“Pahit dan sesulit apapun itu, jika harus, nyawa ini siap bertaruh untuk setidaknya mengurangi beban ibu”
Hal yang paling aku syukuri hingga detik ini yakni hidup dalam kasih sayang seorang ibu. Tak peduli seperti apa kondisi ekonomi keluarga, merasakan kecintaan dan sikap kasih sayangnya telah menjadi hadiah terindah dari Sang Maha Pencipta. Harta dan benda di dunia ini pun tak akan bisa menyeimbangi pengorbanan dan waktu yang telah dihabiskan seorang ibu untuk melahirkan hingga membesarkan anaknya.
Tidak ada hal yang melebihi ketulusan hati seorang ibu. Perlakuan, suara, dan tangan lembutnya selalu menghadirkan kehangatan di saat bersamanya. Dengan adanya sosok ibu hebat sepertinya, menjadikan hidup ini dipenuhi warna. Karena cinta dan kasih sayangnya yang tanpa batas, inilah alasan yang membuatku akan melakukan apapun jika itu tentang ibu. Semua akan kujalani meskipun itu memiliki resiko yang menanti setelahnya.
Sedikit kembali ke masa lalu. Sedari kecil, hidup ini memiliki cerita yang berbeda dari anak-anak lainnya. Ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), aku ikut menjadi pengangkat barang di mobil truk. Bukan untuk bersenang-senang, melainkan ini kulakukan agar dapat membeli jajan dan mainan tanpa meminta uang pada ibu.
Pekerjaan ini aku lakukan tiap pulang sekolah hingga larut malam. Bahkan tak jarang, pekerjaan ini bisa sampai subuh karena banyaknya barang yang ingin diantar dan jauhnya tempat tujuan. Pekerjaan yang kulakukan ini tidak diketahui oleh ibu. Hal ini sengaja aku rahasiakan karena jika sampai ia tahu, pasti air matanya akan bercucuran.
Setiap orang tua, terutama ibu pasti tak rela membiarkan anaknya bekerja. Apalagi disaat umur anaknya masih sangat belia. Sebab itu, aku enggan memberitahukan hal ini kepada ibu. Hingga pada suatu hari, ia tahu aku melakukan pekerjaan ini. Tak terbendung air matanya yang mengalir, suatu hal yang sangat tidak ingin kulihat akhirnya terjadi.
Hal seperti ini tidak hanya terjadi sekali, bahkan berkali-kali. Sama halnya disaat aku bekerja sebagai kuli bangunan. Ini juga terjadi waktu masih SD dan beberapa kali juga saat menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan tujuan yang sama, yakni agar dapat membeli sesuatu tanpa merepotkan ibu.
Ketika pekerjaan telah usai dan jam istirahat pun tiba, biasanya aku akan membeli sebungkus terang bulan untuk orang-orang di rumah. Meskipun bukan makanan mewah, hal ini dapat membuat ibu tersenyum walaupun raut mukanya seakan menahan air mata. Hati kecil ini ingin memeluknya, sembari berkata “tunggu anak mu ini sukses bu, akan ku berikan apapun yang ibu mau.”
Kedua orang tuaku memang bukan berasal dari keluarga yang kaya raya. Hidup sederhana tapi diselimuti canda tawa bagiku semua itu sudah lebih dari cukup atas anugerah terbaik yang diberikan Tuhan. Aku tak pernah menyesali hidup dalam keluarga seperti ini. Sebaliknya, hanya ada rasa syukur karena mendapat orang tua, terutama ibu yang luar biasa hebatnya.
Dengan berbagai tempaan hidup membuatku mengerti tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Tidak ada yang bisa memilih untuk terlahir dari keluarga kaya, harmonis, sederhana atau yang lainnya. Namun, kita dapat menentukan untuk bersyukur seraya berusaha mengubah keadaan atau terus berada di fase yang sama.
Hal itulah yang ku pegang teguh saat merantau di Kota Daeng Makassar. Melanjutkan pendidikan dengan biaya perbulan yang tak seberapa, tidak mengurangi sedikitpun niat dan semangatku untuk menjelajahi luasnya ilmu pengetahuan. Aku tahu semua keputusan dan perjalanan akan ada konsekuensinya. Namun, dengan doa dan restu ibu, aku yakin semuanya akan baik-baik saja.
Pertama kali menduduki bangku kuliah, kuputuskan untuk masuk organisasi supaya mendapatkan pengetahuan bukan hanya dalam kelas, tetapi juga keterampilan dalam hal lain. Dari sini pula berbagai pengalaman kulalui. Salah satunya saat ikut serta pada kegiatan survei pemilu karena tawaran dari seorang senior di organisasi.
Pertama kali, aku ditempatkan di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba. Ini adalah kali pertama aku ikut survei di lembaga. Sebenarnya, sempat ada larangan oleh ibu karena saat itu masih dalam masa perkuliahan. Namun, kembali ku yakinkan ibu agar memberikan izinnya. Bukan tanpa sebab, ini kulakukan demi sang ibu agar tak lagi khawatir soal stok uang bulanan dan sisa makanan di rumah. Kuyakinkan ibu jika setiap pilihan harus ada yang dikorbankan.
Saat itu, kupilih mengorbankan kuliah. Pertimbangan antara kuliah dan sisa uang yang menipis menjadi pilihan sulit. Di satu sisi, pendidikan merupakan tujuan utama berangkat dari kampung halaman. Di sisi yang lain hati ini tak dapat menahan rasa sedih ibu ketika berbicara lewat telepon menanyakan soal kesehatan dan sisa uang untuk keperluan sehari-hari.
Memang sejak kecil hingga detik ini aku tak ingin membebankan apapun pada ibu karena semua yang kulalui hanya untuknya. Meskipun belum membantu banyak, setidaknya tidak menambah beban pikirannya.
Untuk ibu raga ini bertahan dan karena ibu diri ini akan terus berjuang hingga harapanmu terwujudkan.
Ibu, terima kasih atas segala kasih sayangmu. Tak ada yang sebanding dengan semua yang telah ibu lakukan
Otto Aditia
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas 2022
Sekaligus Kru PK identitas Unhas