Kasus tindak kejahatan saat ini banyak disebar oleh masyarakat di media sosial dengan tujuan mendapatkan keadilan dan penegakan hukum. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan teknologi komunikasi dapat berpengaruh terhadap proses penegakan hukum di Indonesia, bahkan sering kali mengawal jalannya proses hukum.
Meskipun proses penegakan hukum kini telah mengikuti perkembangan zaman dengan adanya sistem pengaduan online, masyarakat lebih memilih menyebarluaskan kasus kejahatan melalui media sosial. Maraknya kebiasaan memviralkan kasus tindak kejahatan ini melahirkan sebuah fenomena atau tagar di media sosial yaitu No Viral No Justice. Fenomena ini mencerminkan sektor penegakan hukum yang dinilai kurang efektif dalam mengatasi suatu kasus.
Berdasarkan data Lembaga Survei Indonesia pada 2023, sebanyak 22,6% masyarakat menilai buruk penegakan nasional. Fenomena ini terlihat dari kasus-kasus yang ditangani dengan serius hanya ketika kasus itu banyak menjadi bahan perbincangan di media sosial. Beberapa di antaranya adalah kasus Ferdy Sambo. Opini yang terbentuk dalam media sosial ternyata dapat memengaruhi pemberian hukuman yang lebih berat dari tuntutan jaksa.
Berangkat dari permasalahan tersebut, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Ibriza Sabrina Nadila bersama tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) melakukan penelitian terkait efektivitas Hukum Friedman dalam kontroversi fenomena No Viral No Justice di Kota Makassar. Dalam pembuktiannya, mereka melakukan wawancara dengan beberapa aparat penegak hukum yang tergabung dalam instansi kepolisian, kejaksaan, dan hakim di Makassar.
“Mengacu pada teori Friedman, arti ‘budaya hukum’ yang mencakup pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran hukum merupakan bagian integral serta memainkan peran penting dalam interaksi masyarakat dengan sistem hukum,” jelas salah satu anggota tim, Wanda Anggraeni, Senin (14/05).
Berdasarkan temuannya, tim mengatakan bahwa konsep tersebut merupakan variabel penting dalam proses perubahan bekerja hukum di masyarakat sebagai akibat dari semakin berkembangnya kesadaran hukum. Pengetahuan dan pemahaman hukum yang baik dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
“Sebaliknya, jika masyarakat merasa bahwa hukum tidak berfungsi dengan baik, maka hal ini dapat mengurangi kepercayaan dan mengubah nilai-nilai yang dianut,” tutur Mahasiswa Fakultas Hukum Unhas itu.
Perubahan tersebut tertanam dalam kenyataan bahwa nilai-nilai atau sikap terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi masyarakat. Selain itu, riset yang menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif ini menunjukkan beberapa alasan masyarakat melaporkan atau mengunggah kasus tindak kejahatan di media sosial. Alasan utamanya adalah penggunaan media sosial dapat mempercepat tahapan dalam penanganan kasus tindak kejahatan.
Lebih lanjut, penelitian ini mengkaji dan menganalisis teori efektivitas Hukum Friedman dalam kontroversi No Viral No Justice yang dilihat dari aspek Legal Structure, Legal Culture, Legal Substance. Dalam aspek Legal Structure, tim ini menemukan salah satu faktor lambannya penegakan hukum di Kota Makassar, yaitu banyak penyidik yang tidak memiliki latar belakang memadai. Beberapa penyidik yang bukan Sarjana Hukum sering kali tidak memahami aspek teknis dalam penyusunan berkas perkara sehingga tidak memenuhi syarat formil dan materil yang ditetapkan oleh undang-undang. Akibatnya, berkas perkara sering dikembalikan dan berakhir pada lambannya penanganan kasus serta penurunan efisiensi.
Legal Culture juga menjadi penyokong suburnya fenomena No Viral No Justice di masyarakat Kota Makassar. Beberapa alasan yang melandasinya adalah penanganan kasus lebih cepat ketika diunggah di media sosial, prinsip equality before the law yang belum maksimal, efek jera dan sanksi sosial di media sosial, lambannya penegakan hukum oleh aparat, serta prosedur pelaporan yang dianggap rumit.
Fenomena No Viral No Justice juga dilandasi oleh Legal Substance, yaitu ketika substansi hukum belum secara terperinci menjelaskan isi dari peraturan tersebut. Di Kota Makassar sendiri, sistem pelaporan untuk sebuah kasus pada dasarnya telah dipermudah dengan adanya aplikasi Smart Police Polrestabes. Namun, dalam efektivitas operasionalnya, ada beberapa ketentuan yang belum dijabarkan secara rinci sehingga berakibat pada terhambatnya penanganan.
Hal ini dibuktikan dengan data penelitian yang menyatakan bahwa hanya 29% masyarakat yang familiar dengan aplikasi seluler atau platform digital untuk melaporkan kasus kejahatan. Beberapa prosedur pengaduan tidak dijelaskan secara rinci membuat pelapor mengawang dalam proses pelaporan. Salah satunya adalah aturan mengenai batas waktu bagi kepolisian untuk menindaklanjuti laporan tindak kejahatan.
Harapan dari penelitian ini adalah agar masyarakat luas peduli dan sadar akan eksistensi fenomena No Viral No Justice yang berangkat dari interaksi sosial dan terjadi berdasarkan pengalaman masyarakat. Riset ini juga dapat menjadi rekomendasi bagi aparat penegak hukum dalam mengevaluasi policy brief saat sedang dilakukannya supremasi hukum legal substance, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan dapat dimasukkan dalam pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Andika Wijaya
