Dunia jurnalis agaknya masih dirundung pilu, mendengar kabar berpulangnya Ketua Dewan Pers Indonesia periode 2022-2025 yang baru saja dilantik pada Mei lalu. Prof Azra, sapaan akrabnya, menghembuskan nafas terakhir pada 18 September lalu di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam perjalanan redaksinya, semasa menduduki pendidikan sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Azra memang sudah sangat akrab dengan penulisan dan penelitian. Bahkan ia pernah bekerja sebagai wartawan di Panji Masyarakat pada 1978-1986.
Kala Prof Azra menjadi wartawan di sana, ia banyak membuat laporan tentang dunia Islam dan laporan utama menyangkut isu aktual nasional hingga internasional. Menurutnya, menjadi jurnalis tidak hanya menguntungkan secara ekonomis, tetapi juga membuatnya merasakan keuntungan secara intelektual dan sosial.
Setelah menyandang gelar sarjana pada 1982, selain bekerja di bidang jurnalistik, ia juga bekerja di Lembaga Riset Kebudayaan Nasional (LRKN) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun pada 1983, ia memutuskan keluar dari LRKN LIPI untuk memulai karier sebagai tenaga pengajar. Lalu Prof Azra juga keluar dari Panji Masyarakat untuk melanjutkan studi di Amerika pada 1986.
Pria kelahiran Lubuk Alung Sumatera Barat, 4 Maret 1955 ini, kemudian mengenyam pendidikan di Universitas Columbia Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah pada 1988 dan mendapatkan gelar Master of Art (MA). Tahun selanjutnya, Prof Azra pindah ke Departemen Sejarah dan memperoleh gelar yang sama. Masih di Universitas Columbia, ia menambah gelar Master of Philosophy (MPhil) dari Departemen Sejarah pada 1992.
Sepulangnya dari Amerika pada 1993, ia mendirikan dan pemimpin redaksi sebuah jurnal internasional untuk studi Islam atau dikenal Redaksi Studia Islamika.
Dua tahun setelahnya, Prof Azra kembali aktif mengajar sebagai dosen sejarah setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Oxford. Dalam waktu yang bersamaan, ia juga bekerja di Pusat Pengabdian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Pada 1997, ia diangkat menjadi Pembantu Rektor I di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kemudian diamanahkan menjadi rektor pada 1998-2006. Selama menjabat sebagai rektor, ia memperluas makna kampusnya menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sehingga, terbentuklah fakultas baru seperti Fakultas Komunikasi, Teknologi, MIPA, Ekonomi, dan lain-lain.
Guru besar yang dikenal sebagai sosok intelektual bangsa karena pemikirannya ini menjadi salah satu rujukan utama perguruan tinggi islam negeri di Indonesia. Prof Azra juga berhasil menerbitkan belasan buku tentang Keislaman dan Demokrasi. Belasan goresan tinta itu mengantarnya memperoleh penghargaan sebagai penulis paling produktif dari salah satu penerbit di Bandung pada 2002. Andilnya dalam menjaga keutuhan, kelangsungan, dan kejayaan negara Indonesia memberinya penghargaan Bintang Mahaputera Utama pada 2005.
Tak hanya menoreh prestasi dalam negeri, Prof Azra juga menerima penghargaan The Commander of the British Empire (CBE) pada 2010, karena telah berjasa dalam memberikan kontribusi untuk membangun relasi baik antar agama di tingkat internasional, khususnya relasi beragama antara Indonesia dan Inggris.
Penghargaan ini diberikan oleh Ratu Inggris Elizabeth II. Tak main-main, Prof Azra nyatanya adalah orang Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan ini. Bukan hanya itu, ia juga merupakan orang pertama dari negara bukan persemakmuran yang mendapatkan penghargaan CBE.
Membahas tentang rekam jejak prestasi Prof Azra terasa seperti tak akan ada hentinya. Pada 2017, ia juga mendapatkan penghargaan Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture (SML) atas dedikasinya di bidang keilmuan Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Bahkan pada tahun yang sama, atas sumbangsihnya dalam peningkatan pertukaran akademis dan saling pengertian antara Indonesia dan Jepang, ia diberi penghargaan The Order of the Rising Sun: Gold and Silver Star.
Sebagai pakar sejarah Islam, cendekiawan, dan salah satu tokoh intelektual terbaik di Indonesia, Prof Azra telah membawa perubahan besar dalam peradaban ilmu pengetahuan. Jasanya terhadap demokrasi Indonesia dan keberhasilan karyanya dalam membuka jendela wawasan sehingga ia adalah sosok yang patut dikenang untuk perjalanan panjangnya sebagai aktivis akademisi bangsa.
Yaslinda Utari