Teknik angkatan 2021
Sekaligus Reporter PK identitas Unhas