”Saya percaya, cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cuma satu buku. Cari buku itu. Mari jatuh cinta”.
Najwa Shihab
Beberapa hari yang lalu, saya duduk di depan rak buku kecil yang saya beli dua tahun lalu. Warnanya yang dulu hitam pekat kini mulai pudar karena berdebu, saya sudah tak ingat kapan terakhir kali saya membersihkannya. Sebelum bergabung di lembaga pers yang menyita hampir segala waktu, saya rutin menyeka debu di rak itu. Agar tak bosan, saya juga sering menukar posisi beberapa buku, entah itu selaras dengan tingginya atau warna buku tersebut.
Hampir 20 menit duduk sambil bertanya-tanya sejak kapan kegemaran ini dimulai, saya seakan terlempar ke 13 tahun yang lalu, ketika saya tidak suka berbicara dengan orang-orang. Waktu itu saya menganggap kalau kebanyakan orang yang saya temui terlalu banyak omong kosong, mengeluh, dan terkadang merendahkan.
Namun ketidaksukaan itu ternyata membawa konsekuensi, saya merasa jika harus mencari cara untuk bercerita dan mendapatkan informasi. Tiba-tiba saja saya mengingat bahwa kemarin, adik dari ibu saya membawa sebuah buku berwarna putih dengan judul Jangan Kuliah! Kalau Gak Sukses. Saya memasuki kamarnya dan langsung melihat buku itu tergeletak di meja belajar, dengan sigap saya mengambil lalu mulai membaca tiap kata yang tertera di 160 halaman buku tersebut.
Seperti buku self improvement pada umumnya, buku tersebut terlalu banyak mengoceh soal kiat-kiat sukses di usia muda. Sebenarnya waktu itu saya tidak terlalu paham dengan isi bukunya, tetapi dengan ketidaktahuan itulah yang akhirnya membuat saya melompat ke buku-buku berikutnya, dan pada akhirnya menikmati kegiatan membaca.
Saya tersadar saat menulis artikel ini, sepertinya buku yang ditulis oleh entah siapa itu telah mengubah sedikit pola pikir saya soal membaca. Kalau saya tidak salah, di buku itu tertulis, ada tiga hal yang mencerminkan diri seseorang lima tahun yang akan datang, salah satunya adalah buku. Meskipun terdengar naif, nyatanya itu secara tidak sadar masih saya yakini.
Terlihat ketika duduk di bangku SMA, saya terpikir untuk tidak melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, kondisi ekonomi keluarga yang tertatih-tatih membuat saya urung untuk lanjut, ditambah dengan adanya perusahaan nikel yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Sempat mengalami pergolakan yang panjang, saya kembali mengingat tulisan Andrea Hirata yang saya baca sewaktu SMP.
Buku keduanya, Sang Pemimpi yang mengangkat masa remaja Ikal dan saudara jauhnya Arai mengubah keputusan saya, saya waktu itu merasa memiliki kesamaan dengan Ikal yang sempat bimbang karena merasa tak berdaya dengan kesulitan keluarganya, serta menganggap mimpi-mimpinya begitu mustahil untuk diwujudkan.
Di tengah kebimbangan itulah, ia mendapat teguran dari Kepala sekolahnya yang mengunjungi dirinya saat bekerja di pelabuhan, kira-kira ia mengatakan seperti ini, ”Janganlah kau buang mimpi-mimpimu, ayahmu hanya memakai baju empat sakunya untuk mengambil rapormu, yang pejabat bupati pun ketika berkunjung, ia tak akan pernah memakainya. Ia rela mengayuh sepedanya puluhan kilometer hanya untuk kertas rapormu, yang mungkin mengecewakannya esok hari,”.
Sesaat setelah mengingat itu, saya akhirnya memikirkan ibu, apakah keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi adalah kesimpulan yang saya ambil secara sepihak, dan tidak mempertimbangkannya sebagai orang tua. Saya memang jarang berterus terang waktu itu, sebab saya tidak ingin terlalu membebani hidupya.
Pada akhirnya saya berani menanyakan kesanggupannya, ia menjawab bahwa dia siap dengan syarat agar saya berkuliah dengan sungguh-sungguh. Momen itulah yang membuat saya tidak menyangka jika bacaan yang saya anggap sebagai sekadar hiburan saja, berubah menjadi sebuah penyelamat dari sebuah keterpurukan.
Kembali dengan diri saya yang duduk di depan rak buku, saya berjanji untuk loyal dengan kebiasaan ini, dengan buku-buku ini, meskipun suatu hari nanti orang-orang tak lagi akan membaca buku karena masifnya teknologi yang mempermudah manusia mendapatkan informasi.
Saya mengira bahwa buku bukan hanya sumber informasi, tapi sebuah alur berpikir yang lengkap, cerita yang utuh, serta keindahan dari ruang kecil di kepala yang abstrak. Yang tidak akan pernah ditemui di siniar manapun.
Maka dari itu, lewat tulisan ini saya ingin berpesan untuk menggiatkan kebiasaan membaca buku, supaya hidup bisa lebih terarah dan punya makna. Serta agar informasi yang disampaikan juga tidak setengah-setengah, seperti video yang kerap kali muncul di platform media sosial.
Achmad Ghiffary M
Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam 2021
Redaktur Pelaksana PK Identitas Unhas