Memasuki awal Maret, musim dingin di Jepang telah berakhir. Namun hawa dingin Kota Tokyo masih sangat terasa ketika saya mengayuh sepeda mamachari menyusuri hiruk pikuk kota tersibuk di dunia ini. Semua orang sibuk beraktivitas seperti biasa, begitulah Tokyo adanya. Sekitar pukul dua siang waktu setempat, saya hendak menemui salah seorang junior saya dari Universitas Gadjah Mada yang sekarang mengambil program master di Jepang. Di dalam tas telah saya bawa bersama sebuah buku hasil penelitian saya bertajuk “Apakah Mereka Mata-Mata?” yang ingin dipinjamnya.
Restoran cepat saji di depan stasiun Meguro menjadi tempat kami bertemu dan bercengkrama. Kami sempat bertukar cerita tentang kehidupan kami masing-masing di Jepang, bahkan kabar kedua anak saya terutama Dhiqa yang akan segera lulus dari Sekolah Dasar Shirokane. Untuk merayakan kelulusan Dhiqa, saya membawa ibu saya ke Jepang sebelum saya pulang ke tanah air. Hari ini Dhiqa sedang sakit, sehingga saya memintanya untuk tetap di apartemen bersama ibu saya.
Saya benar-benar tidak menduga bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi hari itu. Kami sangat asyik mengobrol hingga sebuah guncangan mencuri perhatian orang-orang seisi restoran. Gempa bumi terjadi tanpa pertanda apapun. Pikiran saya langsung tertuju pada Dhiqa dan ibu yang sedang berada di apartemen. Hal yang membuat saya heran adalah tidak ada seorang pun yang panik di sekitar. Semua tetap melanjutkan aktivitasnya seakan gempa yang terjadi hanyalah pengumuman barang hilang. Tokyo yang memang didesain untuk tahan terhadap guncangan gempa, mungkin menjadi alasan mereka bisa setenang itu. Adik kelas mencoba menenangkan saya, tetapi guncangan yang tidak kunjung reda mendorong saya segera beranjak kembali ke apartemen.
Sekuat mungkin saya mengayuh sepeda sambil berharap keadaan Dhiqa dan ibu baik-baik saja. Gedung-gedung di sepanjang jalan juga masih terlihat bergoyang, begitu pula jalan layang di hadapan saya. Melintasi kolong jalan layang Meguro Dori sungguh bukanlah ide yang bagus ketika gempa sedang mengguncang. Beton dengan berat berton-ton itu bisa saja roboh menimpa saya. Dalam hati saya hanya pasrah bila hal itu benar-benar terjadi. Tetapi satu-satunya yang harus saya lakukan saat itu adalah “Saya harus segera pulang”. Jalan layang tersebut pun dapat saya seberangi dengan selamat.
Setiba saya di gedung apartemen, semua orang telah dievakuasi keluar dari gedung. Dhiqa dan ibu dalam keadaan yang baik-baik saja. Ibu sempat mengomel lantaran Dhiqa memintanya untuk berlindung di bawah meja saat gempa terjadi, seperti yang diajarkan oleh gurunya di sekolah. Saya sangat bersyukur mereka baik-baik saja, terlebih lagi gempa yang mulai mereda. Beberapa saat kemudian saya menepuk jidat, bisa-bisanya saya melupakan si bungsu Vanya yang sedang berada di sekolah. Segera saya menitipkan Dhiqa dan ibu ke tetangga dan langsung mengayuh sepeda saya ke Sekolah Dasar Shirokane.
Vanya saat itu masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Walaupun begitu, mengetahui bahwa dia sedang berada di sekolah membuat saya sedikit lebih lega. Sekolah di Jepang didesain sebagai tempat evakuasi paling aman ketika terjadi bencana, sehingga saya yakin Vanya baik-baik saja. Setiba saya di sana, para orang tua sibuk berlalu-lalang menjemput putra-putri mereka. Pihak sekolah pun tidak berhenti menghubungi orang tua murid meskipun jaringan telepon sedang terputus. Setelah bertemu kembali dengan Vanya, ia sangat kecewa dengan hari yang mengejutkan ini. Sebelum berangkat ke sekolah, Vanya telah meminta izin untuk datang ke acara ulang tahun temannya sore ini. Awalnya saya tidak ingin membiarkannya pergi, tetapi melihat situasi yang mulai membaik, dan kekhawatiran saya akan trauma yang bisa saja dirasakan Vanya, saya pun mengizinkannya.
Gempa sebesar 5 skala richter yang melanda Tokyo kala itu menyebabkan kepanikan lantaran Tokyo merupakan pusat di mana data-data penting tersimpan. Namun, di Distrik Minato, tempat saya bermukim, kerusakan tidak tampak begitu parah. Di beberapa wilayah lain pesisir barat Tohoku, gempa mengguncang hingga kekuatan 9,1 skala richter. Japanese National Police Agency telah mengkonfirmasi 15.269 orang tewas, 5.363 orang luka dan 8.526 orang hilang di enam prefektur dalam bencana tersebut.
Setelah tragedi itu, Tokyo sempat mengalami krisis. Beberapa bulan kemudian, pengiriman logistik dari luar daerah banyak tertunda hingga terjadi kelangkaan sumber daya. Supermarket sering kali kehabisan bahan makanan juga keperluan sehari-hari lainnya. Tokyo yang selalu bermandikan cahaya lampu pun kadang diselimuti gulita karena pemadaman listrik yang masih berangsur-angsur dilakukan sembari pemulihan infrastruktur pasca bencana. Beruntungnya saya tinggal di Distrik Minato, berdekatan dengan kantor pusat pemerintahan Jepang, sehingga wilayah sekitar apartemen saya jarang terjadi pemadaman listrik.
Peristiwa pada 11 Maret, 10 tahun silam itu menjadi salah satu peristiwa yang tidak akan pernah saya lupakan. Gempa itu adalah terbesar yang pernah melanda Tokyo. Di samping merasa takut, saya juga merasa bersyukur bisa menjadi saksi hidup dari peristiwa yang sangat bersejarah tersebut.
Penulis : Meta Sekar Puji Astuti SS MA PhD
Ketua Departemen Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Hasanuddin
Baca Juga : Belajar Bahasa Ibu di Holiang