Ketimpangan pendidikan di Indonesia masih terjadi, khususnya di wilayah pelosok desa. Gedung sekolah yang tidak layak, fasilitas yang kurang memadai, serta kurangnya pengajar membuat anak-anak yang tinggal di pedalaman tidak mendapatkan pendidikan yang cukup untuk mengasah kemampuan yang dimiliki.
Hal itu juga yang dilihat oleh Andi Mey Kumalasari, pencetus Sokola Kaki Langit, saat mengunjungi temannya di dusun Umpungeng, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan.
Mey melihat bahwa pendidikan di sana cukup tertinggal, bahkan gurunya pun tidak ada. Dari keresahan itu, Mey berpikir bagaimana caranya agar ia bisa membantu anak-anak di sana. Berangkat dari situ, Mey bersama teman-temannya pun berpikir untuk mendirikan Sokola Kaki Langit (SKL). Pemikiran tersebut pun direalisasikannya pada 2015.
Sebenarnya, SKL dibentuk pada 28 Desember 2014. Namun, perekrutan volunter secara masif baru dilakukan pada 2015. Dari situ, SKL mendapatkan banyak respons positif.
Pada awalnya, pencetus SKL itu hanya mengajak teman-temannya untuk mengunjungi dusun Umpungeng. Kemudian ia mulai menambah sukarelawan lewat promosi mulut ke mulut dan membagikan brosur karena pada masa itu internet belum marak seperti saat ini.
Struktur kepengurusan SKL hampir sama dengan struktur yang dimiliki oleh organisasi pada umumnya, hanya penamaannya saja yang berbeda. Hal ini dijelaskan oleh demisioner Kepala Sokola (Kepsok) SKL, Dewi Utari.
“Orang biasanya taunya pengurus, kalo di SKL itu disebut perangkat. Jadi di perangkat itu ada kakak sosmed, kakak bendahara, kurikulum, ada kayak donasi, jadi sebenarnya kurang lebih sama dengan struktural organisasi yang lain cuma namanya aja yang beda,” jelasnya saat diwawancarai, Selasa (20/02).
Dewi memberi tahu bagaimana SKL menargetkan wilayah desa yang akan disinggahi. Pada akhir tahun, biasanya Koordinator Lapangan (Korlap) akan melakukan ekspedisi ke beberapa tempat berdasarkan informasi yang diterima. Dari situ mereka akan melakukan observasi dan melihat kesesuaian desa dengan kriteria yang ada.
Beberapa kriteria yang diobservasi yakni jarak tempuh dari Makassar ke lokasi, kendaraan apa saja yang bisa digunakan, berapa lama harus berjalan kaki, kondisi penghasilan masyarakat di sana, dan sebagainya.
Setelah lokasi ditentukan, SKL akan membuka perekrutan sukarelawan baru untuk terjun mengajar ke sana. Biasanya, kegiatan akan dilakukan selama lima hari, dua hari digunakan untuk perjalanan sampai ke sana, dan tiga hari sisanya untuk mengajar.
Biasanya, sukarelawan akan mengajar setelah pendidikan formal telah usai. Pelajaran yang diajarkan juga beragam, ada kelas senam dan agama di hari Jumat, upacara di hari Sabtu, ada pula pelajaran minat dan bakat yang disesuaikan dengan kegemaran anak-anak.
Bagi Dewi, pengalaman mengajar yang dilaluinya sangat berharga. Ia merasa bukan dirinya yang memberi, melainkan ia sendiri yang diberikan sesuatu yang tidak ternilai harganya. Ia sendiri belajar bagaimana masyarakat di sana merasa cukup dengan apa yang dimiliki.
“Semua momen yang saya lewati itu berharga. Sedikit banyak yang kami kasih, bahkan mungkin kami yang lebih banyak diberi. Saya belum pernah mendapatkan penerimaan yang begitu besar yang kadang memberikan rasa haru, bukan hanya dari siswanya tetapi juga dari para warganya,” ungkapnya.
Sampai saat ini, sudah terdapat 586 relawan yang pernah mendaftar di SKL dan total lima kabupaten yang pernah dijejaki SKL di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Soppeng, Barru, Maros, Pangkep, dan Bone.
Cara menjadi relawan pun mudah. Bagi yang berminat menjadi relawan cukup mengikuti seluruh rangkaian open recruitment SKL. Rangkaian tersebut mulai dari mendaftar, mengikuti pertemuan yang dilakukan sebanyak tiga kali, pertemuan pertama untuk perkenalan, yang kedua untuk micro teaching mengenai basic literasi dalam mengajar maupun berinteaksi kepada anak-anak, dan yang terakhir untuk briefing sebelum pemberangkatan.
Meskipun kilaunya sempat pudar karena banyaknya komunitas pendidik pelosok lainnya yang muncul, SKL tetap kepada misinya dalam membantu anak-anak pelosok membangun mimpinya melalui ilmu pengetahuan.
“Semoga SKL masih bisa terus bermanfaat, memberikan dampak untuk adik-adik di pedalaman selama pendidikan di Indonesia masih belum baik-baik saja. Semoga kami juga bisa mendorong masyarakat dan aparat setempat untuk mebangun kampung atau dusunnya, entah itu dari segi infrastruktur ataupun pendidikan,” harap Dewi.
Najwa Hanana