Menurut data Aliansi Masyarakat Nusantara (AMAN), ada 2.161 komunitas masyarakat adat di Indonesia. Populasi masyarakat adat mencapai 4,57 juta. Tanpa payung hukum yang kuat, konflik tenurial dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat terus terjadi, seperti perampasan tanah dan penggusuran atas nama pembangunan dan investasi.
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) telah diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak tahun 2010 lalu. RUU ini dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2014. RUU ini masuk ke dalam Prolegnas sebanyak tiga kali. Namun, hingga saat ini, RUU MHA belum juga disahkan oleh pemerintah.
Bagaimanakah nasib RUU MHA kedepannya? Apakah dampak jika rancangan tersebut tidak kunjung disahkan hingga akhir periode pemerintahan saat ini? Simak wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma, bersama pemerhati budaya sekaligus Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Agraria di Fakultas Hukum Unhas, Prof Dr Aminuddin Salle SH MH, Selasa (27/08).
Mengapa RUU Masyarakat Adat penting?
Adat merupakan identitas bangsa Indonesia. Adat mampu mengendalikan masyarakat. Jika Indonesia ingin aman, maka perlakukan masyarakat hukum adat dengan baik. Masyarakat hukum adat memiliki ciri-ciri: ada pemimpinnya, ada wilayahnya, ada pengakuan masyarakatnya, dan bersifat magis religius. Mereka taat hukum karena percaya pada kekuatan gaib, bahkan sebelum masuknya agama-agama besar.
Sifat komunal masyarakat adat juga sangat kuat. Namun, identitas ini mulai hilang perlahan-lahan. Oleh karena itu, kita berkepentingan untuk menghidupkannya kembali melalui undang-unterdang tentang masyarakat hukum adat.
Bagaimana tanggapan Anda terkait mandeknya pengesahan RUU Masyarakat Adat?
Kami kecewa dengan dikesampingkannya hukum adat, karena justru terjadi banyak kejahatan dan pelanggaran. Kami berkeyakinan bahwa dengan adanya masyarakat hukum adat, kejahatan dan pelanggaran tidak akan banyak terjadi. RUU Masyarakat Adat diharapkan dapat melindungi hak-hak masyarakat adat yang selama ini terabaikan, seperti dalam kasus penggusuran dan perampasan tanah.
Perlu dipahami bahwa konsep kepemilikan tanah dalam hukum adat berbeda dengan hukum Belanda yang pernah diterapkan di Indonesia. Hukum adat tidak memerlukan bukti tertulis untuk kepemilikan tanah, melainkan berdasarkan pengakuan masyarakat. Undang-Undang Pokok Agraria sendiri tidak mengenal adanya tanah negara. Tanah milik pemerintah tidak ada, yang ada adalah tanah milik masyarakat.
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam proses pembahasan RUU Masyarakat Adat di DPR?
Tantangan utamanya adalah adanya oknum pemerintah yang berpikiran kolonial. Dengan alasan pembangunan, mereka sewenang-wenang mengambil tanah milik rakyat. Jika mereka berpikiran ke-Indonesiaan, mereka tidak akan mengambil tanah rakyat seenaknya.
Pengaruh pemikiran penjajah Belanda, yang dikenal dengan istilah domein verklaring, masih ada. Padahal, UU Pokok Agraria sendiri tidak pernah mengakui adanya tanah negara. Sepertinya, oknum pemerintah merasa terhalang untuk merampas hak-hak masyarakat jika masyarakat hukum adat diakui oleh UU.
Jadi, apa intinya apa yang membuat pembahasan RUU ini mandek?
Ada oknum yang cukup berpengaruh di lembaga legislatif yang berpikir bahwa jika UU ini diakui, maka kesewenang-wenangan mereka akan terbatas. Mungkin itulah alasannya.
Bagaimana dampak dari tertundanya pengesahan RUU ini terhadap kehidupan masyarakat adat di Indonesia?
Terjadi kesewenang-wenangan, seperti pengambilan tanah dan hak-hak rakyat. Pada akhirnya, hal ini merugikan kepentingan orang banyak.
Apa yang perlu dilakukan untuk mempercepat proses pembahasan dan pengesahan RUU ini?
Pemerintah dan DPR harus sadar sendiri atau peka terhadap masalah ini. Namun, ada gejala bahwa pemerintah baru sadar jika ada demo besar-besaran.
Sayangnya, masyarakat hukum adat memiliki banyak keterbatasan dan tidak memiliki modal untuk melakukan demonstrasi besar. Mereka tinggal di pedalaman dengan pikiran yang sangat sederhana. Ini yang saya sesalkan. Ada kecenderungan bahwa pemerintah baru bertindak setelah ada protes besar-besaran. Ini gejala yang kurang bagus. Oknum legislatif dan eksekutif tidak peka atas tuntutan rakyat. Mereka adalah wakil kita, tetapi sepertinya tidak sadar akan tugas pokok dan fungsinya.
Jika RUU ini tidak disahkan pada periode pemerintahan saat ini, apa konsekuensinya bagi proses legislasi di masa depan?
Jika RUU ini tidak disahkan, kita akan kehilangan jati diri sebagai bangsa. Seorang manusia saja kalau tidak punya jati diri, apa yang diharapkan? Apalagi sebuah bangsa. Masyarakat hukum adat adalah jati diri ke-Indonesiaan. Tanpa ini, masa depan bangsa ini seperti bangsa yang tidak punya identitas. Apa yang bisa diharapkan dari bangsa yang tidak punya identitas?
Bagaimana prospek perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat di Indonesia jika RUU ini tidak kunjung disahkan?
Jika RUU ini tidak kunjung disahkan, maka organisasi-organisasi sosial dan wartawan perlu terus berjuang untuk melindungi masyarakat adat. Kita harus berhati-hati terhadap alasan-alasan seperti “kepentingan pembangunan” atau “investor masuk” yang sering digunakan untuk merampas hak-hak masyarakat adat.
Kita memang senang jika ada investor masuk, tetapi hanya sepanjang mereka membawa kebaikan. Jika pada akhirnya mereka datang untuk merusak lingkungan dan tatanan masyarakat, kita patut curiga.
Apa langkah yang dapat diambil untuk memastikan implementasi yang efektif jika RUU ini akhirnya disahkan?
Perlu ada program untuk menyadarkan masyarakat, seperti program penyuluhan hukum. Namun, perlu diingat bahwa banyak masyarakat yang sebenarnya lebih sadar hukum dibanding dengan yang menjalankan program kesadaran hukum itu.
Misalnya, masyarakat hukum adat di berbagai daerah memiliki kesadaran hukum yang tinggi tentang tanah adat mereka. Jadi, yang perlu disadarkan sebenarnya adalah oknum-oknum yang masih berpikiran kolonial.
Informasi narasumber:
Prof Dr Aminuddin Salle SH MH
Tempat, tanggal lahir: Galesong, 2 Juli 1948