Sabtu, 13 Desember 2025
  • Login
No Result
View All Result
identitas
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah
No Result
View All Result
identitas
No Result
View All Result
Home Headline

Memaknai Budaya Suku Baduy Banten

22 Maret 2024
in Headline, Lintas
Memaknai Budaya Suku Baduy Banten

Martunas Dosniroha Munthe, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Angkatan 2021

Editor Muh. Amar Masyhudul Haq

BacaJuga

Belajar Budaya Lokal dengan Cara Seru Bersama Etno Adventure

Etanol dalam Bahan Bakar, Aman atau Berisiko?

Berkelana seorang diri merupakan suatu pengalaman yang sangat berarti bagi hidup sekaligus membentuk rasa empati di setiap momen. 

Pemaknaan inilah yang mengantarkan saya melakukan perjalanan untuk belajar dan menikmati budaya adat suku Baduy, suku yang kehidupannya dalam hutan dan menolak perkembangan teknologi sehingga sulit didokumentasi.

Suku Baduy bermukim di kaki Pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Sekitar 40 kilometer dari Rangkasbitung, pusat kota di Lebak, Provinsi Banten. Tidak dapat dipungkiri, Suku Baduy adalah suku yang berada jauh dari perkotaan dengan segala keterbatasan akses untuk menuju ke sana. Oleh karena itu, saya berinisiatif berkunjung menggunakan jasa trip dengan beberapa fasilitas yang disediakan.

Rombongan saya terdiri dari empat belas orang dan seorang pemandu wisata. Anggota rombongan ini berasal dari berbagai daerah dan belum mengenal satu sama lain. Dengan berjalannya waktu, saya beradaptasi dan berinteraksi dengan kawan-kawan seperjalanan.

Rombongan Perjalanan Suku Baduy

Kami memulai perjalanan menuju pedalaman hutan pada Sabtu (27/01) siang. Saat memasuki kawasan Baduy, kami disambut dengan tulisan “Selamat Datang di Baduy”. Dalam perjalanan menuju pedalaman hutan, pemandu wisata menjelaskan secara umum seputar budaya suku tersebut.

Sepanjang perjalanan, mata saya melihat bangunan beratapkan ijuk jerami atau rumbia dengan lantai anyaman bambu. Pondasi rumahnya berupa kayu, sedangkan pada bagian dasar pondasi menggunakan batu kali atau umpak sebagai landasannya. Rumah yang dinamakan Sulah Nyanda ini memiliki hal unik. Rumah ini tidak dilengkapi dengan jendela dengan maksud agar para penghuni rumah yang ingin melihat keluar diharuskan pergi untuk melihat sisi bagian luar rumah. Di sisi lain pembangunan rumah adat ini dibangun dengan mengikuti kontur tanah, hal ini berkaitan dengan aturan adat yang mengharuskan setiap masyarakat yang ingin membangun rumah untuk tidak merusak alam.

Keseharian Anak-anak Suku Baduy

Pemandu wisata juga menjelaskan bahwa masyarakat Suku Baduy terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu Kelompok Baduy Dalam biasa juga disebut tangtu, bermukim di tiga kampung yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kelompok Baduy Dalam ini memakai pakaian berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Kelompok Baduy Dalam inilah yang menolak adanya teknologi modern dalam kehidupan sehari hari. 

Kelompok yang kedua adalah Kelompok Baduy Luar atau disebut penamping bermukim di kampung Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu dan lain sebagainya. Kelompok Baduy Luar ini mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam, berbeda dengan kelompok Baduy Dalam, kelompok ini sudah terpengaruh budaya luar dan kemajuan teknologi, tetapi masih patuh pada adat istiadat.

Sedangkan kelompok ketiga yaitu Kelompok Baduy Dangka, kelompok yang tinggal  di luar Wilayah Pegunungan Kanekes. Kelompok ini berfungsi sebagai “buffer zone” atas pengaruh dari luar.

