Fajar menyingsing dari kejauhan, mengingatkan hari baru dan kota baru yang akan kutempati mengabdi. Setelah aktifitas pagi kulakukan, seperti biasanya kuberanikan diri untuk pergi berjalan-jalan di sekeliling kota untuk menyesuaiakan diri dengan lingkungan sekitar.
“ Kenapa sampai begini. Apa salahku Tuhan?,” keluh seorang ibu sambil terisak-isak
“Ada apa bu? Apa yang ibu tangiskan?,” tanyaku dengan heran.
Kejadian ini beda dari biasanya. Aku sangat jarang menemukan sosok yang terisak-isak karena sebuah monumen indah, apalagi perihal yang mengingatkan kita tentang perjuangan sejarah. Mungkin ibu ini sedang gundah dan memikirkan pendahulunya berjuang demi hidupnya. Begitu pun aku, penerus bangsa ini.
“Ada yang salah dengan monumen ini bu? mengapa ibu menangis? monumen ini sebaiknya kita jadikan pelajaran untuk hidup yang lebih baik, bu!,” jelasku.
“Apa kau bilang? Monumen? Ini bukan monumen. Ini keluargaku. Tidakkah kau lihat kerut-kerut di wajahnya? Atau Garis-garis pada pakaiannya yang kusut itu?,” jawab ibu itu dengan ngotot.
Aku sedikit tersentak mendengar jawaban ibu itu.
“Saya masih teringat, nak. Betapa senangnya ibu bersenda gurau dengan mereka. Walaupun pembahasannya itu-itu saja, mengenai perjuangan untuk masa depan. Tapi itu tetap yang menjadi sisa kenangan ibu dengan mereka,” ibu itu menceritakan keluarganya. Dan terus menceritakan kesehariannya yang sering berinteraksi dengan orang banyak. Bahkan katanya, tiap tahun selalu ada penghuni baru yang datang dan asik berkumpul dengan mereka. Yah sekali lagi, walaupun itu cerita yang sama. Tapi mungkin saat itu, pikirku beda tempat tentu beda rasa ceritanya, apa lagi diceritakan oleh mereka.
“Sungguh asik yah bu! Bertemu dengan orang baru tiap tahunnya,” kata salah seorang yang tak dikenal.
“Iya pak, mereka selalu datang dan selalu berpakain rapi berkunjung ke tempat kita,” jawab si ibu.
“Yah mestilah ibu, mereka kan orang baru,” respon orang tersebut dengan senyuman kecil.
“Iya pak. Tapi lihat kita dong, pak. Kita ini juga semakin hari harus semakin sadar. Ingatan kita pasti akan pikun. Pakaian kita pun terlihat makin tak sesuai zamannya. Bukankah lebih baik, kalau bukan kita lagi yang melayani mereka?,” jelas ibu berusaha meyakinkan.
“Iya bu, mungkin pemerintah masih membutuhkan kita. Atau mungkin pemerintah lagi krisis dana sehingga sulit merekrut pekerja baru,” jawab si bapak.
Begitulah kebiasaan dua orang ini. Senang bergibah perihal orang yang selalu berkunjung dan daerahnya. Mungkin pembicaraannya sedikit politis, tapi hanya sebatas sebagai politisi orang pinggiran saja. Maklumlah mereka fokus bercengkrama dan melayani tiap tamu yang bertandang ke daerahnya bukan jadi pemangku kebijakan di negeri ini.
Walaupun demkian, pembicaraan itu adalah pembicaraan terasik bagi mereka. Dan mungkin hanya mautlah yang memutus percakapan mereka.
***
“Oh ya nak. Nama saya ibu P..p..p. abweh. Panggil saja ibu Risma” ucapnya sambil kesulitan. Mungkin karena usia, jadi ibu ini sampai belepotan bicaranya.
“Nak datang ke sini dengan siapa? Apa urusan anda, nak, kalau boleh tahu?,” tanya ibu itu kepadaku, sambil melotot.
“Saya Jang…, maksud saya. Nama saya Jaka bu.” Karena tidak ingin menyulitkan ibu itu menyebut namaku. Maka kusebutkan nama panggilan lazim yang kubuat-buat seketika itu juga.
