Judul Buku: Memahat Cinta di Batu Cadas
Penulis: Mohammad Toha
Penyunting: Muhammad Sholahuddin A
ISBN : 978-623-09-3834-4
Jumlah halaman: 511 halaman
Penerbit: PT Pusat Literasi Dunia
Tahun Terbit: 2023
“Berpolitik sama dengan berjudi, jika menang engkau akan ketagihan jika kalah engkau akan bangkrut.”
Begitulah kutipan yang sepertinya cocok menggambarkan perjalanan hidup keluarga Abdul Manaf dalam Novel Memahat Cinta di Batu Cadas. Sebuah kisah yang berawal dari puncak kejayaan, namun berakhir dengan kehancuran. Keterlibatannya dengan dunia politik membawa konsekuensi yang mahal, hingga ia terpaksa meninggalkan kampung halaman di Banyuwangi dan merantau ke arah timur, menuju Bima di Pulau Sumbawa.
Namun, takdir membawa ujian yang lebih berat lagi. Abdul Manaf harus menantang maut di tengah amukan laut, sebuah perjuangan yang membutuhkan keberanian dan tekad yang kuat.
Terlepas dari itu, kehidupan yang sebenarnya dimulai di Bima, mereka harus memulai bisnis dari awal sambil beradaptasi dengan budaya yang berbeda dari Jawa. Persaingan pedagang dan fitnah menambah dinamika cerita sehingga mampu menciptakan teka-teki menarik bagi pembaca.
Memahat Cinta di Batu Cadas tak hanya menggugah emosi dengan narasi dramatis, namun juga menghadirkan wawasan baru tentang sejarah hubungan antara kerajaan Gowa-Makassar dengan kerajaan Bima. Penjelasan rinci tentang letusan Gunung Tambora memberikan konteks penting mengapa kuliner di Bima tidak berkembang sebagaimana di Makassar-Bugis.
Karya Muhammad Toha ini tidak hanya membahas sejarah, tetapi juga memberikan pandangan mendalam tentang kehidupan di dunia perantauan. Penulis memaparkan dengan jelas tantangan-tantangan yang dihadapi dalam membangun usaha kuliner, serta kesulitan yang dihadapi dengan pemerintah.
Ditengah peliknya membangun usaha baru, terkuak fakta mengenai keempat anak Abdul Manaf yang bukanlah anak kandungnya. Yanto, Malik, Slamet dan Ana adalah anak angkat yang memiliki cerita tragis dari masing-masing orang tua kandung mereka.
Meski demikian, dapat dilihat bagaimana keluarga Abdul Manaf tetap saling menguatkan, saling pengertian dan peduli satu sama lain. Walaupun tidak ada ikatan darah di antara mereka.
Novel ini tidak hanya menyoroti upaya dan tantangan Abdul Manaf dalam merintis usaha baru, tetapi juga membawa pembaca pada kisah-kisah manis dan pahit remaja SMA di era 1987-1992.
Pemilihan kata dalam novel ini cukup ringan sehingga memungkinkan pembaca tidak sadar telah menuntaskan novel ini hingga ke akhir cerita. Sehingga pemilihan sudut pandang orang pertama mampu membuat pembaca seolah-olah ada didalam cerita.
Akan tetapi, sangat disayangkan topik pembahasan di dalam novel ini terlalu beragam, jadi tidak heran pembaca mengalami kebingungan untuk memahami cerita yang disajikan, bahkan memunculkan asumsi pembaca bahwa novel ini adalah sebuah biografi yang dikemas dengan fiksi.
Secara keseluruhan, novel ini sangat direkomendasikan, terutama bagi mereka yang sedang merantau atau berencana memulai usaha baru. Terdapat banyak motivasi dan inspirasi yang dapat diambil dari kisah yang disampaikan oleh Muhammad Toha. Penulis berhasil membangun perasaan haru yang kuat, tak jarang menggerakkan air mata pembaca.
Novel ini mampu memberikan pesan moral yang dibalut dengan elemen etnografi, geografi, sosial-budaya, sejarah, politik, dan ekonomi. Semua aspek tersebut terjalin dalam kisah perantauan sebuah keluarga dari Pulau Jawa ke pulau eksotik bernama Sumbawa. Penulis merangkai plot dengan baik dan seringkali menyelipkan adegan lucu di tengah suasana yang penuh emosi. Meskipun fokus pada keunikan budaya Bima, novel ini tetap menarik untuk dibaca berbagai lapisan masyarakat.
Choriah Ginting