“Tidak butuh menjadi jenius untuk mengerjakan skripsi. Rajin dan ulet adalah kuncinya.”
Kalimat tersebut sepertinya bisa menjadi sandaran untuk setiap mahasiswa akhir saat ini. Namun demikian, kutipan yang disampaikan oleh Dosen Universitas Gadjah Mada, Yayu Nidaul Fithriyyah dalam opininya di Kompas berjudul Skripsi: Antara Ada dan tiada itu realitanya sangat bertolak belakang hari ini.
Di tengah pesatnya perkembangan dunia akademis, skripsi justru dianggap menjadi sebuah hal yang semakin sulit dilalui. Terlebih lagi oleh kalangan “pemalas” dan “penunda” yang lebih suka hal-hal instan. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan berbagai alternatif, salah satunya adalah penggunaan joki skripsi.
Praktik ini pada hakikatnya melanggar etika akademik. Praktik yang melibatkan pihak ketiga dalam penyelesaian skripsi mahasiswa ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang motivasi di balik penggunaan jasa tersebut serta dampaknya terhadap kualitas pendidikan dan integritas akademik.
Fenomena inilah yang diteliti oleh tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora dari Universitas Hasanuddin (Unhas), yang terdiri dari Rifki Alfian, Zul Muammar, Calvin Alexander, Muhammad Fauzan Jumantara Said, dan Andi Syahwiah A. Sapiddin. Rifki dan tim mewawancarai 15 orang, yang terdiri dari 10 orang pengguna dan 5 penyedia joki skripsi di Kota Makassar. Pengambilan sampel ini dilakukan dengan metode purposive sampling dengan beberapa kriteria khusus.
Dengan menggunakan teori butterfly effect sebagai pisau analisis, Rifki dan tim mengungkap bahwa fenomena ini bukan hanya mencerminkan kelemahan dalam sistem pendidikan, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistematis dalam penegakan hukum dan regulasi yang ada.
Pragmatisme hingga ketergantungan dorong penggunaan joki
Dalam penelitian Rifki dan tim, setidaknya ada beberapa alasan yang mendorong mahasiswa menggunakan jasa joki skripsi. Motivasi ini diklasifikasikan dalam dua alasan yakni hal-hal kecil dan perubahan tidak terduga.
Hal-hal kecil yang dimaksud yakni adanya perilaku prokrastinasi atau penundaan dalam mengerjakan skripsi. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kurang baiknya manajemen waktu mahasiswa, lingkungan yang kurang mendukung, hingga adanya anggapan bahwa skripsi tak begitu penting untuk masa depan.
Tekanan yang dirasakan mahasiswa juga menjadi faktor utama dalam penggunaan jasa joki skripsi. Hal ini membuat para mahasiswa lebih berpikir pragmatis. Sistem skripsi yang dianggap rumit dan membebani mahasiswa sering kali mendorong mereka untuk mencari solusi cepat, meskipun itu berarti mengabaikan proses belajar yang sesungguhnya.
“Mereka kurang edukasi mengenai apa sebenarnya manfaat kalau lakukan penelitian lewat skripsi,” kata salah satu anggota tim peneliti, Calvin Alexander.
Adapun perubahan tak terduga merupakan perubahan yang terjadi secara tiba-tiba. Dalam fenomena joki skripsi, perubahan tak terduga diidentifikasi pada motivasi mahasiswa yang menggunakan joki skripsi karena alasan ketergantungan. Alasan bahwa mereka telah terbiasa menggunakan joki untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah sebelumnya membuat mereka merasa “bergantung” pada jasa tersebut.
Temuan ini juga mengungkap bahwa pengguna joki bukan hanya dari kalangan mahasiswa sarjana, tetapi juga magister. Para mahasiswa S2 ini telah mengandalkan joki skripsi dalam menyelesaikan skripsi mereka, dan hal ini berlanjut ketika menyelesaikan tesis.
Sebagai dampaknya, para pengguna joki skripsi ini tidak mampu menguasai skripsi mereka sendiri. Beberapa narasumber yang diteliti mengaku tak mampu menjawab pertanyaan penguji meskipun sebelumnya telah menguasai konten skripsi mereka berdasarkan panduan yang diberikan joki skripsi.
“Mereka kurang paham atas penelitian mereka sendiri,” tambah Calvin.
Berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan
Sebagai dampak lanjutan dari berbagai praktik ini, penelitian ini mengungkap bahwa penggunaan jasa joki skripsi memiliki dampak yang sangat besar terhadap kualitas pendidikan dan integritas akademik.
Calvin mengamati bahwa jasa ini menurunkan kemampuan akademik mahasiswa, khususnya dalam aspek integritas. Mahasiswa yang menggunakan jasa ini sering kali tidak menguasai materi yang mereka tulis, karena skripsi yang diselesaikan oleh pihak ketiga tidak mencerminkan pemahaman mendalam mahasiswa. Akibatnya, penurunan integritas ini dapat memengaruhi sejauh mana lulusan dapat berkontribusi secara efektif dalam dunia kerja dan masyarakat.
“Nilai-nilai integritas itu sangat penting untuk diterapkan bagi tiap-tiap mahasiswa untuk terjun langsung ke masyarakat. Bagaimana mereka melakoni pekerjaan nantinya itu akan berdampak pada bangsa kita,” kata Calvin.
Penelitian tersebut menemukan bahwa praktik penggunaan joki skripsi berdampak signifikan terhadap cara mahasiswa menyelesaikan tugas akhir mereka, serta kualitas pendidikan yang diterima. Munculnya joki skripsi yang seolah dinormalisasikan membuat fenomena ini mengancam mutu pendidikan di tanah air.
Calvin juga menyayangkan adanya “oknum” di lingkungan akademik yang menyediakan layanan terkait tugas akhir. Hal ini menunjukkan bahwa masalah tersebut tidak hanya melibatkan mahasiswa, tetapi juga melibatkan beberapa pihak di dalam institusi pendidikan. Dengan kata lain, kompleksitas dan beban sistem ini melibatkan berbagai elemen dalam institusi pendidikan, bukan hanya mahasiswa.
Aturan hukum yang masih lemah
Fenomena joki skripsi di Makassar merupakan masalah kompleks yang memerlukan perhatian serius dan penanganan yang komprehensif. Lemahnya peraturan hukum terkait jasa joki skripsi membuat jasa ini masih dengan mudah ditemukan.
Calvin mencatat bahwa pada 2023, terdapat sekitar 60 ribu tagar terkait joki skripsi di Instagram, yang meningkatkan visibilitas dan aksesibilitas jasa tersebut bagi mahasiswa yang mencari solusi cepat. Keberadaan media sosial mempermudah penyebaran informasi dan promosi layanan joki skripsi, membuat fenomena ini semakin sulit dikendalikan.
“Saat ini, regulasi hanya menyasar pengguna jasa, padahal penyedia jasa juga harus dikenai sanksi,” ungkap Calvin.
Ia menjelaskan bahwa aturan yang ada saat ini hanya melarang mahasiswa untuk menggunakan jasa ini, sementara penyedia jasa masih belum diatur secara jelas. Aturan yang dimaksud yakni Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 25 ayat 2 dan pasal 70. Regulasi ini hanya mengatur terkait plagiarisme.
“Aturannya sekarang hanya terbatas pada pelarangan mahasiswa saja, sedangkan penyedia jasa masih tidak ada aturan yang melarang mereka,” ungkap Calvin.
Hal ini menciptakan celah hukum yang memungkinkan penyedia jasa untuk beroperasi dan mempromosikan layanan mereka tanpa takut akan konsekuensi hukum. Celah ini memperburuk situasi dengan memungkinkan praktik tersebut berkembang pesat tanpa adanya pengawasan yang memadai.
Hasil penelitian ini juga menyatakan bahwa beberapa langkah perlu diambil untuk mengatasi masalah ini. Di antaranya adalah mengevaluasi ulang bentuk penyusunan tugas akhir untuk meringankan beban mahasiswa. Dan yang paling penting adalah menjadikan fenomena ini sebagai suatu tindak pidana atau dikriminalisasikan. Aturan tersebut harus ditegakkan dengan diterapkannya sanksi terhadap penyedia jasa skripsi.
“Sangat perlu ada hukuman untuk penyedia jasa dalam bentuk denda,” kata Calvin.
Proses kriminalisasi terhadap praktik ini dilandaskan pada kriteria yang mencakup perbuatan yang merugikan masyarakat. Di sini, pemerintah memiliki kapasitas untuk melaksanakan ancaman pidana dengan membentuk regulasi khusus sebagai tanggapan atas maraknya fenomena ini.
Athaya Najibah Alatas