Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah merambah ke berbagai sektor, termasuk dunia seni. Kemampuan AI dalam menghasilkan karya visual yang meniru gaya khas seniman ternama seperti Studio Ghibli memunculkan pertanyaan tentang originalitas, hak cipta, serta masa depan profesi seniman.
Di tengah kekhawatiran akan ancaman AI terhadap eksistensi seniman, tak sedikit pula yang melihat teknologi ini sebagai alat bantu kreatif. Lantas, bagaimana sebenarnya posisi seniman di era kecerdasan buatan? Apakah kekhawatiran akan hilangnya originalitas dalam karya seni benar-benar beralasan, atau justru AI membuka jalan bagi bentuk ekspresi artistik yang sama sekali baru? Simak wawancara khusus Reporter identitas, Rika Sartika bersama seniman kelahiran Bandung sekaligus pengelola Galeri Ruang Seni Rupa Makassar sejak 2013, Siswadi Abustam, Rabu (09/04).
Sebagai seniman yang telah berkecimpung lama di dunia seni, bagaimana pendapat Anda tentang teknologi AI yang dapat meniru gaya visual seniman?
Dengan adanya perkembangan teknologi, kita harus menyambutnya ya. AI justru bisa mempercepat proses berkarya dan meningkatkan kualitas. Teknologi hanyalah sarana, yang terpenting adalah senimannya sendiri. Mau secanggih apapun teknologi tidak akan menghasilkan karya berkualitas jika inputnya tidak optimal.
Menurut Anda, apa perbedaan antara karya yang dihasilkan oleh tangan seniman dengan karya yang dihasilkan oleh AI meskipun terlihat sangat mirip?
Mirip bukan berarti sama. Karya seni sejati memiliki karakter dan aura di dalamnya. Karya AI tidak memiliki aura atau garis yang merupakan ekspresi langsung dari seniman. AI hanyalah komputer yang mengikuti perintah, tanpa jiwa di dalamnya.
Sebagai seniman yang mendedikasikan diri untuk mengedukasi masyarakat tentang seni, apakah Anda melihat adanya peluang edukatif dari teknologi AI ini, atau justru sebaliknya?
Era seni klasik sudah berlalu dan saya berusaha mengikuti perkembangan dengan menciptakan karya-karya kontemporer yang memanfaatkan teknologi. Dari sisi edukasi, AI sangat bermanfaat karena yang terpenting bagi seniman adalah konsistensi berkarya. Seniman yang bisa beradaptasi dengan teknologi akan berkembang lebih baik.
Melihat ke depan, bagaimana Anda memprediksi hubungan antara seniman tradisional dan teknologi AI dalam 5-10 tahun mendatang?
Para seniman sebaiknya belajar mengikuti perkembangan teknologi agar karya mereka tetap relevan dengan zaman sekarang. Meskipun teknologi hanya sarana, seniman yang dapat memanfaatkannya akan menghasilkan karya yang lebih kontemporer. Utamanya adalah konsistensi dalam berkarya, setiap goresan memberikan pembelajaran baru.
Bagaimana pengaruh AI penghasil gambar terhadap nilai ekonomi dari karya-karya seniman, terutama seniman muda yang baru memulai karirnya?
Mungkin ada pengaruhnya, tetapi tidak terlalu signifikan, karena karya yang dihasilkan AI tetap berbeda dari karya buatan tangan. Pasar seni masih sangat menghargai proses manual yang penuh keterampilan dan sentuhan personal sang seniman. Contohnya, lukisan potret dari seniman Tiongkok bisa dihargai ratusan miliar rupiah—bukan karena teknologi, melainkan karena kehalusan detail dan nilai keaslian dari pengerjaan tangan.
Apakah Anda setuju bahwa AI penghasil gambar perlu mendapatkan izin atau membayar royalti kepada seniman yang gaya karyanya ditiru?
Memberikan lisensi kepada seniman merupakan bentuk penghargaan terhadap orisinalitas karya mereka. Saya sangat mendukung sistem royalti sebagai bentuk pengakuan atas hak cipta dan jerih payah seniman. Namun, pada akhirnya, keputusan tersebut tetap menjadi hak masing-masing individu.
Menurut Anda, haruskah ada batasan etis atau regulasi khusus terkait penggunaan teknologi AI dalam menghasilkan karya seni?
Saya tidak melihatnya sebagai urgensi yang tinggi karena karya AI tidak bisa menyamai karya yang dibuat dengan tangan dan jiwa seniman. Sebagai seniman, setiap karya yang saya ciptakan merupakan bagian dari jiwa saya.
Jika Anda menemukan karya AI yang meniru gaya Anda secara spesifik, bagaimana perasaan dan tindakan Anda?
Jika ada yang menggunakan AI untuk meniru karya saya, saya justru bersyukur karena itu menunjukkan bahwa karya saya dihargai dan dianggap layak untuk ditiru. Saya berterima kasih atas apresiasi tersebut.
Sebagai seseorang yang mendorong apresiasi seni, menurut Anda, bagaimana strategi yang tepat untuk mengedukasi masyarakat tekait penghargaan terhadap proses kreatif seniman manusia di tengah kemudahan mendapatkan karya visual dari AI?
Sulawesi Selatan sebenarnya memiliki sejarah panjang dalam seni rupa, terbukti dengan lukisan di Leang-Leang, Maros yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Meskipun demikian, perkembangan seni rupa di daerah kami masih tertinggal. Apresiasi masyarakat terhadap seni masih perlu ditingkatkan. Alih-alih bersikap pesimis, kita perlu terus berkarya dan beradaptasi.
Apakah di masa depan semakin banyak seniman yang akan menggunakan AI?
Tentu saja, itu perkembangan yang tidak bisa dihindari. Namun perlu diingat bahwa AI dan teknologi hanyalah “alat” seperti pistol, sementara yang menentukan kualitas hasil akhir adalah “penembaknya”, tentu bukan lain adalah seniman itu sendiri. Seniman perlu memanfaatkan teknologi ini agar tidak tertinggal, dengan mempelajari dan menguasai teknologi baru, karya seni akan menjadi lebih menarik dan berpotensi untuk dikenal di kancah internasional.
Informasi Narasumber:
Siswadi Abustam
Bandung, 21 juni 1958
Pengelola Galeri Ruang Seni Rupa Makassar sejak 2013
Riwayat Pendidikan:
University of Florida 1979 – 1983
Naskah: Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma
