Menyabung Nyawa Demi Sesama
Ada pepatah mengatakan, jadikan pengalaman sebagai guru yang terbaik. Banyak pelajaran di dalamnya yang dapat mengiringi perjalanan hidup. Bagaimana semangat meraih sesuatu, keberanian mengambil pijakan, bangkit dari kesedihan, juga menerima kenyataan penuh ikhlas.
Dengan tekad yang sama, buku ini hadir di tangan pembaca. Prof Dr dr Idrus A. Paturusi Sp.B Sp.BO berbagai kisah hidupnya agar apa yang dilalui bisa menjadi pelajaran bagi generasi penerus.
Buku biografi setebal 370 halaman ini dibuka dengan narasi masa kecil Idrus yang selalu berpindah-pindah sekolah karena mengikuti orangtuanya. Lahir dari ayah Andi Paturusi yang seorang tentara dan ibu Siti Hasnah Karaeng Caya mengharuskan Idrus bersama delapan adiknya terus ikut kemana pun tempat ayahnya bertugas.
Tumbuh sebagai anak laki-laki Makassar, Idrus senantiasa membawa sikap rewa dimanapun ia berada. Sulung kelahiran 31 Agustus 1950 ini belajar beberapa ilmu bela diri. Ada judo yang dipelajarinya saat sekolah di Jakarta dan Jiu jitsu serta karate yang didapatkannya saat sekolah di Makassar. Hal ini berpengaruh dalam kebiasaan adu jotos yang terus ia lakukan hingga SMA. Di akhir masa sekolah, Idrus mulai serius belajar karena ingin kuliah insyur di ITB.
Sayangnya, mimpi itu tidak sepenuhnya didukung oleh sang ibu. Idrus diharapkan masuk di Fakultas Kedokteran Unhas. Niat tidak ingin mengecawakan ibu lantas mengantarnya kuliah kedokteran yang penuh gejolak. Mulai dari adaptasi awal saat perpeloncoan, berkali-kali mengulang mata kuliah, lulus dan memulai karir sebagai dokter.
Prof Idrus pernah bekerja menjadi dokter di beberapa rumah sakit di Makassar, selain itu ia juga dikenal sebagai dokter spesialis bencana dan kerusuhan. Idrus bersama tim medis Unhas selalu siaga menolong di daerah konflik.
Rasa kemanusiaan yang tinggi dari Prof Idrus membawa dirinya berpijak pada beberapa tempat, seperti Ende, Nias, Aceh, Maluku, Papua, Timor Timor hingga Pakistan dan Afghanistan. Idrus pernah ditodong senjata oleh tentara saat turun dalam konflik Ternate tahun 1999. Ia juga hampir meninggal dalam kecelakaan helikopter di Nias tahun 2005.
Jiwa sosialnya yang tinggi sesuai dengan prinsip bahwa menolong sesama adalah panggilan jiwa yang harus dimiliki oleh dokter. “Ada kebahagiaan sendiri saat kita bisa membantu mereka yang sedang kesulitan dan butuh pertolongan di daerah bencana. Kebahagiaan ini tidak bisa dinilai dengan uang,” ujarnya dalam buku halaman 178.
Idrus bagai dokter serba bisa. Kemampuannya bukan cuma bela diri dan jiwa kemanusiaan yang tinggi. Ia pun handal dalam memimpin. Terbukti dengan diangkatnya sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Kedokteran Unhas di tahun 1994. Delapan tahun kemudian, Idrus menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran. Puncak karir Idrus ketika ia menjabat sebagai Rektor Unhas periode 2006-2014. Di tangan sang dokter ahli bedah tulang, Unhas berhasil menjadi salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Idrus meninggalkan jabatannya dengan warisan Rumah Sakit Unhas dan Fakultas Teknik di Gowa.
Buku biografi yang ditulis oleh Sili Suli, mantan wartawan Harian Ujungpandang Ekspres ini menarik untuk dibaca berbagai kalangan. Tidak hanya civitas akademika Unhas, tapi juga para relawan kemanusiaan. Buku ini mudah dipahami karena penulis dengan lihai membawa pembaca merasakan suasana menengangkan yang dihadapi Idrus di tengah misi kemanusiaan. Tata letak buku juga membantu kita membaca sambil membayangkan kondisi yang diceritakan karena dilengkapi foto di antara tulisan. Sayangnya, buku ini memiliki bentuk yang besar dan berat. Sehingga tidak efisien jika dibawa kemana-mana. Selain itu, buku juga dicetak terbatas dan tidak ditujukan untuk kalangan umum. Padahal, kisah dalam buku sarat akan motivasi dan nasehat dari seorang guru besar.
Finsensius T Sesa
Data Buku
Judul: Idrus A. Paturusi, Dokter di Medan Lara
Penulis: Sili Suli, Hurri Hasan
Tebal: 370 Halaman/22×30 cm
Cetakan: Pertama (Maret 2020)
Penerbit: Arti Bumi Intaran