“UNHAS Berhentikan Sementara Kepala Departemen yang Diduga Melecehkan 4 Mahasiswa” dan “Kepala Departemen di FISIP Unhas Diduga Lakukan Pelecehan, Dekan: Tunggu Hasil Pemeriksaan Satgas”
Dua judul berita di atas menambah panjang jumlah kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Di satu sisi, sangat disayangkan terjadinya kasus seperti ini. Namun di sisi lain, keberanian para korban melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialami patut diapresiasi. Hal ini juga berarti, sudah semakin banyak orang yang memiliki kesadaran terhadap pentingnya melawan tindakan kekerasan seksual di manapun, tanpa terkecuali.
Kekerasan seksual di areal kampus tidak lagi menjadi rahasia umum. Isu ini sudah kerap diperbincangkan di banyak forum resmi ataupun diskusi-diskusi lepas antar mahasiswa. Hampir seluruh kampus di penjuru Indonesia mengalami krisis kekerasan seksual yang semakin menghilangkan ruang aman bagi perempuan.
Sebelumnya, seorang mahasiswi dengan disabilitas di Universitas Hasanuddin sempat menyampaikan keluhannya mengenai keamanan di dalam perpustakaan kampus. Terlebih pada beberapa ruang khusus tertutup, seperti Braille Corner.
Sebagai perempuan dan disabilitas netra, ia memiliki kerentanan karena tidak dapat mengetahui ada tidaknya seseorang di ruangan. Pendamping disabilitas tidak selamanya mendampingi, pada kondisi tertentu, ia akan sendiri dan melakukan aktivitas membaca secara mandiri. Baginya, akan terasa aman jika ada CCTV.
Jika terjadi sesuatu yang berkaitan dengan pelecehan, baik berdasarkan disabilitas maupun seksualitas, maka akan mudah diketahui kejadian dan pelakunya. Dalam konteks keamanan bagi mahasiswa dengan dua atau lebih identitas yang rentan inilah tulisan ini dimaksudkan. Yakni bagaimana mendesain kampus sebagai lembaga pendidikan yang berperspektif seksualitas dan disabilitas sekaligus.
Seksualitas dan Disabilitas
Dalam kajian Kewarganegaraan, konsep seksualitas dan disabilitas bukan hal terpisah. Memahami interkoneksi antara seksualitas dan disabilitas dapat mengantar kita pada pemahaman yang lebih komprehensif mengenai fenomena seksualitas dan disabilitas di kampus.
Jika diurai menjadi seks, seksual, dan seksualitas, maka pemahamannya seks merupakan jenis kelamin, seksual merupakan aktivitas seks baik fisik maupun non-fisik, dan seksualitas mencakup dimensi sensualitas, keintiman, identitas seksual, kesehatan dan reproduksi seksual, serta seksualisasi yang mencakup aspek biologis, sosial, politik, psikologis, dan kultural (SIECUS, 2004).
Sementara disabilitas dipahami sebagai hasil interaksi antara orang dengan impairment atau deformitas pada organ dan sikap, serta lingkungan yang menghambat partisipasi mereka (Konvensi PBB, 2006). Mahasiswi dengan disabilitas di atas, merupakan satu individu dengan lebih dua identitas yang melekat: perempuan, disabilitas, dan mahasiswi.
Lingkaran Seksualitas
Sensualitas dan keintiman adalah dua kondisi yang membentuk seseorang mampu memiliki hubungan pertemanan maupun persahabatan secara intensif dengan orang lain. Ada kenyamanan bersama orang lain yang kemudian membangun pertemanan.
Memahami seksualitas juga berarti memahami identitas seksual, yakni merasa diri sebagai siapa secara seksual, seperti rasa kelelakian atau rasa keperempuanan. Dalam konteks ini, pada kondisi tertentu, kita dapat masuk ke lingkungan dengan orientasi seksual dan identitas gender.
Beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa menyebut identitas gendernya sebagai non-binary. Jika tanpa pemahaman seksualitas, maka penyampaian identitas gender yang berbeda dari yang publik pahami saat ini, di mana hanya terpaku pada ‘cis-gender’ saja (strigth), maka akan menimbulkan keterkejutan dan reaktif secara negatif.
Cis gender yang dimaksud di sini adalah situasi di mana identitas gender seseorang sejak lahir tetap sama sampai ia dewasa. Memang kita sudah mengetahui beberapa hal terkait peralihan identitas gender, misalnya dari laki-laki menjadi perempuan, atau sebaliknya dari perempuan menjadi laki-laki—yang kita sebut trans-gender, apakah sebagai trans-puan atau trans-pria.
Memahami seksualitas juga berarti memahami kesehatan dan reproduksi seksual, memahami adanya sikap dan perilaku yang berhubungan dengan melahirkan anak, perawatan dan pemeliharaan alat kelamin dan organ reproduksi, serta akibat kesehatan dari perilaku seksual.
Sayangnya, karena jarang dibincangkan, sekalipun dalam lingkup keluarga sendiri tetap sulit mendiskusikannya secara terbuka. Orang tua yang telah mengerti seksualitas akan membuka diri untuk mendiskusikan hal ini dengan anak-anaknya. Sebaliknya, orang tua yang gagal belajar seksualitas di masa mudanya akan kesulitan membiasakan membincangkan hal ini dengan anak-anak.
Di kampus, jikapun membahas soal seksualitas lebih banyak pada aspek kelima dari seksualitas, yakni seksualisasi. Itupun lebih condong pada aspek hukum ketimbang politik atau budaya. Seks dan seksual menjadi dasar memengaruhi, mengontrol dan memanipulasi orang lain.
Upaya-upaya kelembagaan kampus mengatur anggota komunitas akademik agar tidak menggunakan seksualitas untuk mengambil untung dan merugikan orang lain merupakan konsentrasi pada aspek ini. Ini artinya, mempelajari seksualitas juga memahami adanya motif orang-orang yang ingin memanfaatkan kuasa yang dimilikinya di kampus untuk merentankan mereka yang rentan, seperti mahasiswi dan difabel.
Kampus dengan minim perspektif disabilitas akan membuat mahasiswa atau dosen dengan disabilitas menjadi lebih rentan menjadi korban. Jika salah satu kerentanan (disabilitas atau seksualitas) bertemu dengan relasi kuasa, maka potensi yang dominan dapat merentankan pihak lain yang marjinal. Seperti kasus yang dijelaskan diatas.
Jalan keluar
Kampus diharapkan dapat menjadi ruang aman, nyaman, dan inklusif bagi seluruh mahasiswa, termasuk mereka yang memiliki identitas majemuk sebagai penyandang disabilitas.
Untuk mewujudkannya, beberapa upaya dapat dilakukan, seperti menghidupkan kajian seksualitas dan disabilitas bagi civitas academica, membentuk dan memaksimalkan pusat layanan disabilitas dan seksualitas di kampus, membentuk tim advokasi atau komisi disiplin dalam menangani perlakuan ableist dan seksualist di kampus, serta menyiapkan rencana jangka menengah untuk membangun kampus yang inklusif berperspektif disabilitas dan seksualitas.
Dengan kolaborasi dari seluruh elemen kampus, diharapkan persoalan seksualitas dan disabilitas di lingkungan pendidikan tinggi dapat diatasi, sehingga terciptalah sebuah kampus yang benar-benar aman, nyaman, dan ramah bagi semua.
Ishak Salim
Ketua Pusat Disabilitas Universitas Hasanuddin