Sebagaimana air di Sungai Wallanae, kita terus bergerak meninggalkan jejak, karya dan kenangan. Kehidupan ini tentu harus terus dilewati dengan menyulut kebermanfaatan sebesar-besarnya pada sesama. Sebab sejatinya manusia bisa dilihat pada hakikat fungsionalnya.
Kalimat di atas merupakan salah satu isi dari buku “Mengalir Melintasi Zaman Menebar Ide Dan Gagagasan tanpa Batas” yang mencerminkan sosok penulis Prof Dr A Arsunan Arsin sebagai manusia yang ingin terus memberi inspirasi kepada siapa saja, tanpa mengenal batas. Arsunan mengambil prinsip air sebagai sunnatullah, yang walau dibendung bagaimana pun akan mengalir dan mencari jalan untuk terus bergerak.
Sebagai anak dari kampung, Arsunan ingin mengajarkan kepada semua orang agar berani bermimpi setinggi-tingginya. Sebab Ia sendiri telah membuktikannya, betapa mimpi mampu diwujudkannya.
Arsunan sadar akan selalu ada keterbatasan dan peluang dalam menjalani hidup ini, Semua tergambarkan dalam catatan perjalanan pada bukunya. Bagaimana Arsunan dapat melewati rentetan kerumitan yang selalu hadir menyapa. Hingga gelar guru besar dapat tersematkan di namanya. Tentu dengan dibukukannya pengalaman tersebut, Arsunan bisa membagikan inspirasi, semangat, ide, dan gagasannya kepada pembaca.
Buku setebal 282 halaman ini, selain berisi memoar dan kisah perjalanan hidup penulis. Buku ini juga banyak membahas tentang pengalaman penulis saat mengerjakan persoalan khusus di bidangnya yaitu kesehatan masyarakat.
Tak hanya itu, buku ini banyak menyuguhkan cerita pahit manis dari spirit pergerakan mahasiswa era 80-an hingga anjloknya pemerintahan Presiden Soeharto. Era di mana organisasi kemahasiswaan sibuk membangun dan mengawal isu-isu sensitivitas kemasyarakatan. Sampai-sampai rumah Arsunan di BTN Asal Mula dijadikan markas perkumpulan para aktivis dari berbagai fakultas, untuk membahas bagaimana memperjuangkan hak-hak kaum yang dirampas paksa oleh tirani.
Tak hanya itu, isu-isu internasional juga tak luput dari pantauan para aktivis organisasi kemahasiswaan. Seperti tepatnya kasus pembantaian mahasiswa di Lapangan Tiananmen Beijing, Tiongkok pada Juni 1989, mahasiswa yang tergabung dalam lembaga kemahasiswaan rame-rame turun ke jalan dan melakukan aksi mogok makan sebagai bentuk keprihatinan dan protes atas upaya pembungkaman demokratisasi di Beijing.
Para aktivis kampus saat itu juga banyak mengadvokasi nasib mahasiswa yang terancam drop out. solidaritas antar sesama mahasiswa bagi mereka harus selalu dirawat di atas segala-galanya. Tak heran jikan Arsunan harus menghabiskan waktu satu dekade untuk menyelesaikan studi S1 nya di Fakultas Kedokteran Gigi.
Menjadi seorang akitivis tentu bukanlah hal yang mudah, banyak tantangan yang perlu dilewati. Namun justru dari pengalaman organisasi selama mahasiswa, Arsunan yang saat itu sarjana pada September 1990, kurang dari waktu 20 jam setelah wisuda, ia berhasil diterima di Unhas sebagai dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Tak melulu bercerita tentang pergerakan mahasiswa. Kisah asmara Arsunan sebagai seorang aktivis juga diselipkan dalam bab buku ini. Pembaca akan dibuat tergelitik saat membaca beberapa pengalaman asmara yang ditulisnya. Seperti Tragedi Edelweis dan Surat-Surat Cinta yang Menginspirasi, Studi di Surabaya dan Kisah-Kisah Di baliknya, Soal Jodoh Jangan Tunggu Lama-Lama.
Di situ pembaca akan menemukan sisi romantisme Arsunan dari cerita-cerita perempuan yang sempat mencuri hatinya. Bahkan penulis sempat menulis cerita pendek berjudul “Gadis Berbando” yang ditujukan kepada perempuan yang disukainya.
Seperti judulnya, pembaca akan dibawa hanyut dalam setiap suguhan cerita. Seperti cerita tentang masa kecil di kampung halaman, bersekolah, kuliah, kerja dan menikah hingga melakukan perjalanan ke luar negeri. Kita seakan ikut merasakan situasi yang dituliskan oleh penulis. Apalagi gaya bercerita penulis yang lugas dan sangat mudah dipahami.
Buku yang terdiri dari 61 sub judul ini, berisi beragam kisah-kisah menarik dan penuh makna tentang bagaimana seharusnya kita menjalani hidup. Kendati, masih ada kekurangan di balik buku ini, kemampuan penulis dalam menggambarkan konflik belum mendetail. Seperti cerita tentang sepatu rektor Unhas yang dijadikan bendera oleh mahasiswa dan cerita asmara penulis. Padahal cerita-cerita demikian sangat bagus bila dideskripsikan lebih kompleks lagi.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh sivitas akademika kampus, khususnya mahasiswa. Sebab sifatnya sangat “Ke-Unhas-an”, banyak cerita perjuangan di dalamnya dan cerita menarik lainnya. Selamat membaca!
Penulis: Wandi Janwar