Di balik kehidupan yang sederhana, benih kecintaan sosok Aziziah Diah Aprilya pada dunia visual sudah tumbuh sejak dini. Sejak usia lima tahun, ia pindah dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara ke Makassar, kota yang hingga kini menjadi ruang hidup sekaligus sumber inspirasinya.
Hari-harinya diisi dengan permainan anak sebayanya, seperti bersepeda, main kelereng, atau berlarian bersama teman-teman. Namun, ada satu kebiasaan keluarga yang kemudian membentuk jalan hidupnya, yakni menonton film di bioskop.
Kedua orang tuanya adalah penggemar film, sehingga setiap liburan keluarga sering kali dihabiskan dengan menonton bersama. Wanita yang akrab disapa Zizi itu masih ingat betul film pertama yang ditontonnya, Petualangan Sherina, di sebuah bioskop lama Makassar. Pengalaman itu meninggalkan kesan mendalam.
Tidak hanya bioskop, keberadaan tempat sewa CD film di dekat rumahnya juga memberi ruang bagi Zizi untuk mengeksplorasi beragam judul film. Koleksi film yang ia tonton membuatnya makin terikat dengan dunia visual.
Bersamaan dengan itu, ia juga gemar membeli komik dan membaca novel. Sejak SD, ia sudah mulai menulis cerita panjang semacam novel fantasi kecil yang terinspirasi dari Harry Potter dan Narnia. Dunia tulis-menulis, buku, dan film menjadi benang merah yang terus mengiringinya hingga SMP dan SMA.
Saat SMA, Zizi bahkan sempat membuat film dokumenter sekolah bersama teman-temannya. Dari pengalaman itu, tumbuh keinginan besar untuk masuk jurusan film. Namun, jalan kuliahnya tidak serta-merta mengarah ke sana. Di Makassar, hanya ada satu kampus dengan jurusan film, sementara orang tuanya menginginkan ia melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin (Unhas).
“Akhirnya saya memilih Ilmu Komunikasi, karena ada mata kuliah filmmaking. Dari situ saya mengenal fotografi,” kenangnya, Kamis (28/08).
Pilihan itu ternyata menjadi titik baliknya. Ia sadar, untuk memahami film harus terlebih dahulu menguasai fotografi. Lama-kelamaan, kamera foto justru menjadi medium yang paling lekat dengannya.
Di masa kuliah, meski tidak resmi tergabung dalam Liga Film Mahasiswa, Zizi kerap nongkrong di UKM tersebut. Ia banyak belajar dari diskusi, menonton bersama para senior, hingga membuat film sebagai sutradara dan penulis skenario untuk tugas kuliah.
Namun titik balik yang lebih besar datang pada 2017–2018, ketika ia mengikuti residensi di Tanah Indie. Saat itu, ia membuat esai foto tentang pete-pete (angkot Makassar). Dengan memotret dari bagian dalam hingga berbincang dengan supir dan penumpang, ia menemukan bahwa fotografi bukan sekadar visual, tetapi medium untuk memahami kota dan memori personal. Sejak saat itu, fotografi menjadi medium utama Zizi. Ia merasa bisa bercerita sekaligus belajar tentang dirinya sendiri melalui lensa kamera.
Menurut Zizi, setiap hal yang dikerjakan harus menjadi bahan pelajaran, agar ia tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang jauh lebih baik. Maka dari itu, Zizi belajar dan banyak mengangkat tentang isu ekologi.
“Saya resah dengan kota yang semrawut, konflik agraria di Sulawesi Selatan, hingga deforestasi di Papua. Saya ingin membahas hubungan manusia dengan alam,” ujarnya.
Salah satu karya terpentingnya adalah Mattude, proyek yang membawanya meraih Objectifs Documentary Award 2024 dan dipamerkan di Singapura. Mattude berangkat dari penelitian tentang dampak reklamasi pantai di Makassar. Dari interaksi dengan perempuan pesisir, ia menemukan praktik turun-temurun “matude” (mencari kerang). Aktivitas ini mayoritas dilakukan perempuan dan anak-anak, tetapi jarang dianggap bagian dari pekerjaan nelayan.
Bagi Zizi, kerang menjadi simbol perlawanan sekaligus perjuangan perempuan pesisir yang kehilangan ruang hidup akibat reklamasi. “Kerang itu keras dan tersembunyi. Buat saya, ia simbol kekuatan perempuan,” katanya.
Selain Mattude, Zizi juga mengembangkan proyek “Under the Tamarind Tree” saat residensi di Perth, Australia. Proyek ini menelusuri sejarah pohon asam yang dibawa pelaut Makassar ke Australia sebagai bekal perjalanan. Dari biji yang dibuang, tumbuhlah pohon asam yang kini menjadi bukti arkeologis hubungan dua wilayah. Dalam residensi itu, Zizi semakin tertarik melihat isu lingkungan dari perspektif non-manusia—tumbuhan, hewan, hingga lanskap.
Bagi Zizi, fotografer yang paling menginspirasinya adalah perempuan asal Filipina bersama Hannah Reyes Morales. Ia berkesempatan belajar langsung darinya selama enam bulan, menyerap bagaimana Morales membingkai isu sosial, budaya, politik, dan lingkungan. Menurutnya, konteks Filipina mirip dengan Indonesia, sehingga ia merasa banyak belajar dari sana.
Jika ditanya karya favorit, Zizi tetap memilih Mattude. Selain prosesnya panjang karena dikerjakan sejak 2022 hingga sekarang, proyek ini membuatnya banyak belajar tentang kota, laut, ekologi, dan perspektif perempuan. “Saya merasa proyek ini kembali mengajarkan banyak hal tentang diriku sendiri,” ungkapnya.
Kini, selain tetap menekuni fotografi, Zizi juga belajar kuratorial bagaimana mengurasi pameran seni dan festival. Jika sebagai fotografer ia lebih banyak bekerja sendiri, maka sebagai kurator ia belajar bekerja secara kolektif bersama seniman, manajer program, dan tim lain.
Melihat kembali perjalanannya dari masa kecil hingga hari ini, Zizi mengaku bersyukur. Film, buku, menulis, hingga fotografi menjadi benang merah yang saling terkait, mengantarnya pada jalan yang kini dijalani. Ia tidak merasa salah memilih jalur, justru yakin inilah pilihan yang paling tepat.
Harapannya ke depan sederhana namun besar: terus bercerita tentang laut dan pulau-pulau kecil di sekitar Makassar, sekaligus mendorong lahirnya lebih banyak inisiatif fotografi di luar pakem jurnalistik. “Fotografi bukan hanya tentang memotret, tetapi juga tentang bagaimana kita membaca dunia melalui gambar,” tutup Zizi.
Adrian
