Pelajaran apa yang akan didapatkan dalam panjat tebing? Mengapa kegiatan ini perlu dilakukan? Semoga tulisan ini bisa menjawab segudang pertanyaan mengenai pemanjatan tebing.
Rasa resah dan syukur mendorong kami memulai kegiatan. Awalnya ada keresahan karena semakin kurang minat dari orang-orang untuk menggeluti aktivitas panjat tebing. Hal ini akan mengancam tidak terwarisnya ilmu tebing dan juga bagaimana melakukan panjat tebing. Tak kalah menyedihkan, media untuk melakukan aktivitas ini pun terancam sepi, hingga berpotensi mengalami eksploitasi. Di lain sisi, rasa syukur selalu hadir terhadap pemberian Tuhan berupa kawasan karst yang terbesar kedua di dunia. Kami merasa terpanggil untuk menjaga aset bersejarah, penopang hayat hidup manusia di Selatan Sulawesi.
Bersama Maros Adventure Rock Climbing Institue, kami mengadakan ekspedisi pemanjatan tebing yang bertemakan “Stairway to Heaven”. Tema ini diambil sesuai dengan arti nama Bambapuang, lokasi ekspedisi dilakukan yaitu “Tangga Raja”. Tempat yang sangat tinggi, sehingga jika ingin mencapai puncaknya seperti sedang menaiki tangga raja.
Saat itu, saya dan delapan orang teman lainnya bergabung sebagai atlet panjat tebing. Tim kami melakukan ekspedisi panjat tebing di Tebing Gunung Bambapuang yang terletak di Desa Bambapuang, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang. Tebing yang menjulang setinggi 300an meter ini memiliki kemiringan bervariasi dan berada di tengah-tengah perkampungan masyarakat.
Sebelum melakukan kegiatan, kami berkunjung ke rumah keluarga Almarhum Pak Syamsul untuk meminta izin. Rumah ini memang dijadikan tempat mengisi buku tamu bagi kelompok yang ingin melakukan aktivitas panjat tebing. Keluarga yang begitu ramah membuat kami rasanya seperti ditinggal di rumah sendiri.
Saat melihat riwayat buku tamu, ternyata ada fakta yang menarik. Pemanjatan di Gunung atau Tebing Bambapuang ini telah dimulai pada tahun 1987. Lalu ekspedisi yang kami lakukan ialah pemanjatan ke 30 selama 33 tahun silam.
Proses perizinan selesai, kami mulai bergegas ke kaki tebing untuk menyiapkan alat. Saat itu 12 Desember 2020, kami mulai mendirikan basecamp. Tempat yang akan berguna untuk penyimpanan kebutuhan utama selama kegiatan. Kami juga membuka jalur scrambling, jalur curam yang membutuhkan bantuan tangan agar bisa dilalui. Jalur ini jaraknya sekitar 500 m dari basecamp. Sehingga menjadi jalur untuk menyalurkan bantuan dari tim support kepada atlet panjat.
Aktivitas pemanjatan kami lakukan selama tujuh hari, 15-22 Desember 2020. Dalam ekspedisi ini, kami membuat jalur pemanjatan yang baru. Tantangannya ialah tebing tersusun dari beberapa batuan rapuh sehingga untuk menghindari batuan ini jalur yang dibuat semakin panjang. Di tambah lagi, teriknya matahari di siang hari begitu membakar kulit silih berganti dengan hujan badai sore. Malam kami disambut dengan angin yang menebus jaket hingga kulit. Kondisi yang betul-betul mengajarkan kami bagaimana cara bertahan hidup dan belajar dari alam.
Hari kelima pemanjatan, rasa haus menderah dan persediaan air menipis. Saat itu kami belajar minum bukan saat dahaga menyerang, namun saat waktunya. Waktu di mana kami ditentukan untuk minum agar persediaan cukup sesuai dengan yang direncanakan.
Selama pemanjatan, hidup tergantung pada seutas tali karmantel agar tidak terjatuh. Fasilitas yang sangat mewah bagi kami para atlet. Di tebing, kami tidak butuh kasur empuk, bantal guling, selimut terlebih gadget. Hidup berjalan hanya dengan menghirup udara segar, memanjat sambil mengingat kebaikan Sang Pencipta. Tak henti-hentinya doa terucap agar bisa membuat jalur sampai ke puncak tebing.
Bagi kami tim atlet, pemanjatan ini takkan berjalan baik tanpa kehadiran mereka yang selalu mendukung. Kami mengapresiasi tim support yang juga bekerja keras. Mereka harus melalui jalur scrambling yang tak kalah menakutkan. Setiap orang selama dua kali dalam sehari membawa segala kebutuhan atlet dengan beban minimal 10 Kg. Bersama beban di punggung, mereka harus fokus berjalan agar tidak menjatuhkan batu atau siap siaga menghindari batu yang sewaktu-waktu bisa jatuh dari atas.
Kami belajar banyak dari ekspedisi panjat tebing ini. Kekuatan fisik, pikiran, hati dan batin semuanya diuji. Tidak hanya belajar sendiri, tetapi bekerjasama dalam tim. Inilah nilai adventure yang seharusnya dibawa dalam kehidupan. Layaknya aktivitas pemanjatan, media kehidupan mutlak dikenali dengan penuh ketelitian, kehati-hatian dan pertimbangan matang sebelum melangkah agar tidak berakibat fatal bagi diri sendiri maupun orang lain.
Penulis merupakan Asnal Sudirman
Mahasiswa Ilmu Administrasi
FISIP Unhas
Angkatan 2015
Editor : Fransiska Sabu Wolor