Bagaimana jika mengalami menstruasi untuk pertama kalinya menjadi hal yang begitu menakutkan?
Apa yang kamu bayangkan pertama ketika mendengar judul film Tiger Stripes? Kisah petualangan di hutan? Atau kisah perburuan hewan? Semua itu salah. “Tiger Stripes” merupakan sebuah karya yang berusaha menggugat stigma serta ketakutan terhadap menstruasi, sebuah topik yang sering dianggap tabu dalam masyarakat.
Dikemas dalam genre body horror dan coming of age, film ini mengikuti perjalanan Zaffan, seorang gadis remaja berusia 12 tahun yang mengalami menstruasi untuk pertama kalinya. Mengalami menstruasi baginya adalah pengalaman yang ‘aneh’.
Amanda Nell Eu mengawali debutnya sebagai sutradara film dengan berkolaborasi bersama sineas dari delapan negara, yakni Malaysia, Indonesia, Taiwan, Singapura, Prancis, Jerman, Belanda, dan Qatar. Film ini meraih kategori Film Terbaik di Cannes Critics Week 2023 dalam rangkaian Cannes Film Festival.
Cerita dimulai ketika Zaffan mengalami menstruasi untuk pertama kali lebih dulu daripada teman-teman sebayanya. Ia tinggal di lingkungan pedesaan Melayu yang sangat konservatif. Hal ini membuatnya merasa takut dan mengalami kesulitan dalam menerima perubahan pada tubuhnya.
Mitos-mitos seputar menstruasi yang mengatakan bahwa menstruasi dapat ‘mengundang’ makhluk halus yang masih diyakini oleh masyarakat turut memperparah kegelisahannya. Perubahan hormonal yang ia rasakan juga justru dianggap sebagai pengalaman mistis oleh teman-temannya, Farah dan Mariam.
Dalam film “Tiger Stripes,” menceritakan pengalaman menstruasi yang seharusnya menjadi bagian dari fase pubertas yang dialami bagi seorang perempuan, justru menjadi sebuah tekanan yang besar. Di dorong oleh rasa takut akan penolakan dan pengucilan, Zaffan memilih menyembunyikan keadaannya.
“Tapi gelilah (menstruasi),” ucap Farah dalam salah satu scene film ketika menanyakan Zaffan yang tidak ikut melaksanakan ibadah (salat).
Ketakutan dan kesurupan massal di sekolah menjadi titik klimaks, di mana Zaffan terus berjuang untuk mengungkapkan dirinya yang sebenarnya. Ketakutan yang semakin menyebar mengakibatkan seorang tabib (dokter) terkenal ikut turun tangan menghadapi gadis-gadis yang kesurupan.
Dalam film ini, sineas asal Indonesia, Yulia Evina Bhara mencoba mengangkat kegelisahan kehidupan sosial perempuan yang tidak diajarkan menerima perubahan pada saat memasuki masa pubertas dan dikemas dengan alur yang tidak biasa. Film ini hadir dengan memberikan kesan edukasi dibalut horor yang unik bagi penonton.
Film ini turut mengangkat legenda Melayu “Siluman Harimau” sebagai sebuah metafora untuk menggambarkan konflik batin yang dialami Zaffan. Transformasinya menjadi siluman harimau bukan hanya sebuah peristiwa supernatural, tetapi juga mencerminkan perjalanan emosional dan psikologis yang kompleks bagi Zaffan karena sugesti negatif orang-orang di sekitarnya yang merasa ada yang salah pada dirinya selama masa pubertas.
Sebagai pemeran Zaffan, Zafreen Zairizal sukses menghidupkan perasaan menyeramkan dan perjuangannya dalam film ini yang sangat mencerminkan pengalaman banyak perempuan yang sering kali merasa terisolasi dan malu dengan perubahan fisik yang dialami saat masa pubertas.
Melalui narasi ini, film ini mengajak penonton untuk merenung tentang pentingnya menerima perubahan pada tubuh serta menghormati pengalaman perempuan saat menstruasi. Film ini juga sekilas mengingatkan animasi “Turning Red” yang mengisahkan perubahan seorang gadis remaja saat menstruasi pertama.
Dengan kolaborasi sineas-sineas dari berbagai negara di Asia Tenggara, film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pandangan yang mendalam tentang pentingnya sex education dan proses penerimaan diri.
Gimana? Tertarik untuk menonton?
Miftah Triya Hasanah