Data Film
Judul: Tenggelam dalam Diam
Sutradara: Muhamad Sridipo
Produser: Watchdoc Documentary & Greenpeace
Durasi: 60 menit
Tayang: YouTube 2021
“Mereka pasrah, kemudian bertindak. Mereka berteriak tapi tidak terdengar, setidaknya sampai mereka benar-benar tenggelam”
Tinggal di Indonesia adalah sebuah anugrah yang patut untuk disyukuri. Ribuan pulau berbaris membentuk sebuah kepulauan nan megah pun kaya. Tetapi negara kepulauan bukan jaminan kesejahteraan bagi penduduknya. Di pesisir pulau Jawa, ada suatu bencana yang diam-diam mengintai, perlahan merampas tanah, sekolah, hingga rumah warga sekitar. Sebutlah ia banjir rob.
Banjir rob bagai sebuah bisikan yang sekejap menjadi teriakan dari alam untuk menegur kita para manusia, bahwa alam kini sedang tidak baik-baik saja. Begitulah yang pesan yang disampaikan Watchdoc berkolaborasi bersama Greenpeace dalam sebuah dokumentasi yang bertajuk “Tenggelam dalam Diam”.
Film besutan sutradara Muhamad Sridipo ini bercerita tentang petualangan Dulia Rahab dan Airin Barlian secara terpisah menyusuri pesisir utara Pulau Jawa. Seperti judulnya, mereka berdua yang sama-sama gemar fotografi, berpetualang ke tempat-tempat yang melukiskan secara nyata dampak dari naiknya permukaan air laut akibat pemanasan global dan perubahan iklim. Mereka selalu ditemani oleh rekan-rekan seniman yang berbeda di setiap tempat yang mereka kunjungi.
Dulia memulai perjalanannya di Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, di sebelah barat Pulau Jawa. Hal pertama yang disadari pemusik itu adalah permukaan air laut sudah lebih tinggi dari daratan. Warga Penjaringan hanya dilindungi oleh sebuah tanggul setinggi lima meter, yang masih bisa dilewati air ketika laut pasang. Warga yang rerata adalah pekerja kasar dengan penghasilan rendah, harus membeli air bersih 600 ribu rupiah perbulan untuk kehidupan sehari-hari.
Airin Barlian memulai perjalanannya dari sebelah timur Pulau Jawa, tepatnya di Gresik, Jawa Timur. Dengan kamera di tangannya, Airin memotret keseharian masyarakat pesisir Gresik yang di tambak bandeng yang mereka Kelola. Tambak yang mampu memproduksi 40 ton ikan bandeng itu kini kian menyusut karena kenaikan permukaan air laut. Warga pemilik tambah harus terus meninggikan tanggul tambah mereka setiap enam bulan sekali agar banjir rob tak membawa kabur bandeng mereka. Beberapa petambak bahkan rela memanen bandengnya lebih awal karena khawatir merugi.
Apa yang terjadi di atas itu hanyalah awal dari film yang membuktikan sebuah ironi memilukan. Kenyataan bahwa Pulau Jawa tenggelam 2,5 sentimeter per tahunnya adalah pernyataan yang semakin lama semakin terasa dampaknya. Airin dan Dulia melihat berbagai bangunan di dermaga yang harus ditinggikan setiap tahunnya agar tidak dilahap banjir. Sebuah reruntuhan masjid terbengkalai sudah nyaris tenggelam di laut, menjadi patok bahwa manusia pernah beraktivitas sampai di masjid itu sebelum alam mengambilnya lagi secara paksa.
Di Kampung Geting, Muara Gembong, Dulia mengunjungi warga yang setiap harinya harus berjibaku dengan banjir. Setiap hari selama 12 tahun. Hal yang sama juga ditemui oleh Airin di Kampung Nelayan, Tambak Rejo, Semarang. Ia mengunjungi seorang warga yang harus merendahkan kepala setiap kali memasuki rumah agar kepalanya tidak membentur atap. Hal itu karena lantai rumah yang harus dinaikkan sekian meter per tahun agar tidak tergenang banjir rob. Warga yang mampu mungkin akan meninggalkan rumah mereka, Sebagian lagi mungkin akan meninggikan rumahnya, tetapi bagi warga miskin, tetap tinggal bersama banjir adalah satu-satunya pilihan mereka.
Di Pekalongan yang berada di tengah Pulau Jawa, menjadi tempat Airin dan Dulian bersua. Namun, sebelum itu, mereka juga menyaksikan Pekalongan juga merasakan dampak yang sama. Batik dari Pekalongan yang masyhur itu ternyata ikut digerus naiknya banjir rob. Airin mengunjungi sebuah produsen batik yang telah berkali-kali meninggikan lantai pabrik mereka berkali-kali. Mereka tetap terkena dampak dari banjir rob, meskipun bibir pantai berjarak empat kilometer dari pabrik.
Di akhir film, Airin dan Dulian kemudian bertukar cerita tentang apa yang mereka temui selama berpetualang. Sembari menampilkan foto hasil jepretan mereka di layar proyektor, menjadi bukti bahwa naiknya permukaan air laut bukan hanya menenggelamkan kampung, tetapi juga sumber penghidupan yang berpengaruh ke segala aspek.
Film berdurasi satu jam ini seharusnya sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa kenaikan permukaan air laut adalah bencana yang sangat merusak. Meskipun perlahan, semua pasti akan tenggelam jika kita masih acuh terhadap masalah lingkungan. Apa yang terjadi pada pesisir Pulau Jawa bisa saja terjadi kepada pesisir-pesisir lain di seluruh Indonesia bahkan di seluruh dunia. Hal yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga agar lingkungan tetap sehat dan alam tidak rusak. Pilihan ada di tangan kita, bersuara untuk alam yang lebih baik, atau ikut tenggelam dalam diam?
Risman Amala Fitra