“Baik atau buruknya seseorang, identitas itulah yang menjadikan dia manusia. Sesungguhnya kesempurnaan hanya milik-Nya” – surat Al-Ikhlas ayat 1-4.
Kapan pertama kali kamu menyadari dirimu adalah manusia? Pertanyaan yang tiba-tiba kudapatkan dari juniorku itu membuatku bungkam sesaat. Tiada angin tiada hujan ia melontarkannya dengan tampang serius, 20 tahun aku hidup dan tak pernah seorang pun bertanya padaku soal itu sebelumnya. Sambil menduga-duga aku menjawab, “bukannya sejak awal mula kita telah dilabeli manusia?”.
Kedengarannya memang bukan itu jawabannya, sekedar respon dungu untuk mengelak dari kenyataan yang sesungguhnya. Aku ingat, pertama kali aku mengagumi langit biru, diumurku bahkan belum cukup untuk taman kanak-kanak. Momen terbaik bagiku adalah, saat matahari mulai terbenam, aku akan berbaring di atas rumput rumput liar dan menatap burung yang terbang tinggi di angkasa biru. Aku pun berharap menjadi burung itu pula, memiliki sayap dan bisa kemana pun, hidup bebas.
Aku tumbuh dan besar di sebuah pedesaan yang tertutup oleh banyak lembah. Hampir sebagian besar tempat itu berupa hutan dan persawahan, saat malam menjelang subuh, suhu bisa mencapai 13 derajat, dan siang hanya mencapai 26 derajat, bisa dibilang, kampung halamanku adalah distrik terbaik dan tersejuk yang pernah ada.
Namun, terkadang aku tak bisa menikmati hidup, ada keinginan dalam diriku yang ingin dicapai, dan aku belum tau itu apa. Agar aku bisa lari dari keinginan duniawi tersebut aku akan menatap cakrawala dan berkata pada diriku, “hari ini sangat indah, terima kasih Tuhan telah menjadikanku manusia”. Menurutku, setiap kali aku mengucap syukur aku selalu sadar diriku adalah manusia. Walaupun hidup dalam kemiskinan aku merasa hidupku waktu itu sangat bahagia, dan tak kan ada siapa pun atau apa pun yang bisa mengambilnya dariku.
Waktu berlalu, dan sekarang aku berada pada realita, entah pantaskah aku menyebutnya begitu, semua tentang langit biru tak pernah terpikirkan lagi, jika bayangan itu terlintas, aku akan menganggapnya masa lalu, tak layak lagi untuk dipikirkan.
Dan dengan begitulah aku mengusir setiap kenangan yang kumiliki di masa lalu, kenangan buruk, kenangan baik, maupun kenangan yang menjadikanku manusia.
Pertanyaan juniorku terus bergema dalam kepala, aku meminta ia menjelaskan alasannya menanyakan hal itu, dengan lantang dan penuh perhatian ia menjawab, “dunia saat ini begitu kacau, orang-orang bertingkah seperti hewan, sehingga sulit dibedakan”.
Benar, ia tak sepenuhnya salah tapi tak sepenuhnya benar. Tapi aku lebih memilih menjawab itu dalam hati.
Aku ingat saat pertama kali belajar tentang pengertian manusia di bangku sekolah dasar. Wali kelas satu sekolah dasarku lalu, Ibu Sambara yang bertubuh tambun dan tingginya tak lebih dari 150 cm akan berteriak teriak sambil memukul papan tulis dengan mistar sepanjang satu meter.
“Manusia adalah…?”, tuk tuk tuk, pertanyaannya keluar bersamaan dengan mistar yang menumbuk papan tulis kapur berlatar hitam. Sadar anak baru menetas yang mendiami kelasnya tidak akan menjawab, ia meneruskan, “….hewan yang berakal”.
Di titik aku pun paham, manusia adalah hewan tapi sedikit lebih pintar, gagasan itu menusuk kalbu bersama bunyi papan tulis yang dipukul berulang kali.
Lain cerita, aku sangat suka anjing, bisa dibilang pecinta, dan sampai saat ini bisa dihitung ada sekitar 50 anjing yang pernah kupelihara, sudah banyak yang mati, beberapa mati dipukul karena tingkahnya benar-benar seperti anjing, tapi ada juga yang mati karena sakit, dan sisanya mati karena usia. Aku sadar, hewan berkaki empat itu ada yang agresif, nakal, pendiam, di samping itu juga ada yang penyayang, tak pernah mengejar tetangga, selalu patuh menjaga rumah saat ditinggal pergi, dan saat kami kembali, ia akan melolong dengan manja dan berlari lari dengan ekor mengibas, sedikit serupa dengan ‘manusia’.
Jika aku diizinkan menafsirkan manusia, aku akan dengan sarkas mengatakan, manusia sama saja dengan hewan, dan untuk terlihat sedikit pintar, aku akan menambahkan ayat alkitab tentang dosa asal, kej 3: 1- 24, yang secara tersirat mengungkapkan ketidaksempurnaan manusia.
Tapi aku tidak akan menunjukkan hal itu secara terang terangan, aku hanya akan menyimpannya dalam hati, lagi.
Di samping itu, aku akan bertanya-tanya, mengapa ada orang jahat, baik, pendiam, pemarah, maksudku terlalu banyak sifat. Dan ada waktu tertentu, aku terkejut dengan seseorang yang selalu bersikap baik ternyata bisa berkelakuan buruk.
Karena itu, aku mengakui manusia terlahir dengan dua sisi yang bertolak belakang, seperti kutub magnet. Dan sampai mati pun, ia akan selalu bersama kedua bagian tersebut.
Oktafialni Rumengan