“Jika di Indonesia dikenal Koentjaraningrat sebagai Bapak Antropologi, maka di Universitas Hasanuddin, sosok itu adalah Prof Abu Hamid.”
Dikenal sebagai antropolog, penulis buku, dan budayawan Universitas Hasanuddin (Unhas), pria kelahiran Sinjai, 03 Maret 1934 ini berperan besar dalam membesarkan nama Antropologi, baik di lingkungan kampus maupun wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel). Dia adalah Prof Dr H Abu Hamid, Guru Besar Antropologi Unhas.
Bersama Prof Dr Ahmad Mattulada, Abu Hamid memainkan peran penting dalam pengembangan ilmu Antropologi menjadi sebuah program studi. Padahal sebelumnya, ilmu ini hanya berbentuk mata kuliah yang diajarkan di Fakultas Sastra dan Fakultas Hukum.
Program Studi Antropologi didirikan tahun 1974 di bawah naungan Fakultas Sastra Unhas. Namun pada 1983, pengelolaannya dialihkan ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) setelah terbitnya kebijakan nasional yang mendukung pengembangan program studi tersebut.
Pada awal pemindahan jurusan, keberadaan Antropologi masih tergolong minoritas dengan jumlah dosen dan mahasiswa terbatas. Di tengah situasi tersebut, status Abu Hamid yang memiliki reputasi dan wibawa diantara guru besar FISIP membuat keberadaan para mahasiswa Antropologi turut diakui oleh civitas academica FISIP.
Berkat Abu Hamid, Antropologi pun mengalami perkembangan signifikan terkait penyesuaian kurikulum selama masa peralihan, terutama karena di FISIP mulai berkembang berbagai konsentrasi, seperti Antropologi Ekonomi, Ekologi, dan Agama. Abu Hamid meyakini bahwa ilmu pengetahuan harus selalu mengikuti perkembangan zaman serta diselaraskan dengan kebutuhan pasar.
Atas dedikasinya, Abu Hamid dikenal sebagai mantan Ketua Departemen Antropologi dengan masa jabatan terlama. Ia memimpin sejak berdirinya departemen tersebut hingga pensiun dengan masa menjabat sekitar lebih dari 15 tahun. Selama itu, beberapa kolega menganggap Abu Hamid sebagai sosok yang senantiasa memberikan motivasi-motivasi kepada orang-orang di sekitarnya.
“Abu Hamid itu luar biasa kalau saya lihat, dia menstimulasi dan mendorong mahasiswanya. Pokoknya kalau kita dengar Abu Hamid berbicara, seolah-olah antropologi itu besar,” tutur mantan Wakil Sekretarisnya, Prof Dr Munsi Lampe MA dalam diskusi singkat di ruang rapat Antropologi, Rabu (09/10).
Salah satu dosen Antropologi, Dr Safriadi SIP MSi, juga ikut mengenang jasa Abu Hamid dalam mendalami ilmu Antropologi. Berkat motivasi dan dorongannya, Safriadi dengan latar pendidikan sarjana Hubungan Internasional dan magister Ilmu Komunikasi akhirnya berpindah haluan melanjutkan studi doktor di Antropologi.
Abu Hamid bukanlah orang yang kaku dalam mengikuti prosedur. Ia senantiasa memudahkan mahasiswanya, menciptakan lingkungan yang mendukung, dan menyenangkan untuk belajar. Kepribadiannya yang ramah dan penuh jenaka membuat mahasiswa dan orang-orang sekitarnya merasa nyaman.
“Prof Abu Hamid juga sebenarnya cukup disegani pada masa itu, sebab dia punya peranan dan jasa yang sangat besar dalam mendorong antropologi menjadi berkelanjutan,” ucap Munsi.
Abu Hamid sering disebut sebagai ‘kitab hidup’ karena penguasaannya yang mendalam terhadap budaya dan sejarah Bugis-Makassar. Julukan ini mencerminkan luasnya wawasan serta dedikasinya dalam melestarikan kebudayaan lokal. Sebagai seorang dosen, ia juga dikenal sebagai sosok yang paling produktif dalam menghasilkan karya tulis di fakultasnya.
Salah satu karyanya yang cukup monumental adalah Siri dan Pesse’: Harga Diri Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, yang ditulis bersama H Zainal Abidin Farid, H Mattulada, H Baharuddin Lopa, dan C Salombe.
Buku ini menekankan bahwa siri’ merupakan simbol harga diri yang harus dipertahankan dan diperkuat melalui kerja keras, prestasi, semangat pionir, serta orientasi pada kesuksesan. Keempat suku tersebut juga menjunjung tinggi prinsip hukum adat yang sama dalam menjaga kehormatan mereka.
Mantan mahasiswa ajaran Abu Hamid, Dr Yahya MA menceritakan, ia seringkali menyaksikan Abu Hamid dengan penuh konsentrasi mengetik karya-karyanya. Ada momen unik ketika Abu Hamid meniup kertas yang baru saja keluar dari mesin ketik agar tinta cepat kering, seolah-olah berpacu dengan pikirannya yang terus berlari. Jari-jarinya yang cukup besar memperlihatkan betapa produktif dan tekunnya dalam menciptakan karya-karya ilmiah yang bernilai tinggi.
Setelah pensiun dari Unhas, Abu Hamid kembali melanjutkan pengabdiannya di dunia pendidikan dengan menjabat sebagai Rektor Universitas 45 (sekarang Universitas Bosowa) selama satu periode mulai 2005 hingga 2010.
Dalam skala provinsi Sulsel, Abu Hamid dikenal sebagai tokoh penting dalam penentuan gelar pahlawan nasional. Pertimbangannya sangat dibutuhkan dalam proses penetapan pahlawan nasional dari Sulsel. Ia juga yang mengusulkan Syekh Yusuf dari Gowa untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Dikutip dari kompas.com, Abu Hamid didiagnosa menderita penyakit jantung dan wafat di usia 77 tahun. Ia menghembuskan napas terakhirnya di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo sesaat setelah mengalami nyeri bagian dada.
Melalui dedikasinya yang luar biasa, Abu Hamid telah meninggalkan warisan intelektual yang kuat bagi perkembangan Antropologi di Unhas dan Indonesia. Perannya sebagai salah satu tokoh utama dalam mengusung dan memajukan Program Studi Antropologi di Unhas, serta kontribusinya dalam penelitian dan karya tulis tentang budaya Bugis-Makassar telah memperkuat fondasi akademik dan keilmuan di bidang ini.
Nurul Fathiyah Salsabila A.