Dunia sedang dalam kondisi darurat sampah plastik. Komunitas Makassar Ecobrick hadir menyebarkan energi positif untuk mengambil tindakan pencegahan terhadap kondisi tersebut.
Isu peduli lingkungan terus digaungkan. Seruan kepedulian itu tidak hanya disuarakan oleh orang-orang dewasa tetapi juga anak-anak usia sekolah. Gerakan tersebut dipelopori seorang anak perempuan usia 16 tahun, Greta Thunberg.
Di Indonesia sendiri, khususnya Makassar juga ada anak perempuan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan yakni Aira. Aira dinobatkan sebagai duta nir sampah di ajang tahunan Makassar Internasional Writers Festival (MIWF) 2019. Rupanya, rasa peduli terhadap lingkungan itu Aira warisi dari ibu dan ayahnya.
Berawal dari kebiasaan mengolah sampah plastik dan sampah rumah tangga setiap hari, Ahmad Yusran dan istrinya, Indrawati juga membiasakan tindakan itu kepada empat orang anak mereka termasuk Aira. Lalu, di tahun 2017 mereka menginisiasi berdirinya komunitas Makassar Ecobrick.
“Jauh sebelum menggerakkan Makassar Ecobrick, saya dan keluarga memang selalu mengumpulkan sampah plastik yang tidak digunakan lagi dalam suatu wadah seperti toples,” kata Indrawati sembari membuat ecobrick ketika ditemui di kediamannya.

Perempuan paruh baya itu juga pernah menjadi pemateri sekaligus trainer dalam kegiatan yang dilaksanakan Global Ecobrick Alliance (GEA). Salah satu organisasi ecobrick dunia yang membantu mengatasi permasalahan sampah plastik dunia.
Ecobrick merupakan salah satu kreasi yang pertama kali dikembangkan oleh Russel Maier, pria asal Kanada dan sekarang telah berkembang di 138 negara. Pembuatan ecobrick memanfaatkan bahan-bahan non-organik yang telah dikecilkan kemudian dimasukkan ke dalam botol plastik. Memasukkan bahannya juga tidak asal-asalan karena harus padat serta mencapai berat minimal, yaitu volume botol yang akan diisi dikali dengan 0.33. Pun bahan yang dimasukkan juga harus dalam keadaan kering dan bersih untuk menghindari adanya aktivitas mikroorganisme secara anaerob.
Saat ini, Makassar Ecobrick memiliki 20 aggota teamwork utama dan sekitar 200 lebih anggota teamwork yang telah bergabung. Anggota berasal dari berbagai kalangan mulai dari anak-anak hingga orang tua. Cara perekrutan komunitas ini bersifat bebas. Setiap anggota yang ingin bergabung cukup datang dalam kegiatan yang dilaksanakan tim Makassar Ecobrick.
Komunitas inipun tidak bersifat mengikat, dan ecobricknya akan dikembangkan oleh anggota itu sendiri. Jika seseorang telah menyelesaikan sebuah ecobrick, maka dia akan mendaftarkan ecobrick yang telah ia buat di website utama untuk semua komunitas ecobrick yang ada di dunia yaitu www.gobrik.com.

Membuat ecobrick adalah suatu kesenangan bagi Yusran dan keluarganya. Setidaknya lebih dari 500 ecobrick telah dibuat oleh mereka. Selain turut andil dalam menjaga bumi, mengolah sampah menjadi ecobrick juga dapat menghemat pengeluaran. Tak hanya itu, ecobrick yang notabene berbahan dasar sampah plastik ini dapat dijadikan berbagai rupa kreasi. Semisal pengganti bata, dapat dirangkai menjadi kursi, meja, dan lain-lain.
“Tidak perlu membayar uang sampah karena sampah-sampah organik rumah tangga akan diolah menjadi kompos dan sampah anorganik seperti pembungkus makanan, kain yang tidak layak pakai, akan diubah menjadi kreasi ecobrick,” beber Indrawati.
Ketidaktahuan sejumlah besar masyarakat terhadap bahaya sampah plastik menjadi tantangan tersendiri bagi Yusran, keluarga dan komunitas Makassar Ecobrick itu sendiri. Sikap abai pun mulai timbul di tengah-tengah masyarakat sehingga masih banyak yang belum tertarik untuk membuat ecobrick. Selain itu masih kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap isu lingkungan ini. Yusran juga mengaku prihatin ketika melihat lembaga pendidikan seperti universitas yang seharusnya dapat mengelola sampah dengan bijak justru menjadi tempat yang amat kotor.

Namun, menyerah bukan lah tabiat komunitas ini. Berbekal dana pribadi, Yusran dan Indrawati menggelar workshop dan seminar atau kegiatan lainnya demi menyadarkan masyarakat sekitar terkait pentingnya mengolah sampah secara bijak. “Kami di sini memang bukan mencari untung, tapi kami di sini sebagai organiasi sosial,” tambah Indrawati.
Sebelum menutup perbincangan kami siang itu, Indrawati menyampaikan bahwa membuat ecobrick bukan hanya sekedar kreasi yang membantu menjaga bumi, tetapi juga sebagai sebuah kreasi dalam melatih kemampuan emosional seperti kesabaran dan kerja sama tim. Kedua hal itu lah yang terus mereka latih di dalam komunitas Makassar Ecobrick tersebut.
“Selain dari penggunaan dan pengelolaan sampah yang belum bijak kami berharap adanya tindakan preventif yang dilakukan oleh masyarakat kedepan untuk mengatasi darurat sampah plastik,” tutup Yusran.
Ratnah