Menjelang Pemilu 2024, berbagai pihak kini disibukkan dengan aktivitas kampanye. Mulai dari Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Legislatif, Partai Politik, maupun tim sukses calon. Senada dengan itu, beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden diperbolehkan kampanye dan memihak di tahun politik ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang (UU) Pemilu.
Menanggapi hal tersebut, pro dan kontra kemudian menguat di masyarakat. Ada yang menganggap tindakan Jokowi ini menyalahi aturan karena menyangkut masalah etika politik. Presiden merupakan jabatan politik yang difasilitasi negara, sehingga seharusnya bersifat netral. Namun, ada juga yang menyebutkan hal tersebut diperbolehkan dengan persyaratan tertentu.
Lalu, apakah benar Presiden maupun Menteri dapat menjalankan kampanye dalam masa jabatannya? Berikut wawancara khusus Reporter PK identitas Unhas, Nurul Fahmi Bandang bersama mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Makassar sekaligus Dosen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas), Endang Sari SIP MSi, Senin (29/01).
Bagaimana pandangan Anda terkait pernyataan Jokowi yang membolehkan pemimpin berkampanye?
Terkait dengan pernyataan Jokowi itu, kita tahu bahwa segala hal yang tidak diatur dalam regulasi bagi pejabat publik itu masuk dalam ranah etika. Maka walaupun regulasinya misalnya mengatakan boleh melakukan kampanye bagi seorang Presiden, tapi yang pada sisi etika ada hal-hal yang bertentangan dengan etika publik yang seharusnya ditampilkan kepada rakyat Indonesia. Untuk memahami hal itu, kita harus melihat regulasi tersebut secara utuh sehingga bisa menafsir apa yang sebenarnya terjadi.
Bagaimana Presiden semestinya bertindak mengekspresikan pilihan politiknya?
Kalau kita lihat dalam UU Pemilu di Pasal 281, 282, dan 283, itu memang disebutkan bahwa Presiden itu boleh melakukan kampanye. Sebagaimana diatur dalam UU, dia harus memenuhi ketentuan, yakni tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali fasilitas pengamanan dan sedang menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Dalam kasus Jokowi, ketika dia menyampaikan hal tersebut, dia masih berstatus sebagai Presiden dan tidak dalam keadaan cuti. Ini yang harus digarisbawahi. UU memberikan ruang untuk mengekspresikan pilihan politiknya sebagai individu maupun makhluk politik, tetapi UU juga mengatur koridornya. Ketika ingin menunjukkan keberpihakan dalam pemilu, maka pejabat negara wajib untuk melakukan cuti di luar tanggungan negara.
Bagaimana seharusnya lembaga penyelenggara pemilu menanggapi isu netralitas pemimpin?
Di segala tindakan yang dilakukan oleh KPU itu harus berpedoman pada hukum yang ada. Makanya, ketika ada pejabat negara yang melakukan pelanggaran atau ada pelanggaran kampanye misalnya yang kemudian terjadi, maka itu bisa menjadi ruang bagi KPU untuk melakukan evaluasi dan juga menjadikan dasar bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk bertindak. Kemudian, Bawaslu akan melakukan pengawasan sesuai pedoman dari proses apakah regulasinya dijalankan atau tidak.
Yang menjadi tantangan adalah kita harus membaca lalu memahami regulasi secara utuh. Tidak hanya sekedar mengambil satu pasal lantas mengabaikan pasal yang lain. Karena satu pasal pasti akan dijelaskan lebih detail di pasal selanjutnya.
Bagaimana kiat yang semestinya para pemimpin lakukan demi menjaga netralitasnya?
Kalau pemimpin, saya selalu kagum dengan Mohammad Hatta dan BJ Habibie. Kita bisa mengambil contoh yang baik dari mereka.
Beberapa waktu setelah proklamasi dibacakan, Hatta mengeluarkan maklumat Wakil Presiden untuk memberikan kesempatan kepada semua kelompok politik mendirikan partai politik di Indonesia. Padahal bisa saja dia mendirikan satu partai bersama Soekarno dan menjadi pemimpin seumur hidup, tapi dia tidak melakukannya. Dia tidak memikirkan tentang Indonesia adalah suatu hal milik pribadi.
Lalu, hal serupa pernah dilakukan oleh Habibie. Di peralihan kekuasaan ketika dia diberi amanah menggantikan Soeharto, Habibie bisa saja menggunakan kekuasaan yang ada untuk menunjang dia terpilih kembali menjadi Presiden. Akan tetapi, dia justru mengambil langkah yang sangat tidak menguntungkan baginya secara politik. Dia melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Tindakan itu dianggap sebagai kesalahan, namun nyatanya Habibie mengambil langkah itu demi demokrasi.
Dari dua teladan tersebut, kita berharap kenegarawanan serupa dapat ditunjukkan oleh para pemimpin dan calon pemimpin bangsa. Posisi menjadi pemimpin itu bukan hanya soal membawa kepentingan pribadi dan golongan, kemudian melakukan kebaikan hanya ketika kita berkuasa, tetapi bagaimana membentuk kebijakan bisa membuat tegaknya sebuah bangsa walaupun itu bukan dilakukan oleh rakyat secara langsung.
Bagaimana harapan Anda ke depannya terkait peristiwa ini?
Kita berharap bahwa proses politik ini adalah momen pembelajaran bagi berbagai generasi. Yang terlibat dalam perbincangan politik bukan hanya para orang tua, aktivis, dan simpatisan, tetapi ada generasi pelanjut kita yang sedang menyaksikan proses ini.
Karena itu, jangan sampai yang justru dipertontonkan kepada mereka adalah praktik politik yang culas, curang, menyebarkan hoaks, saling mengejek, atau pemimpin arogan misalnya. Itu adalah hal yang secara tidak langsung sedang kita wariskan kepada generasi penerus. Maka saya tekankan, pemimpin dan calon pemimpin itu sangat penting untuk menunjukkan keteladanan karena mereka akan memimpin rakyat secara luas.
Data Diri Narasumber:
Nama: Endang Sari SIP MSi
Tempat/Tanggal Lahir: Watampone, 15 Oktober 1985
Riwayat Pendidikan:
S1: Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, 2009
S2: Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, 2014