Biaya obat merupakan kalkulasi dari kompleksitas rantai perdagangan. Menurut peraturan berlaku, sekurang-kurangnya terdapat tiga fasilitas yang berperan dalam penentuan biaya obat, yakni produksi, distribusi, dan pelayanan kesehatan. Tiga fasilitas ini tidak selayaknya dipertanggungjawabkan atas semakin meningginya harga obat.
Negara seharusnya bertanggung jawab atas peraturan perundang-undangan yang telah menciptakan kenaikan harga obat. Pertanggungjawaban negara didasarkan akan sistem ekonomi Indonesia yang telah dicanangkan para pendiri bangsa. Bung Hatta menyebut sistem ekonomi Indonesia seperti mendayung di antara dua karang yang merupakan pertengahan dua ideologi besar, antara Komunisme dan Liberalisme.
Negara Indonesia memberlakukan pasar bebas dengan privatisasi perusahaan, tetapi pada beberapa sektor negara harus ikut andil dalam kebijakan ekonominya. Contohnya, sektor kesehatan yang dijamin melalui Konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28H dan Pasal 34. Amanat ini menitikberatkan pada akses warga negara untuk dapat hidup sehat melalui pelayanan kesehatan termasuk di dalamnya pemenuhan sediaan farmasi atau obat-obatan
Sistem ekonomi ini telah diadopsi dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) secara tidak sempurna melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menggunakan subsidi silang antara masyarakat. Negara seharusnya melakukan Mandatory Spending, berupa anggaran kesehatan yang cukup dalam pemenuhan hak sehat warga negara.
Pemenuhan hak tersebut secara paripurna sulit dicapai oleh negara. Kebutuhan terapi obat-obatan yang tidak semuanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan, dapat ditekan dengan optimal, apabila kegiatan promotif dan preventif dapat terlaksana dengan baik. Imbasnya menekan harga obat menjadi penting dilakukan sekarang oleh berbagai pihak.
Produksi obat dari bahan baku impor
Bahan Baku Obat (BBO) memiliki ketergantungan sangat besar terhadap impor. Kurang lebih 90 persen kebutuhan dalam negeri dipasok dari luar negeri. Produksi BBO di Indonesia sangat terbatas dengan beberapa jenis obat saja.
Pemerintah mengusahakan menurunkan kebutuhan impor hingga 50 persen melalui produksi dalam negeri. Produksi BBO dalam negeri sulit bersaing dengan impor bahan baku obat dari Cina dan India dikarenakan harga impor yang lebih murah.
Walaupun, harga obat lebih murah menggunakan BBO impor daripada dalam negeri. Ketidakpastian global dapat berdampak pada keengganan negara-negara produsen BBO untuk mengekspor produk. Jika kondisi itu terjadi, harga obat akan semakin tinggi sehingga kemandirian BBO diperlukan untuk memproteksi Sistem Kesehatan Nasional.
Rantai distribusi yang panjang
Melalui peraturan perundang-undangan, Pemerintah mengizinkan berdirinya perusahaan penyalur atau Pedagang Besar Farmasi (PBF) sebagai perantara antara industri farmasi dengan fasilitas pelayanan kesehatan. Negara perlu menjamin obat-obatan yang didistribusikan terjaga mutunya dari industri farmasi sampai di pasien.
Meskipun beberapa industri farmasi mampu menyuplai kebutuhan obat secara langsung ke fasilitas pelayanan kesehatan. Realitasnya PBF semata-mata dihadirkan bukan untuk membantu pemenuhan obat, melainkan ditujukan menciptakan lahan bisnis..
Seandainya, PBF harus dipertahankan dikarenakan keterjangkauan wilayah negara yang belum memadai. Selayaknya juga, Pemerintah mengizinkan industri farmasi dapat mendistribusikan obat secara langsung ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pemerintah harus berhenti mengizinkan monopoli distribusi obat-obatan hanya terbatas pada perusahaan-perusahaan penyalur.
Keterlibatan tenaga kesehatan
Bagian paling penting dari penentuan harga obat yang dibayarkan oleh pasien, terhubung dengan dua personel tenaga kesehatan, yakni dokter dan apoteker. Dokter secara tidak langsung berhubungan dengan harga obat, dikarenakan resep merupakan permintaan tertulis kepada apoteker, tetapi apoteker yang secara langsung menagihkan biaya obat kepada pasien.
Mahalnya tagihan obat dikarenakan pemberian terapi obat menggunakan obat generik bermerek atau obat paten, yang secara marketing cenderung menargetkan pasien yang bersedia membayar lebih untuk mendapatkan beberapa efek tertentu, seperti kenyamanan untuk hanya mengkonsumsi 1 tablet sehari saja, daripada 3 tablet sehari, atau penggunaan di kulit tanpa harus minum obat.
Tentu saja resep obat oleh dokter melibatkan berbagai pertimbangan. Masalah utamanya adalah ketidakmampuan pasien melakukan pembayaran yang dapat dibantu oleh apoteker.
Sebagai contoh, dokter meresepkan obat bermerek, kemudian pasien datang ke apotek dengan tagihan obat. Jika pasien tidak mampu melakukan pembayarannya, apoteker dengan atau tanpa persetujuan dokter, dapat memberikan pilihan obat generik yang memiliki kandungan bahan aktif obat dan kekuatan sediaan yang sama dengan harga lebih murah.
Pemerintah juga hampir tidak memiliki andil besar secara pembiayaan atas pendidikan profesi dokter atau apoteker. Beban biaya pendidikan profesi yang mahal dan cukup lama, dapat mengubah perilaku bekerja mereka.
Bagaimana suatu profesi yang dibebankan sebuah tanggung jawab besar berupa kesehatan rakyat Indonesia, tidak mendapatkan keterlibatan negara secara besar-besaran?. Mereka membutuhkan keterlibatan negara yang lebih besar terkait pendidikan, penghasilan, dan masa depan sebagai kehormatan pelayan publik.
Kesimpulan
Pemerintah Indonesia harus mengupayakan secara sistematis pemenuhan hak sehat bagi warga negara yang dapat dilakukan dengan memenuhi kebutuhan obat-obatan yang terjangkau bagi pasien. Pemerintah bisa menekan harga obat dengan berbagai kebijakan baik pembatasan PBF dan penggunaan bahan baku obat dalam negeri.
Namun, harus diimbangi dengan meningkatnya anggaran kesehatan yang secara langsung berkaitan upaya preventif atau promotif dalam pelayanan kesehatan, atau investasi pada pendidikan profesi tenaga kesehatan khususnya Dokter dan Apoteker.
Penulis: Muhammad Akram
Mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Universitas Hasanuddin