“Oh ya bu, saya pekerja baru, bu. Baru ditugaskan juga!” sambungku dengan hangat dan berusaha menjaga perasaan ibu ini. Semoga tidak ada salah paham
“Oh kamu, nak. Kalau diperhatikan pakaianmu sama seperti kami hanya saja lebih modern. Bahkan lebih baik dari kami. Pakainmu juga tidak seperti pengunjung yang sering datang kemari tiap tahunnya. Kamu sendirian, nak?” sambungnya.
Akupun menjelaskan bahwa aku adalah seorang pekerja baru di negeri ini. Ditugaskan oleh pemerintah langsung. Seperti katanya, aku datang sendirian. Mungkin saja pemerintahnya lagi butuh keahlianku saja. Tapi ibu itu kembali melototiku bahkan justru marah-marah sendiri.
“Benar-benar yah. Kok pelit amat. Inikan demi kemajuan bangsa kita. Masa sumber daya saja sulit untuk ditambah dan diperbarui. Belum lagi ini kami sudah tua. Sudah tidak layak bekerja lagi. Masa iya harus bekerja terus. Nanti generasi malah salah informasi, kan setiap zaman selalu berkembang ilmunya,” keluhnya.
“Sabar bu, mungkin sedikit demi sedikit. Semoga dengan kehadiran saya ini bisa meringankan beban ibu,” sambungku dengan senyuman.
“Maaf nak, ibu tidak bermaksud. Tapi memang sudah seharusnya ibu pensiun. Dan mungkin hanya kamulah nak yang berjuang. Siapa suruh pemerintahnya tidak mau mengutus banyak. Lumayankan kamu dapat teman!,” pungkasnya
Karena tidak ingin melanjutkan obrolan yang sifatnya omelan saja. Aku langsung mengalihkan pembicaraan. Hasil berjalan-jalan di kota ini, membuatku tertarik hanya pada satu hal saja. Tempatnya ada di pintu gerbang kota. Sebuah monumen daerah bertuliskan “L Borium”.
“Nama kota ini indah yah bu! L Borium,” seruku.
“L borium? Kayaknya saya baru dengar, nak. Perasaan namanya tidak seperti itu,” sahut si ibu.
“Begitukah bu? Padahal namanya keren loh,” kataku sambil tertawa kecil.
“Hmm, kurang tahu juga sih, nak. Tapi seingatku namanya tidak begitu. Oh iya nak, di sini seringkali juga ada kesimpangsiuran otonomi,” sambungnya.
“Bagaimana yah bu. Kayaknya kota ini sudah bernama seperti itu sejak dulu. Buktinya di monumen itu, catnya agak pudar. Agak karatan juga sih.” Sambil mendukung argumenku, kuteruskan menjelaskan seperti seorang ahli sejarah dan mengaitkannya dengan tanda-tanda yang ada di monumen itu. Mungkin ibu ini sudah sangat tua, dan mungkin ibuya memang sudah pikun. Masa nama kota sendiri dia lupa. Tanpa pikir panjang, aku memberikan kesan dan berusaha mencari momen yang pas untuk mengakhiri percakapan. Sambil mengucap salam aku pegi dan pamit dengan wajah berhias senyum.
Karena belum puas dengan argumen ibu itu. Aku datang ke pusat dokumen sejarah kota ini. Hanya untuk memastikan bahwa kota ini bernama L Borium. Tak berselang lama, kutemukan buku berdebu bertuliskan La Borium. Tulisannya beda dengan monumen kota ini. Mungkin ucapan ibu itu benar.
Buku ini kelihatan berdebu selayaknya buku tua. Karena penasaran, aku meniupnya. Dan kutemukan nama asli kota ini “Laboratorium”.
Banyak yang dituliskan dalam buku ini. Bahkan daftar nama-nama pekerja dengan keahliannya masing-masing. Ada yang memegang senter, ada yang membutuhkan air untuk bekerja, ada yang membutuhkan listrik, dan lain sebagainya. Hingga kutemukan foto ibu itu sendiri dengan wajah muda hanya saja masih dengan pakaian tuanya sama seperti saat kutemui dulu. Aku sadar, ternyata yang ditangisi ibu itu adalah keluarganya yang dikremasi dan dipajang bahkan tak kunjung dikuburkan. Dan mungkin selanjutnya aku yang akan kewalahan, sendiri melayani tamu-tamu yang tiap tahun datang bertandang.
Hasnan Sutadi
Anggota FLP Ranting Unhas