“Di mana Asmat Papua? Hidup kurang lebih 28 tahun di Indonesia tidak pernah punya teman dari Papua. Jika mendengar kata Papua hanya teringat dengan sirih pinang, Jayapura, dan kekerasan kerusuhan bersenjata. Oh iya, satu lagi itu Persipura Jayapura dengan sejumlah pemain berbakat Mutiara Hitam,” Tulis seorang alumnus Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Hasanuddin (Unhas), William Gunawan di blog pribadinya.
Di tanah Asmat, di mana lumpur menggantikan aspal dan air bersih menjadi barang langka, William menemukan panggilan hatinya untuk berbagi dan mengabdi. Asmat merupakan salah satu kabupaten di Papua yang dijuluki sebagai kota papan karena daerahnya yang penuh lumpur. Orang-orang di daerah tersebut membuat papan pijakan agar tidak menginjak lumpur.
William berasal dari keluarga sederhana, dengan ayah yang bekerja sebagai tukang bengkel dan ibu sebagai ibu rumah tangga dari Tana Toraja. Meskipun keluarganya bukan asli Makassar, mereka memutuskan menetap di sana setelah membeli tanah dari seorang pengusaha.
Dari kecil, orang tua William tidak pernah memaksakan anak-anaknya dalam hal akademik. Awalnya, William lebih tertarik pada ilmu komputer dan teknologi informasi, namun orang tuanya mendorongnya untuk memilih jurusan kedokteran. Pilihan ini semakin mantap setelah ia sempat dirawat oleh seorang dokter spesialis yang menolongnya tanpa pamrih.
Dari situlah keinginan Wiliam untuk menjadi seorang dokter timbul dan berhasil diterima di FK Unhas pada tahun 2010. Selama berkuliah ia aktif di berbagai kegiatan. William sempat menjadi perwakilan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FK Unhas, bahkan ia kerap mengikuti kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) seperti bakti sosial di daerah-daerah, meskipun dirinya bukan seorang muslim.
“Walaupun saya bukan muslim saya tidak menutup diri untuk mengikuti kegiatan-kegiatan HMI. Dari situ saya bisa belajar banyak mengenai kebaikan dari orang lain,” ucapnya, Rabu (03/04).
Perjalanan pengabdian William di Papua dimulai ketika ia dihubungi oleh Taufik, salah satu seniornya yang saat itu terlibat dalam program Dompet Dhuafa di Asmat. Awalnya ia ragu karena merasa khawatir tentang keamanan dan kesehatan di Papua. Namun, rasa penasaran dan dorongan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan membuatnya memutuskan untuk berangkat ke sana setelah menyelesaikan program internship-nya di Toraja.
William ditugaskan di kawasan bernama Mumugu, sebuah kampung di Distrik Sawaerma. Awalnya, ia sempat ditawari untuk bertugas diantara dua puskemas sekitar yang kosong. “Keluar kandang singa masuk kandang macan,” guraunya saat menyebut kedua pilihan tersebut benar-benar ia rasa tidak ada yang aman. Satunya berlokasi yang hanya bisa ditempuh dengan jalur laut, sedangkan satunya berada di daerah konflik yang sering terjadi baku tembak. William akhirnya memilih untuk ditempatkan di puskesmas kedua karena bersebelahan dengan sebuah gereja.
Setibanya di Asmat, William sempat mengalami culture shock. Kondisi yang ekstrim, harga makanan yang sangat mahal, dan sulitnya akses air bersih menjadi tantangan sehari-hari baginya. Meski demikian, William mulai beradaptasi dan merasa tertarik dengan kehidupan masyarakat Asmat yang unik. Di Asmat, William tidak hanya menjadi seorang dokter tetapi juga membantu mengajar di sekolah bersama kawannya yang membantunya untuk memahami situasi dan karakter masyarakat setempat.

Di sana, ia belajar banyak tentang pengetahuan lokal dan cara masyarakat Asmat bertahan hidup. Salah satu hal yang paling berkesan baginya adalah pengetahuan masyarakat tentang penggunaan ramuan untuk menghindari gigitan nyamuk malaria.
Ia juga menemukan bahwa masyarakat Asmat memiliki budaya saling berbagi yang kuat. Meski hidup dalam kondisi yang sulit, mereka tidak pernah meminta-minta seperti yang sering terlihat di kota-kota besar. Interaksi ini menjadikan William lebih menghargai nilai-nilai lokal yang seringkali luput dari perhatian.
“Ada banyak pelajaran yang saya dapatkan disini, bahwa normalitas interaksi yang dibuat oleh pemerintah bersifat overgeneralization. Kebijakan mengenai rujukan di asmat berbeda dengan yang ada di sini (Sulawesi Selatan) karena di Asmat banyak sekali hambatan-hambatannya,” tutur Wiliam.
William turut bercerita tentang bagaimana ia bertemu dengan sang istri yang juga lebih dulu ditugaskan disana. Kini, bersama buah hatinya, ia memilih untuk menetap di Asmat. Selain menjadi dokter, William juga kerap mengekspresikan pikiran dan pengalamannya melalui tulisan di Blog pribadinya, “Catatan si Kribo: Perpindahan Isi Kepala ke Digital”.
William menyadari bahwa Papua sering kali dianggap sebagai tempat pengasingan atau tantangan oleh sebagian orang. Ia menegaskan bahwa Papua seharusnya dilihat sebagai tempat bagi mereka yang benar-benar ingin berkontribusi dan membangun daerah tersebut. Ia berharap agar nantinya akan lebih banyak orang-orang terbaik dari Indonesia yang mau datang ke Papua dan menciptakan perubahan yang positif bagi masyarakat
“Mengikuti naluri sebagai manusia untuk berbuat kebaikan kepada sesama merupakan hal yang penuh dengan berkah,” pungkasnya.
Nurul Sapna & Nur Muthmainah