Indonesia kini berada di ambang peluang emas dengan hadirnya bonus demografi yang diprediksi terjadi pada 2030 hingga 2045, di mana populasi usia produktif akan mendominasi. Masa ini jika dikelola dengan baik mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa.
Sayangnya, partisipasi generasi muda dalam pembangunan mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Mahendra Arfan Azhar selaku Koordinator KPAPO Bappenas sebagaimana dilansir dari DetikEdu menyampaikan bahwa berdasarkan survei sosial ekonomi nasional 2021, partisipasi generasi muda dalam pembangunan menurun di tiga bidang: kegiatan sosial, organisasi, dan memberikan saran dalam pertemuan.
Tahun 2021 mencatat angka partisipasi terendah. Jika dibandingkan dengan data tahun 2015, maka partisipasi dalam kegiatan sosial menurun dari 81,97 persen menjadi 70,49 persen. Dalam organisasi, partisipasi turun dari 5,86 persen menjadi 4,84 persen. Sementara itu, anak muda yang memberikan saran dalam rapat berkurang dari 5,88 persen menjadi 5,4 persen.
Keterlibatan generasi muda dalam pembangunan, khususnya kebijakan publik sangatlah penting. Pertama, untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil hari ini mampu menjawab kebutuhan generasi yang akan datang. Generasi muda, sebagai kelompok yang akan paling terpengaruh oleh kebijakan jangka panjang, harus menjadi bagian dari perencanaan dan implementasi kebijakan.
Kedua, generasi muda tumbuh di era digital dan lebih adaptif terhadap perubahan sehingga dapat membawa solusi-solusi inovatif dan perspektif segar dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi yang telah lama dihadapi bangsa ini. Ketiga, dengan lebih banyaknya keterlibatan generasi muda dalam pengambilan keputusan, kebijakan yang dihasilkan akan lebih inklusif dan mewakili suara dari seluruh elemen masyarakat.
Menurut Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, proses pembuatan kebijakan publik yang melibatkan generasi muda dapat bermanfaat bagi pengembangan diri mereka dan memberi mereka pengetahuan substantif dan keterampilan praktis.
Berhubungan dengan teman sebaya melalui keterlibatan aktif memungkinkan kaum muda untuk membangun modal sosial, sebuah kompetensi penting untuk melakukan tindakan bersama yang memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan yang biasanya tidak dapat dicapai oleh satu orang saja.
Generasi muda yang merasa bahwa pandangan dan kebutuhan mereka diikutsertakan dan dihargai akan mengembangkan rasa kesadaran diri dan identitas yang positif, sehingga meningkatkan resiliensi dan kesejahteraan mereka.
Di beberapa negara, berbagai inisiatif telah dilakukan dalam melibatkan generasi muda dalam kebijakan publik. Salah satu contohnya adalah Youth Parliament di Inggris, yang memberi remaja kesempatan untuk terlibat dalam debat nasional dan menyuarakan isu-isu penting bagi mereka. Di Finlandia, platform digital bernama Decidim memungkinkan anak muda untuk berpartisipasi dalam musyawarah publik dan menyusun kebijakan bersama. Begitupun di Skotlandia dan Korea Selatan.
Di Indonesia, beberapa inisiatif positif sudah mulai diluncurkan untuk mengembalikan semangat partisipasi generasi muda. Salah satu contohnya adalah Parlemen Kampus, sebuah inisiatif dari DPR yang bertujuan untuk mengajak mahasiswa terlibat langsung dalam simulasi pembuatan kebijakan publik yang baru-baru saja diselenggarakan di Universitas Hasanuddin.
Demi memaksimalkan partisipasi generasi muda, berbagai hambatan tentunya perlu diperhatikan. Meskipun dalam pasal 96 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara jelas mempertegas, hak masyarakat termasuk para generasi muda untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan secara lisan maupun tulisan, baik secara daring maupun luring.
Sayangnya kenyataan di lapangan seringkali dibatasi oleh pola-pola yang eksklusif dan hierarkis dalam pengambilan keputusan. Contohnya saja, generasi muda masih sering dipandang remeh. Hal demikian terlihat dari stigma bahwa generasi muda dianggap belum berpengalaman. Selain itu, apatisme juga kerap muncul, dimana banyak anak muda merasa bahwa suara mereka tidak akan membawa perubahan.
Di sisi lain, pendidikan politik yang minim sejak di bangku sekolah membuat banyak anak muda tidak memahami betapa pentingnya peran mereka. Hal ini diperburuk oleh rendahnya kepercayaan diri sebagian anak muda, karena mereka merasa tidak memiliki pengalaman atau pengaruh yang cukup untuk memberikan kontribusi sehingga mereka memilih untuk diam.
Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan upaya sistematis dalam menciptakan ekosistem yang lebih inklusif dan suportif bagi partisipasi generasi muda. Sebagai langkah awal, pemerintah dan institusi pendidikan harus memperkuat pendidikan politik dan kewarganegaraan sejak usia dini agar generasi muda memiliki pemahaman yang mendalam tentang pentingnya kebijakan publik dan peran mereka di dalamnya.
Kurikulum yang inklusif dan partisipatif dapat menumbuhkan kesadaran kritis di kalangan generasi muda, serta memotivasi mereka untuk aktif terlibat dalam pembangunan. Pemerintah juga harus menciptakan ruang diskusi publik yang terbuka, interaktif, dan responsif terhadap masukan dari generasi muda. Inisiatif seperti ini tidak hanya memberikan ruang bagi generasi muda untuk menyuarakan pendapat, tetapi juga menciptakan sense of belonging atau rasa memiliki atas proses pembangunan yang tengah berjalan.
Pada akhirnya, perjalanan menuju Indonesia Emas 2045 sangat bergantung pada kualitas partisipasi generasi muda saat ini. Generasi yang cerdas, kritis, dan aktif dalam kebijakan publik akan mampu memaksimalkan bonus demografi dan membawa Indonesia mencapai cita-cita menjadi negara maju.
Andi Farhan Fauzi
Mahasiswa Departemen Sosiologi FISIP Unhas
Angkatan 2022