Childfree menjadi istilah yang ramai diperbincangkan usai salah satu influencer, Gita Savitri Dewi dan pasangannya sepakat untuk tidak mempunyai anak. Fenomena ini tentunya menuai pro dan kontra bagi masyarakat di media sosial. Pasalnya, childfree merupakan sesuatu yang belum diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas.
Lantas, seperti apa sebenarnya childfree ini? Bagaimana pandangan sosiolog melihat fenomena tersebut? Reporter PK identitas Unhas, Zakia Safitri Sijaya, melakukan wawancara langsung dengan Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas, Atma Ras SSos MA, Selasa (21/3).
Bagaimana pendapat Anda terkait fenomena childfree?
Fenomena tersebut tentu menuai pro dan kontra di masyarakat. Bagi saya itu sesuatu yang wajar karena masing-masing memiliki argumentasi. Peristiwa ini sendiri bisa dilihat melalui Teori Konstruksi Peter Berger, yaitu konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality). Fenomena childfree berarti realitas diciptakan oleh individu atau sekelompok individu yang merupakan manusia bebas dan memutuskan untuk childfree. Dengan kebebasan tersebut mereka bertindak di luar dari batas kontrol struktur dan pranata sosialnya sehingga menyebabkan fenomena childfree ini menjadi suatu realitas sosial.
Apa saja alasan yang membuat seseorang memilih untuk childfree?
Pertama, karena belum siap dan menganggap bahwa menjadi orang tua itu tanggung jawabnya besar. Kedua, karena ingin meniti karir. Mereka ingin mengejar karir lebih dulu sehingga belum siap untuk memiliki anak. Yang ketiga, perubahan pola pikir. Dulu sering kita dengar istilah banyak anak banyak rezeki. Kalau sekarang kehidupan kita semakin kompleks terutama dalam permasalahan ekonomi.
Kemudian yang paling ekstrem bisa saja mereka punya pemikiran tidak ingin punya anak karena menganggap anak adalah beban. Beban dalam arti pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan psikologi. Semuanya harus dipenuhi ketika sudah membentuk suatu keluarga. Ini juga yang menjadi pertimbangan untuk tidak memiliki anak. Semakin kompleks persoalan maka semakin pelik dalam memenuhi kebutuhan sehari-sehari. Mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak mendapat stigma negatif dari masyarakat dan dianggap menyimpang.
Mengapa childfree sulit diterima di Indonesia hingga menimbulkan stigma negatif?
Bagi masyarakat, kehadiran anak adalah anugerah terindah dari Allah, anak adalah aset keluarga. Anak juga memiliki fungsi sosial yang kelak dapat membantu keluarga. Misalnya, ketika orang tua sakit maka anak dapat menolong orang tua. Selain itu juga untuk mengangkat derajat dan martabat keluarga, contoh bila anak berprestasi dan dapat bekerja membantu menghidupi keluarganya. Pemahaman seperti ini telah terinternalisasi dalam tubuh masyarakat. Jika ada individu atau sekelompok individu punya keputusan untuk tidak memiliki anak, hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim sehingga mereka mendapat stigma negatif.
Childfree juga bukan tradisi dan nilai yang berasal dari Indonesia. Asalnya dari Eropa dengan nilai-nilai individual yang tinggi. Sementara di Indonesia berlaku nilai kolektivitas walaupun sudah banyak tantangannya. Pemahaman kebebasan untuk memilih childfree itu personal tapi seharusnya tidak perlu dibagikan di media sosial. Menghormati dan menghargai nilai dan norma di mana kita tinggal adalah keharusan.
Bagaimana menurut Anda terkait masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan yang memilih childfree akan kehilangan hakikatnya sebagai perempuan?
Menurut saya, tidak juga. Sebenarnya itu hanya masalah perspektif. Masing-masing orang punya privasi dan jalan hidup sendiri. Jadi kalau kehilangan hakikat sebagai perempuan menurut saya tidak juga, karena meskipun memutuskan untuk tidak memiliki anak, perempuan tetap melayani pasangannya. Dia juga berinteraksi dan bergaul dengan masyarakat untuk melangsungkan kehidupan. Jadi, itu adalah pilihan hidup seseorang.
Apakah dengan memilih childfree akan menghilangkan fungsi keluarga?
Masyarakat Indonesia memahami bahwa keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Jika memilih childfree berarti delapan fungsi keluarga tidak berjalan maksimal karena anak sebagai penerus pembentukan masyarakat selanjutnya itu tidak ada. Untuk membina keluarga yang harmonis sangat penting menjalankan fungsi-fungsi keluarga. Diantaranya yaitu fungsi keagamaan, fungsi cinta dan kasih sayang, fungsi perlindungan atau proteksi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi sosial dan budaya, fungsi ekonomi dan fungsi lingkungan.
Bagaimana harapan Anda mengenai fenomena childfree ini?
Sebaiknya kita menyikapi secara bijak karena ini kan menimbulkan pro dan kontra. Yang pro silakan saja dan yang kontra jangan mencibir karena itu juga pilihan hidup orang. Cuma yang harus kita lakukan adalah melakukan edukasi secara masif bahwa anak itu adalah aset kemudian anak itu adalah amanah.
Data diri narasumber
Nama: Atma Ras SSos MA
Tempat tanggal lahir: Pinrang, 20 Mei 1975
S1: Sosiologi, Universitas Hasanuddin
S2: Sosiologi, Universitas Gadjah Mada