“Karena luar angkasa itu tidak ada kedaulatannya. Jadi, milik siapapun yang bisa menggapainya,” ujar Wahyudi Hasbi tentang hal yang melatarbelakangi ketertarikannya pada dunia antariksa.
Di tanah Biak, tempat yang hampir berada di ujung Indonesia, menjadi tanah dimana Wahyudi Hasbi merangkai mimpinya untuk mengeksplor antariksa. Biak adalah pulau kecil yang terletak di Teluk Cendrawasih, tepat di lepas pantai utara Pulau Papua. Dijuluki dengan julukan Kota Karang Panas Biak karena Biak memiliki banyak Pantai yang didominasi oleh batuan karang.
Meski lahir di tanah Biak, dalam garis keturunannya, pria kelahiran 1976 ini sama sekali tidak memiliki darah Biak. Kedua orang tuanya berdarah Bugis. Ayahnya berasal dari Sinjai dan ibunya berasal dari Tondong, Sulawesi Selatan. Ia lahir di Biak karena orang tuanya dipindah tugaskan ke Biak.
Yudi, begitu kira-kira orang terdekatnya memanggilnya, adalah seorang yang memiliki mimpi dan impian besar sedari kecil. Di bangku SD, saat ia diberi tugas untuk menggambar, ia pasti menggambarkan pesawat di buku gambarnya karena ia bermimpi untuk menjadi pilot. Obsesi ini muncul karena setiap hari ia melihat pesawat besar melintas di atas kepalanya menuju bandara di Biak.
“Jadi saya selalu punya dream gitu. Kayanya hebat ya jadi pilot, bisa bawa pesawat gede banget gitu kan. Saya kalau ada penugasan gambar di sekolah, itu pasti gambar pesawat. Obsesi banget!” kenangnya.
Namun, cita-citanya harus ia kubur karena tinggi badannya tidak memenuhi syarat untuk menjadi pilot. Ia kemudian memutuskan merantau dan berkuliah di Universitas Hasanuddin (Unhas) dengan mengambil jurusan fisika atas ketertarikannya untuk melakukan eksperimen-eksperimen sendiri, bahkan riset di suatu kampung di Biak.
Sebagai Ahli Peneliti Utama/Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit, Organisasi Riset Penerbangan Dan Antariksa, Badan Riset Dan Inovasi Nasional (BRIN), Yudi memulai kariernya sejak masih menyandang status sebagai mahasiswa. Ia mulai bekerja dengan sebuah konsultan dari Kanada untuk membuat peta Geografis Information System (GIS). Setelah menyelesaikan perkuliahan, ia diminta pulang oleh orang tuanya dan kembali ke kampung halamannya.
Bernasib baik, di saat itu juga ia diterima di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Biak. Di sana, Yudi mulai bekerja dalam proyek kerja sama antara Indonesia dan India yang melibatkan pengendalian dan pengamatan satelit bersama para insinyur dari Indian Space Research Organization (ISRO).
Di saat yang bersamaan, ia turut menunjukkan kiprahnya dengan aktif di berbagai organisasi besar, di antaranya menjadi anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2021-2025), Board Chair IEEE Region 10 (2022-2024), dan anggota Board of Directors International Amateur Radio Union Region 3 (IARU Region 3) pada 2021-2024.
Salah satu prestasi terbesarnya dimulai dengan keterlibatannya dalam pengembangan LAPAN-A1, satelit mikro pertama Indonesia. LAPAN-A1 adalah satelit penginderaan jauh yang dikembangkan melalui kolaborasi antara LAPAN dan Technical University Berlin (TUB) Jerman yang diluncurkan pada 10 Januari 2007 menggunakan roket PSLV dari India. Sejak saat itu, LAPAN-A1 telah beroperasi di orbit selama lebih dari 7 tahun dan menjadi saksi kemajuan teknologi Indonesia dalam bidang antariksa.
Atas dedikasinya, ia menerima berbagai penghargaan, termasuk Penghargaan Luar Biasa pada 2013 dari Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia untuk kontribusinya dalam pengembangan LAPAN-A2. Pada 2016, Yudi juga dianugerahi Satyalancana Wirakarya untuk “Outstanding Dedication to The Country in Satellite Design & Development And Become A Role Model In Satellite Technology” atas dedikasinya kepada negara yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia. Menurutnya, penghargaan tersebut diraih karena ia berhasil menerapkan prinsip hidup orang Bugis untuk bekerja dengan sepenuh hati.
“Kita pakai prinsip orang Bugis saja. Begitu dikasih amanah, pekerjaan, bekerjalah sebanyak mungkin yang kamu bisa, yang kamu mampu, dan kamu harus mampu itu.” tegasnya.
Bagi Yudi, salah satu alasan penting mengapa Indonesia perlu menguasai teknologi antariksa adalah karena semua negara maju di dunia, seperti Amerika, China, Jepang, dan India telah banyak memanfaatkan teknologi, bahkan dalam bidang pertahanan, komunikasi, dan perekonomian. Teknologi antariksa, menurutnya, tidak hanya terbatas pada perjalanan luar angkasa saja, tetapi juga membawa dampak ekonomi melalui pengembangan produk turunan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu contohnya adalah pengembangan satelit yang digunakan untuk memantau pertanian di Indonesia, Satelit 8A. Diluncurkan pada tahun 2016, satelit ini membawa kamera multispektral yang dapat membantu Kementerian Pertanian untuk memprediksi hasil panen dan kondisi lahan untuk memungkinkan petani dan pemerintah merencanakan kebijakan pangan dengan lebih akurat.
Chairman IEEE untuk Indonesia ini berharap, ke depan, Indonesia bisa semakin mendalami dan menguasai teknologi antariksa. Ia mengajak para anak muda, khususnya yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Unhas untuk lebih banyak terlibat dalam dunia teknologi yang canggih ini.
“Kita pengen dorong teman-teman kita untuk go-nasional, go-global terutama yang di Sulawesi Selatan, itu juga lebih banyak masuk di area teknologi yang advanced,” pungkasnya.
Andika Wijaya