Berbicara tentang kehutanan, hal yang terlintas di pikiran kita tidak jauh dari ekosistem hutan, pepohonan, dan sebagainya. Namun, di balik itu, ada masyarakat yang hidup di hutan yang kadang jarang tersentuh, baik itu masyarakat lokal maupun masyarakat adat.
Tidak dipungkiri juga bahwa dalam kehidupan masyarakat tersebut tentu memiliki beragam dinamika tersendiri. Banyaknya masalah kehutanan yang hingga saat ini masih menjadi suatu hal yang darurat menjadi sebuah titik hadirnya Tim Layanan Kehutanan Masyarakat (TLKM).
TLKM merupakan yayasan Non Governmental Organization (NGO) yang secara profesional bekerja dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat. TLKM bergerak dalam bidang pendampingan dan pengorganisasi masyarakat. Tidak hanya itu, TLKM juga memiliki aktivitas penelitian, konsultasi perencanaan, hingga mendorong kebijakan lintas sektor.
Organisasi ini berawal dari kampus yang diinisiasi oleh akademisi Fakultas Kehutanan Unhas pada tahun 2009. Pada awal terbentuk, organisasi ini menjadi sarana bagi mahasiswa untuk belajar tentang pengelolaan lahan dan mendampingi masyarakat di kawasan hutan.
Permasalahan seperti klaim warga tentang kepemilikan kawasan hutan menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Oleh karena itu, TLKM hadir sebagai organisasi yang mendampingi masyarakat untuk mencari jalan keluar dari berbagai permasalahan yang biasa terjadi dalam kawasan hutan.
Seiring berjalannya waktu, TLKM semakin berkembang hingga menjadi sebuah yayasan berbadan hukum pada tahun 2017.
Hingga saat ini, TLKM tidak hanya menjadi sarana bagi mahasiswa untuk belajar, melainkan juga tempat bekerja sebagai profesional. Sebagai organisasi yang telah berbadan hukum, TLKM ini juga telah memiliki struktur tersendiri dan saat ini dipimpin oleh Muchlas Dharmawan Tualle sebagai Executive Director (Ketua yayasan).
Meskipun telah merambah sebagai sebuah yayasan, TLKM juga masih aktif hingga saat ini sebagai organisasi mahasiswa di kampus. Bahkan, pria yang akrab disapa Utta ini mengatakan, meskipun telah bekerja berprofesi sebagai pekerja sosial, mereka juga tetap aktif dalam memfasilitasi mahasiswa di kampus.
“Kalau kita kerjakan proyek, kita dapat ilmunya, kita sharing kembali ke mahasiswa di kampus,” jelasnya, Jumat (28/06).
Salah satu program yayasan TLKM ini adalah memfasilitasi mahasiswa untuk capacity building, termasuk kapasitas pengetahuan dan keterampilan. Fasilitas yang dimaksud berupa diskusi, kunjungan lapangan, hingga magang.
Sejak tahun lalu, TLKM telah bekerja sama dengan kampus sebagai mitra dalam program Magang Bersertifikat Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Saat ini sekitar 20 orang mahasiswa sedang mengikuti program tersebut di TLKM.
“Mahasiswa yang ikut MBKM ini bukan anggota dari TLKM karena kita terbuka bagi siapa saja yang ingin mengonversi kuliahnya melalui program tersebut,” ujar Utta.
Program kerja sama ini juga sekaligus memfasilitasi mahasiswa untuk mengenali pekerjaan NGO, khususnya dalam bidang kehutanan masyarakat.
Masih adanya persoalan pengelolaan hutan masyarakat yang tidak baik, eksklusif, dan sebagainya, menggerakkan TLKM pada visinya. Adapun visi tersebut adalah menuju pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat yang lebih baik, adil, inklusif, dan berkelanjutan.
“Visi itu lahir dari persoalan, kalau baik berarti sekarang belum balik atau baik, tapi masih ada kurangnya,” sebutnya.
Executive Director TLKM ini juga menjelaskan, tata kelola hutan masyarakat ini juga masih kurang, terlebih tidak adanya aksi kolaboratif dari pihak pemerintah, NGO, Perusahaan, dan masyarakat.
Bahkan pengelolaan hutan tersebut juga masih terbilang tidak adil. Meskipun ada masyarakat yang masih belum mendapatkan akses tersebut, tetapi di satu sisi masih ada saja oknum-oknum desa yang justru menyalahgunakan wewenangnya.
Berbicara terkait akses kelola, satu hal yang menjadi perhatian TLKM belakangan ini, yaitu persoalan birokrasi. Dinas Kehutanan saat ini hanya ada di provinsi, sedangkan masyarakat desa yang berada di kabupaten juga membutuhkan instansi tersebut untuk peningkatan ekonominya.
Hal tersebut kemudian menjadi gagasan TLKM untuk menarik peran pemerintah dan fokus pada kelompok hutan tersebut. “Kalau bisa disimpulkan, tata kelola (hutan) masih kurang di Sulawesi,” tambahnya.
Sejauh ini, TLKM juga aktif di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Maros, Enrekang, Toraja, Toraja Utara, dan Pinrang. Kabupaten-kabupaten tersebut juga menjadi wilayah pendampingan dari program adaptation fund yang dijalankan oleh TLKM sejak tahun 2020.
Program adaptation fund ini juga merupakan bentuk dari kerja sama yang diperoleh pendanaan PBB yang berfokus pada isu adaptasi perubahan iklim. Tidak hanya itu, TLKM juga berhasil menjadi mitra dari pemerintah Inggris yang disalurkan melalui lembaga The Asia Foundation.
Kerja sama lain yang diperoleh TLKM ini tidak hanya berlokasi di Sulawesi saja, melainkan hingga ke Kalimantan sebagai kawasan hutan terluas di Indonesia.
“Selagi itu membutuhkan konsultan, artinya kita juga bekerja di sana. Bahkan sudah ada staff kami yang tinggal di Kalimantan Tengah,” ujarnya.
Selain berfokus pada layanan kehutanan masyarakat, TLKM ini juga bergerak dalam publikasi sebagai aset pengetahuan. Segala hal yang telah diperoleh dari lapangan disandingkan dengan teori-teori hingga dipublikasikan menjadi artikel ilmiah scopus Q2. TLKM ini juga menjadi wadah bagi guru besar untuk mengembangkan studinya.
TLKM juga telah mempublikasikan buku cerita yang berisi program dari kabupaten yang didampingi dan dapat dibaca langsung melalui website TLKM.
Jum Nabillah