Pada tanggal 9 Agustus lalu, masyarakat sedunia memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional. Perayaan setiap tahun ini untuk mengingatkan pentingnya masyarakat adat dalam merawat dan menjaga alam. Sayangnya, hingga kini masih ada masyarakat adat yang hak-hak dasarnya belum terpenuhi.
RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Hukum Adat (PPHMHA) tak kunjung mendapat pengesahan, justru menambah sekelumit masalah. Lantas bagaimana sesunggunya kepastian hukum bagi masyarakat adat di Sulawesi Selatan? Simak wawancara Muhammad Akram dengan Guru Besar Antropologi Unhas, Prof Dr Pawennari Hijjang MA, melalui telepon whatsapp, Senin (09/08).
Bagaimana Anda melihat hak masyarakat adat dalam Hari Masyarakat Adat Internasional?
Hari Masyarakat Adat Internasional erat kaitannya dengan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada tahun 1982. Masyarakat adat yang bermukim di beberapa daerah cenderung memiliki ketimpangan sangat besar antara miskin dan kaya. Sering kali terjadi kekurangan pemenuhan akses untuk masyarakat adat dalam mendapatkan keadilan, pendidikan, dan layanan kesehatan, sehingga terjadi kemiskinan.
Padahal pada dasarnya masyarakat adat dengan kearifan lokalnya mengelola alam sebagai sumber mata pencahariannya secara bijak. Mengelola alam tidak melebihi kemampuan budayanya. Hidup mereka sederhana dan selalu selaras dengan alam, sehingga penetapan hutan adat itu perlu.
Sering kali terjadi perampasan wilayah masyarakat adat, bagaimana sesungguhnya duduk perkara ini secara umum?
Apabila sebuah proyek berskala besar dari pemerintah atau swasta perlu memperhatikan wilayah proyeknya. Bila melintas di lahan kosong milik masyarakat, perkampungan masyarakat, atau pun obyek-obyek sakral, tentu pemerintah harus mengacu pada regulasi formal untuk mengatur proyek itu terlaksana dengan baik.
Namun pelaksana proyek mesti memperhatikan hak masyarakat adat seperti hak sehat, hak hidup damai, hak hidup sejahtera, hak pendidikan, dan hak berdampingan dengan masyarakat lain. Namun hak-hak masyarakat adat dikebiri atau diambil secara sepihak, maka perlu pendampingan dan pembelaan terhadap masyarakat tersebut.
Sudah ada regulasi berbasis data yang dijadikan dasar oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menetapkan hutan adat. Misalnya Hutan Adat Ammatoa, penetapan masyarakat adat tersebut tentu saja mengacu pada regulasi-regulasi yang ada, sebab ada banyak peraturan yang terkait dengan masyarakat adat.
Apa yang menyebabkan masyarakat adat susah mencapai subjek hukum atau perlindungan hak atas wilayah adatnya?
Perlu kita paham masyarakat adat harus memiliki wilayah teritorial, wilayah pemukiman, dan hutan adat. Masyarakat adat perlu area yang mereka gunakan sebagai daerah otonomi, sesuai dengan kebudayaannya. Sebagai contoh Ammatoa, terdapat Hutan Tombolo yang merupakan tempat sakral dan fungsinyasebagai tempat prosesi pergantian Ammatoa, apabila Ammatoa sudah mangkat atau meninggal.
Namun, sebelum aturan atau pengakuan dari pemerintah ada, masyarakat adat sudah sejak dahulu menempati wilayah itu. Bahkan ratusan tahun atau ribuan tahun. Mereka sudah mempunyai lahan dan beberapa aturan yang mereka sepakati serta dipraktekkan secara konsisten. Namun, menurut saya perlu kajian dan studi akademik yang komprehensif untuk membantu pemerintah mencari solusi penetapan sebuah hutan adat. Agar tidak menimbulkan konflik antara masyarakat adat dan pemerintah.
Salah satu contoh, apakah penetapan hutan adat di wilayah Pertambangan PT Vale Indonesia dapat menjadi solusi atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Pegunungan Luwu Timur?
Apakah di sana masyarakat adat itu adat? Saya kira perlu untuk melihat beberapa regulasi sebagai rujukan baik yang dikonstruksi oleh pemerintah maupun regulasi lokal versi masyarakat adat. Agar dapat diketahui kriteria-kriteria sebuah masyarakat adat termasuk yang ada di kawasan PT Vale Indonesia. Oleh karena itu, perlu usaha untuk menetapkan sebuah masyarakat adat sebagai pilar terdepan menjaga kelestarian lingkungan.
Bagaimana Unhas seharusnya berperan dalam penanganan masyarakat adat?
Bila Unhas diminta berperan aktif dalam penanganan masyarakat adat. Sebaiknya pimpinan Unhas memberikan tugas secara formal kepada para Antropolog, Arkeolog, Sejarahwan, dan ahli-ahli lainnya. Meraka akan aktif menelusuri semua data-data yang berkaitan dengan permasalahan masyarakat adat, agar dapat menanggani secara baik dan bertanggungjawab.
Dengan harapan masyarakat adat punya kedudukan sama, hak dan kewajiban yang sama sebagai masyarakat. Masyarakat adat juga, harus menjadi bagian dari NKRI, mengelola alam sesuai kearifannya, dan dapat berinteraksi dengan masyarakat lain. Selain itu, pemerintah perlu menggalakkan kembali pengembangan masyarakat, elit-elit lokal harus diberdayakan sehingga dapat hidup sejajar dengan manusia lain.