Di kampus, tembok sering lebih jujur daripada forum diskusi. Ia tidak mengenal moderator, tidak tunduk pada tata tertib dan tidak takut pada sanksi. Bagi sebagian mahasiswa, menulis di dinding bukan sekadar pelampiasan tapi cara untuk memastikan bahwa keresahan mereka terlihat dan apa yang mereka rasakan benar adanya.
Dosen Sosiologi Universitas Hasanuddin (Unhas), Muhammad Adnan Kasogi SSos MSi menyebut, dari sudut pandang sosiologis, fenomena vandalisme yang terjadi di kampus tidak bisa dianggap sebagai tindakan merusak semata.
“Vandalisme Ini sering kali lahir dari ketimpangan atau ketidakadilan yang dirasakan mahasiswa terhadap sistem kampus. Dalam sosiologi, ini bentuk simbolik dari perlawanan. Meski merusak, tapi bisa jadi katup pengaman,” jelasnya.
Ia menambahkan, tindakan mencoret bukan hanya reaksi spontan. Adnan juga mencatat, mahasiswa cenderung menghindari jalur formal karena dianggap lamban, tertutup, atau hanya simbolik. Maka, vandalisme pun menjadi ‘jalur cepat’ untuk menyampaikan keresahan. Sehingga vandalisme yang terjadi di kampus bisa dicegah melalui dialog.
“Toilet, lorong, dinding kampus, itu tempat yang strategis secara simbolik. Tingkat visibilitasnya tinggi. Mahasiswa merasa itulah cara paling langsung untuk menunjukkan bahwa ada yang tidak beres,” tambahnya.
Sementara itu, dosen Antropologi Unhas, Andi Batara Al Isra SSos MA, mengajak melihat aksi ini sebagai bentuk komunikasi. “Dari sudut pandang antropologi, vandalisme itu ekspresi, seperti kita update story di second account. Bedanya, ini ditulis langsung di tembok. Bagi mereka yang merasa tidak cukup didengar di ruang digital atau forum resmi, tembok kampus jadi media alternatif,” ungkap Batara.
Ia mengingatkan, banyak mahasiswa sadar bahwa jalur formal tidak memihak mereka. Maka mereka memilih bentuk perlawanan diam. “Seperti kata James Scott, bentuk-bentuk kecil seperti ini adalah senjata perlawanan orang-orang yang tak punya akses ke panggung utama. Coretan ini bisa tampak sepele, tapi sering kali memuat kritik paling jujur,” katanya.
Dari coretan menuju ruang diskusi
Pihak kampus menyadari fenomena ini tidak bisa lagi dipandang sebagai tindakan merusak semata. Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unhas, Prof drg Muhammad Ruslin MKes PhD SpBM(K), mengatakan bahwa ia melihat aksi coretan sebagai bentuk ekspresi mahasiswa yang belum menemukan ruang yang tepat.
“Masalah vandalisme itu sebenarnya ada di mana-mana, bukan cuma di kampus. Bisa jadi ini bentuk ekspresi mahasiswa yang belum punya saluran yang pas untuk menyampaikan unek-unek mereka. Tapi tentu saja, kita tidak ingin ekspresi itu justru mengotori tempat yang seharusnya bersih dan nyaman untuk semua,” ujarnya.
Pihak kampus berupaya membuka ruang dialog dengan mahasiswa. Bahkan, Ruslin menyebut bahwa pihaknya telah menyurati semua fakultas agar rutin menyelenggarakan diskusi kemahasiswaan dan forum akademik yang lebih terbuka. Tidak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa pintunya selalu terbuka untuk mahasiswa yang ingin berdialog secara langsung.
“Siapa saja boleh datang ke ruangan saya kapan pun. Tidak perlu janji dan surat resmi. Saya ini pelayan, tugas saya melayani masyarakat, termasuk mahasiswa. Bahkan kalau mereka turun aksi atau menyampaikan protes, saya tidak marah. Saya malah lebih senang kalau mereka datang dan bicara langsung,” pungkasnya.
Membaca akar masalah di balik coretan
Jika kembali melihat persoalan ini dari sudut pandang akademisi, tindakan vandalisme di kampus seharusnya tidak hanya dipahami sebagai bentuk pelanggaran semata, tetapi juga sebagai penanda adanya persoalan yang lebih dalam.
Menurut Adnan, penanganan vandalisme tidak cukup hanya dengan penghapusan. Ia menilai, jika kampus hanya fokus pada pelarangan atau pembersihan tanpa menyentuh akar keresahan mahasiswa, maka ketegangan sosial bisa terus berulang.
“Kalau kampus hanya menerapkan pendekatan penghapusan atau pelarangan tanpa menyentuh akar keresahan mahasiswa, maka risiko sosial jangka panjangnya cukup serius,” terang Adnan.
Ia menambahkan, situasi seperti ini bisa menjadi siklus yang tak berujung, mahasiswa merasa tidak didengar, mencoret tembok, lalu kampus menghapus dan muncul coretan baru. Kedua pihak sama-sama dirugikan.
Senada dengan itu, A Batara Al Isra menganalogikan persoalan ini secara sederhana. Ia menyebut bahwa masalah utamanya bukan karena temboknya dicoret, tetapi karena ada mahasiswa yang merasa perlu mencoret. “Yang dilakukan kampus seringkali hanya menghapus. Seperti rumah bocor yang airnya ditampung pakai ember, tapi atapnya tidak diperbaiki,” ungkapnya.
Baginya, coretan adalah tanda bahwa ada sesuatu yang belum selesai. Selama yang diatasi hanya dampaknya, persoalan akan terus berulang.
Suara di balik tulisan
Fenomena vandalisme di kampus bukan hanya perkara disiplin atau estetika. Ia adalah gejala dari ruang ekspresi yang semakin sempit dan komunikasi yang renggang antara mahasiswa dan otoritas kampus. Di balik coretan yang dianggap merusak, tersembunyi pesan yang ingin dipahami tentang keresahan, ketidakpuasan, dan rasa tidak didengar.
Melalui pendekatan James C Scott, kita belajar bahwa perlawanan tidak selalu datang dalam bentuk orasi lantang atau aksi besar. Terkadang, ia hadir dalam bisikan, lewat tulisan di balik pintu toilet, dinding fakultas, atau lorong gelap kampus. Tindakan-tindakan kecil ini adalah bagian dari hidden transcript, yakni upaya diam-diam untuk melawan narasi resmi yang terasa tidak mewakili.
Maka menyapu bersih coretan tanpa mendengarkan isi pesannya, sama saja seperti menambal atap bocor tanpa memperbaiki genteng. Masalahnya akan kembali, bentuknya mungkin berbeda, tapi pesannya tetap sama yakni ada yang ingin bicara.
Karena pertanyaannya bukan lagi, “Siapa yang mencoret?” melainkan, “Apa yang ingin disampaikan?” Dan selama pertanyaan itu belum dijawab, tembok kampus akan terus berbicara dengan caranya sendiri.
Atha