Sesampainya di perbatasan wilayah Baduy Dalam dan Baduy Luar, pemandu wisata meminta kami untuk menonaktifkan segala aktivitas elektronik, baik itu gawai maupun kamera. Tidak lama berjalan, kami tiba di rumah warga Baduy Dalam pada sore hari dan segera ke sungai untuk mandi karena rumah warga di Baduy Dalam tidak memiliki toilet. Pemandu wisata juga kembali mengingatkan untuk tidak menggunakan sabun, detergen, pasta gigi, pembersih wajah, dan lainnya karena aturan untuk menjaga kelestarian hutan wilayah Baduy.

Pada malam hari, kami disuguhkan makanan khas Suku Baduy dan melakukan diskusi seputar suku tersebut bersama tokoh adat setempat mengenai sejarah, sistem adat, sistem pemerintahan, kepercayaan, dan lainnya.

Orang Baduy ketika berladang

Keesokan harinya, rombongan kami akhirnya keluar dari pedalaman hutan menuju titik awal keberangkatan. Perjalanan pulang memberikan ruang yang banyak untuk kembali merenungkan pengalaman yang dilewati. Kami menikmati pengalaman dan perkenalan baru dengan masyarakat setempat, dan akhirnya saya memahami bahwa setiap perjalanan selalu dipenuhi dengan petualangan unik, tergantung bagaimana kita melihat, mengamati, lalu memaknai.

Siapa sangka, melalui perjalanan kali ini saya mendapat banyak pengalaman berarti terutama dari kesederhanaan masyarakat Baduy namun bahagia, menghargai alam, dan menjaga harmoni dengan lingkungan.

Saya sendiri beberapa kali merenungkan betapa pentingnya untuk kembali ke akar budaya dan menjaga keseimbangan alam. Bagi saya, berkunjung ke Baduy adalah sebuah perjalanan spiritual dan kultural yang tidak akan pernah saya lupakan. Dalam era modern yang penuh dengan hiruk-pikuk, merasakan ketenangan, dan keaslian di tengah-tengah alam Baduy adalah sebuah anugerah.

“Setiap orang adalah guru, dan setiap tempat adalah sekolah “

 

Penulis :

Martunas Dosniroha Munthe

Mahasiswa  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Angkatan 2021

Tags: BAntenbudayaMartunas Dosniroha MuntheMasyarakat AdatPerjalananSuku Baduy
ShareTweetSendShareShare
Previous Post

Tunggu Waktu Berbuka, Career Center Unhas Hadirkan Obrolan Seru Seputar Fotografi

Next Post

UNICEF Ajak Generasi Muda Jadi Advokat Isu Sumber Daya Air

TRENDING

Liputan Khusus

Ketika Kata Tak Sampai, Tembok Jadi Suara

Membaca Suara Mahasiswa dari Tembok

Eksibisionisme Hantui Ruang Belajar

Peran Kampus Cegah Eksibisionisme

Jantung Intelektual yang Termakan Usia

Di Balik Cerita Kehadiran Bank Unhas

ADVERTISEMENT
Tweets by @IdentitasUnhas
Ikuti kami di:
  • Facebook
  • Twitter
  • Instagram
  • Youtube
  • Dailymotion
  • Disclaimer
  • Kirimkan Karyamu
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
© 2025 - identitas Unhas
Penerbitan Kampus Universitas Hasanuddin
  • Home
  • Ulasan
    • Civitas
    • Kampusiana
    • Kronik
    • Rampai
    • Editorial
  • Figur
    • Jeklang
    • Biografi
    • Wansus
    • Lintas
  • Bundel
  • Ipteks
  • Sastra
    • Cerpen
    • Resensi
    • Puisi
  • Tips
  • Opini
    • Cermin
    • Dari Pembaca
    • Renungan
  • identitas English
  • Infografis
    • Quote
    • Tau Jaki’?
    • Desain Banner
    • Komik
  • Potret
    • Video
    • Advertorial
  • Majalah

Copyright © 2012 - 2024, identitas Unhas - by Rumah Host.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In