Judul : Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam
Penulis : Dian Purnomo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786020648453
Jumlah Halaman : 312 Halaman
Pernikahan merupakan salah satu momen yang paling dinanti dalam kehidupan. Pada momen itulah, puncak kebahagiaan bersatu padu dengan rasa haru untuk menyambut kehidupan baru antara kedua mempelai. Namun itu tidak berlaku untuk Magi Diela, tokoh utama dalam novel Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam. Baginya pernikahan dalam tradisi tempat asalnya adalah suatu proses yang kelam dan penuh kesuraman.
Novel ini menceritakan tentang seorang tokoh perempuan yang bernama Magi Diela. Ia adalah korban tradisi kawin tangkap yang marak terjadi di Nusa Tenggara Timur. Kampung halaman Magi yaitu Pulau Sumba terkenal dengan tradisi kawin tangkap, di mana perempuan diculik oleh laki-laki yang ingin menikahinya selama kurang lebih 24 jam kemudian dinikahkan secara paksa tanpa persetujuan pihak perempuan.
Novel karya Dian Purnomo ini ditulis berdasarkan pengalaman perempuan-perempuan korban kawin tangkap di Sumba. Penulis membuat karakter Magi sebagai seseorang yang memiliki pemikiran masyarakat modern. Magi adalah seorang sarjana pertanian yang berkuliah di Jogja dan punya rencana jangka panjang yang ingin ia lakukan untuk lebih menyejahterahkan keluarganya di Sumba.
Siapa sangka sebuah kejadian yang menimpanya mengubah hidupnya sekaligus menghancurkan rencana masa depannya. Ketika Magi kembali ke kampung halamannya, ia diculik dan diperlakukan layaknya binatang kemudian diperkosa oleh Leba Ali.
Buku ini menyoroti perjuangan Magi dalam menghadapi dilema yang sulit. Ia menyadari bahwa jika ia menyerah dan menerima perkawinan yang dipaksakan, ia akan kehilangan banyak hal yang penting dalam hidupnya. Pekerjaannya, kesempatan pendidikan, pengembangan diri, dan harapan untuk menikah dengan pria yang dicintainya semuanya akan sirna. Namun, yang lebih mengerikan bagi Magi adalah kehilangan kemerdekaan dan harga dirinya.
Leba Ali adalah tokoh yang menjadi sumber kesengsaraan Magi dalam novel ini. Seorang lelaki mata keranjang yang sudah lama sangat menginginkan Magi. Leba Ali menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperistri Magi. Untuk memuaskan nafsu birahinya, dia memanfaatkan tradisi kawin tangkap sebagai “tameng”. Magi sebagai perempuan yang menjadi korban pun tak bisa langsung memperjuangkan hak dan keadilan.
Dunia seakan bersatu untuk menenggelamkan Magi dalam kesengsaraan. Bahkan orang tuanya, yang seharusnya melindunginya takluk pada tekanan tradisi dan malah melakukan tipu muslihat agar Magi yang kabur mau kembali untuk dinikahkan dengan Leba Ali.
Disepanjang novel, hati akan terasa teriris melihat penderitaan yang dialami Magi untuk mendapatkan keadilan. Meskipun ia memiliki sahabat dan sanak keluarganya yang mencoba membantunya tapi semua usahanya sia-sia.
Unsur daerah terasa kental karena gaya penulisan di novel ini dibumbui dengan sejumlah percakapan dalam Bahasa Sumba, namun para pembaca tidak akan dibuat pusing karena di awal-awal bab terdapat catatan kaki untuk kosakata penting yang mempermudah pemahaman percakapan. Selain itu, para pembaca diajak untuk mengenali berbagai adat istiadat dan nuansa Pulau Sumba melalui berbagai gambar yang diselipkan.
Cerita disajikan menggunakan sudut pandang orang ketiga sehingga semua kesedihan, kepedihan, dan amarah yang dirasakan Magi bisa langsung dirasakan oleh para pembaca. Emosi pun diaduk-aduk ketika mengikut perjuangan Magi mendapatkan keadilan untuk dirinya. Alur yang dipilih oleh penulis adalah alur maju mundur.
Cuplikan cerita dalam novel ini memberikan kita wawasan yang dalam tentang konflik yang dihadapi perempuan seperti Magi dalam masyarakat yang terikat oleh tradisi dan norma. Buku ini mengeksplorasi tema kebebasan individual, hak-hak perempuan, serta hak untuk memutuskan nasib sendiri. Ini mengundang kita untuk merenungkan nilai-nilai yang kita pegang dan bertanya pada diri sendiri sejauh mana kita berani memperjuangkan kebebasan dan harga diri kita.
Melalui novel ini, penulis menyoroti pentingnya perjuangan individu dalam melawan paksaan dan konformitas sosial. Kita disajikan dengan karakter Magi yang kuat dan berani, yang siap menghadapi konsekuensi dari pilihannya. Buku ini dapat menjadi sumber inspirasi dan pemicu diskusi tentang hak asasi manusia, dan pentingnya mempertahankan harga diri dalam menghadapi tekanan sosial.
Secara keseluruhan, “Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam” tampaknya menjadi sebuah cerita yang kuat dan menggugah. Dengan memaparkan konflik internal dan eksternal yang dialami oleh karakter utama.
Mario Farrasda AS