Suasana tegang menyelimuti dek kapal perang USS Missouri yang berlabuh di Teluk Tokyo pada 2 September 1945. Bukan untuk perang, para kru kapal dan petinggi militer dari beberapa negara Sekutu bersiap untuk sebuah acara penting. Suasana di kapal pagi itu menjadi saksi bisu salah satu peristiwa terpenting abad ke-20. Di atas kapal itulah Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Penyerahan ini mengakhiri Perang Dunia Kedua.
Nun jauh di selatan, di sebuah negara kepulauan bernama Indonesia, penyerahan ini disambut suka cita. Satu bulan sebelum penyerahan itu, negara ini mendeklarasikan kemerdekaannya dari penjajajahan Jepang pada 17 Agustus. Hari ini, sudah 79 tahun berlalu sejak Indonesia lepas dari penjajahan itu. Namun jejak sejarah masa itu tampaknya masih tersimpan rapi hingga saat ini.
Di tengah hutan lebat dan medan berbukit di Sulawesi Tenggara, situs Lapangan Udara Kendari II di Desa Ambaipua dan Desa Amoito menyimpan situs sejarah yang menarik. Baru-baru ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Program Magister Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Ersa Dwi Riyanto dkk, menemukan 56 bunker peninggalan militer Jepang yang tersebar di kawasan itu.
Bunker adalah bangunan pertahanan yang sebagian badannya terdapat di dalam tanah atau tertimbun. Bunker dibangun untuk dijadikan sebagai tempat penyimpanan atau tempat berlindung dari serangan musuh. Di situs Lapangan Udara Kendari II, bunker merupakan bangunan pertahanan Jepang yang banyak ditemukan.
“Secara umum, bangunan bunker yang saya lihat di sana itu dibuat menggunakan cetakan. Saya menemukan beberapa papan di dinding bunker yang digunakan untuk menyangga atau menahan cor semen,” ungkap Ersa kepada identitas, Kamis (29/08).
Bentuk bunker yang bervariasi
Hasil temuan Ersa menunjukkan, setiap bunker memiliki desain dan posisi yang berbeda. Dari 56 bunker yang ditemukan, terdapat 5 tipe utama yaitu Z, I, U, L, dan b. Huruf ini menunjukkan bentuk dari bunker itu sendiri.
Bentuk Z adalah yang paling banyak ditemukan, yakni sebanyak 35 bunker. Sedangkan bentuk I dan U masing-masing ditemukan 4 bunker. Bentuk L dan b hanya ditemukan satu bunker masing-masing.
Lokasi bunker yang ada di kawasan Situs Lapangan Udara Kendari II tersebar di dua desa, yaitu Desa Ambaipua dan Amoito. Di Desa Ambaipua, yang terletak dalam kawasan TNI AU HLO, ditemukan bunker dengan bentuk Z, U, L, dan I. Sementara itu, di Desa Amoito, ditemukan bunker dengan bentuk Z, I, dan b.
“Bentuk bunker di Desa Amoito lebih beragam, sedangkan di Desa Ambaipua, bentuk bunker lebih didominasi oleh bentuk huruf Z,” tutur Ersa.
Salah satu faktor yang menentukan bentuk bunker adalah letak topografi bunker dibangun. Bunker berbentuk Z banyak ditemukan di dataran rendah, sementara bentuk b seringkali terdapat di dataran tinggi.
Faktor lain yang membuat perbedaan bentuk bunker ini adalah strategi perang yang dilakukan oleh Jepang. Ersa mengatakan, bunker yang ditemukan berdekatan kemungkinan besar digunakan untuk menghubungkan satu area tertentu dengan tempat yang lain untuk menghindari serangan darat dan udara.
Sementara itu, dalam memilih letak atau posisi bunker, Jepang memepertimbangkan dua faktor, yaitu faktor lingkungan dan keamanan. Jepang memilih tempat yang tertutup untuk mengelabui musuh dan berlindung dari serangan udara.
Selain lokasi yang tertutup seperti hutan, Jepang mendirikan bunker di perbukitan atau dataran tinggi. Hal ini memudahkan dalam mengamati dan menembak musuh. Bunker yang berada di dataran rendah dapat memudahkan pergerakan pasukan Jepang, sedangkan bunker yang diletakkan di sekitar aliran sungai berfungsi untuk menghubungkan setiap bunker dan menghalau pergerakan musuh.
Bunker yang ditemukan dikawasan situs Lapangan Udara Kendari II saling terhubung dengan bangunan militer. Lubang masuk dan keluar antar bunker berada dalam jarak yang cukup dekat, hal ini menunjukkan bahwa beberapa sektor penting di lapangan udara ini saling terhubung melalui jaringan bunker yang ada. Bunker dibangun di beberapa daerah area penting seperti di sekitar lapangan udara dan di dekat perumahan pimpinan militer tertinggi.
Situs sejarah yang tak terawat
Lokasi bunker sebagian besar berada di dalam kawasan militer, sehingga untuk mengakses bangunan pertahanan ini memerlukan izin terlebih dahulu. Walaupun ada beberapa bunker yang berlokasi di luar kawasan militer, namun jumlahnya sangat sedikit.
Saat ini, masyarakat setempat yang tinggal di sekitar lokasi Bunker peninggalan Jepang ini tidak terlalu memeperdulikan keberadaan bunker-bunker tersebut. Ersa mengatakan, masyarakat hanya menganggapnya sebagai bangunan pertahanan peninggalan Perang Dunia II yang tidak bisa di gunakan atau dimanfaatkan. Itulah mengapa bunker-bunker yang ada di situs tersebut tidak terurus atau terbengkalai.
“Meskipun sebagian bunker masih dalam kondisi baik dan dapat digunakan untuk menyimpan barang, umurnya yang sudah tua. Mungkin memerlukan kajian lebih lanjut mengenai penggunaannya sebagai tempat perlindungan,” ungkap Ersa.
Pembangunan yang terus dilakukan pemerintah menimbulkan kekhawatiran bagi Ersa. Ia khawatir jika keberadaan bunker yang ada di sana tidak dipertahankan oleh warga atau pemerintah setempat. Padahal bunker peninggalan Jepang ini merupakan bukti sejarah yang menarik untuk dipelajari sehingga memungkinkan utuk dijadikan sebagai objek pariwisata.
Karena itu, Ersa berharap peninggalan bunker ini tidak dibiarkan begitu saja. Namun dapat dijaga dan dilestarikan, serta digunakan sebagai salah satu objek pariwisata bersejarah.
Rika sartika