Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang beraneka ragam, baik flora maupun faunanya. Salah satu fauna yang hanya dapat ditemui di Indonesia adalah Komodo. Hewan wallacea tersebut dijaga keberlangsungannya bahkan tempat tinggal mereka dijadikan tempat konservasi.
Tak jarang tempat konservasi hewan berdampingan langsung dengan pemukiman masyarakat, salah satunya masyarakat adat Baar. Dalam keberlangsungannya, masyarakat ini mengalami kendala dan beberapa kali bentrok dengan penjaga lokasi konservasi karena lahan adat mereka dialihfungsikan untuk dijadikan tempat konservasi Komodo di Taman Nasional Riung.
Konflik tersebut menjadi alasan Halia Asriyani untuk mempelajari bagaimana kehidupan masyarakat adat Baar di Flores dan komodo. Artikel hasil penelitiannya yang berjudul “Protecting the Mbau Komodo in Riung, Flores: Adat, National Conservation and Ecotourism Developments” diterbitkan pada jurnal Forest and Society.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis upaya konservasi masyarakat Baar terhadap komodo dan keanekaragaman hayati di sekitarnya, di Kecamatan Riung, sebelah utara Bajawa, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Sambinasi. Selain itu artikel ini juga mempelajari tentang prospek pembangunan ekowisata di daerah Riung.
Halia melakukan penelitian secara etnografis, turun ke lapangan langsung menilik kondisi karena minimnya data penelitian terkait informasi mengenai masyarakat adat Baar. Di mana ia turun langsung ke masyarakat adat untuk melakukan wawancara mendalam terkait kehidupan mereka dan hubungannya dengan komodo yang ada selama kurang lebih hampir 2 bulan.
“Hasil diskusi saya juga dengan teman-teman tim peneliti bahwa metode etnografi dikira cukup tepat untuk dipilih dalam kondisi penelitian semacam ini di mana sangat minim data dan informasi yang bisa kita peroleh,” ujar Halia, Rabu (7/6).
Lebih lanjut lulusan S2 Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Indonesia tersebut mengatakan bahwa wawancara yang dilakukan tidak bersifat formal, namun berupa pendekatan seperti diskusi.
Sebanyak 19 orang diwawancarai secara kualitatif, mereka adalah enam tokoh masyarakat, dua tokoh agama tradisional, delapan penduduk desa terdiri atas tiga perempuan dan lima laki-laki dan tiga anak kecil, satu anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Informasi lainnya dikumpulkan melalui Kepala Balai Konservasi di Kecamatan Riung, Kepala Dinas Pariwisata di Riung, dan Yayasan Komodo Survival Program (KSP). Ia melakukan penelitian di waktu tepat setelah berakhirnya pertemuan adat mengenai aturan konservasi baru.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Baar, mereka tidak menyadari bahwa mereka hidup dengan komodo. Mereka menyebut komodo dengan sebutan Mbau. Bagi mereka, Mbau bukanlah hewan yang penting. Bahkan lebih dianggap sebagai hama karena memangsa hewan ternak.
Masyarakat Baar baru mengetahui hewan mbau adalah komodo ketika Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Nusa Tenggara Timur menemukan spesies itu di daerah mereka, sehingga mereka memperlakukan komodo mbau sama statusnya dengan komodo di Taman Nasional Pulau Komodo.
Akibatnya masyarakat kehilangan tanahnya untuk dijadikan lahan konservasi komodo di Riung. Halia menjelaskan bahwa penetapan tanah konservasi yang mengambil lahan masyarakat Baar itu cukup mengganggu kehidupan mereka.
“Itu mencakup tanah ulayat masyarakat adat bar, mereka ada kegiatan berburu rusa sekali setahun, menggembalakan ternak, mengambil kayu, dan sebagian juga masuk wilayah perkebunan sehingga mereka yang kemudian kehilangan tanahnya untuk berkebun, aktivitasnya terganggu” terangnya.
Mengenai sejarah konservasi di daerah tersebut, diketahui masyarakat Baar sendiri tidak pernah setuju dengan pelaksanaan agenda konservasi. Agenda konservasi nasional menghasilkan berbagai bentuk protes oleh masyarakat adat, hingga pada 2017, tiba-tiba dikeluarkan dari Cagar Alam Riung oleh Kementerian Kehutanan, dan area cagar alam tersebut dikurangi dari 2.000 hektar menjadi 429 hektar.
Kawasan konservasi yang baru dibentuk ini tidak lagi mencakup Semenanjung Torong Padang. Akhirnya masyarakat mengambil keputusan membuat suatu pertemuan adat pada Maret 2019 untuk menentukan hukum dan praktik adat tak tertulis dan mengakui status komodo dan keanekaragaman hayati.
Dalam penelitian ini` dijelaskan bagaimana prospek dari kehidupan masyarakat Baar, serta kaitannya dengan agenda pariwisata yang dapat berkembang di kabupaten Riung, Flores, NTT. Sebagian besar Agenda konservasi di masa depan terkait dengan pengembangan proyek-proyek ekowisata di daerah Riung. Ekowisata juga nantinya dapat menjadi alat yang berguna dalam perjuangan masyarakat lokal untuk melawan pelaksanaan agenda konservasi nasional.
Muh Amar Masyhudul Haq