Beberapa bulan lalu masyarakat Indonesia digemparkan tentang penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo, anak dari Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jendral Pajak Jakarta II, Rafael Alun Trisambodo.
Atas kasus tersebut, ramai beterbangan di media sosial terkait gaya hidup Dandy. Jejak digital menunjukkan bahwa ia gemar pamer harta, mulai dari motor gede sampai Jeep Rubicon. Hal ini menggelitik sejumlah masyarakat, hingga membandingkan bentuk penghasilan orang tuanya dengan barang-barang yang dimiliki.
Semenjak mencuatnya kasus anak pejabat pajak yang suka pamer kekayaan dengan harta Rafael Alun yang mencapai 56 miliar. Hal ini membuat masyarakat mengancam untuk tidak membayar pajak karena mencurigai adanya korupsi yang terjadi di instansi pajak.
Lantas bagaimana sebenarnya kondisi sosial yang menggambarkan situasi ini. Bagaimana pula peran pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut dan mengembalikan rasa percaya masyarakat kepada pejabat negara?
Mari simak wawancara khusus Kru PK identitas Unhas, Nurul Hikma bersama Ahli Sosiolog sekaligus Ketua Program Studi Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas, Dr Rahmat Muhammad MSi, Sabtu (18/03).
Bagaimana pandangan Anda terkait perilaku pejabat negara yang suka pamer kekayaan di media sosial?
Pada kondisi seperti itu, tak dipungkiri setiap orang bisa melakukannya. Terlebih tidak ada larangan untuk setiap orang memiliki kekayaan. Apa yang terjadi sebenarnya bukan perilaku pejabatnya langsung tapi kecenderungan pada gaya hidup yang disebut hedonisme, saat keluarganya yang melakukan tindak pamer lebih besar.
Banyak di antara keluarga pejabat memanfaatkan fasilitas orang tuanya tapi luput bahwa kekayaan tersebut bukan miliknya. Walaupun memang tidak dipungkiri kekayaan ini dapat dinikmati oleh keluarganya yang lain. Kejadian kemarin tak disangka akan berdampak begitu luas, hingga berujung ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Apa yang menyebabkan para pejabat atau anak pejabat gemar memamerkan harta kekayaannya atau mereka hanya sekadar haus penghargaan?
Istilah pamer harta itu sesungguhnya menjadi jurang antara kaya dan miskin. Pamer harta boleh dikata istilah yang tidak wajar. Apalagi di tengah masyarakat, beberapa di antara mereka bahkan untuk makan saja susah.
Dalam pendekatan sosiologi, kondisi ini dikategorikan patologi sosial atau penyakit sosial. Salah satu penyakit ketika seseorang merasa dihargai saat menunjukkan kekayaan atau kelebihannya. Merasa bangga jika ada jurang pemisah antara kaya dan miskin.
Perbedaan posisi yang mereka miliki membuatnya menjadi bebas. Bebas melakukan apa saja bahkan tindakan penganiayaan hingga kasus kriminal sekalipun. Tidak ada ketakutan karena kelebihan itu dapat melindunginya dari konsekuensi yang ditimbulkan. Indikator kehebatannya melekat pada uang dan kekuasaan.
Mengapa tindakan pamer kekayaan di media sosial dapat memicu terjadinya penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat negara?
Kejadian kemarin adalah pintu masuk mengorek kekayaan institusi yang lain, bahwa ada yang tidak normal. Menjadi masalah sosial saat terjadi kecemburuan sosial pada masyarakat.
Itulah yang dikhawatirkan, ada paradoks dan sadar kewajiban membayar pajak. Orang yang awalnya tidak bayar pajak lebih yakin dengan asumsi untuk apa bayar pajak jika pada akhirnya dinikmati pejabat untuk kemewahan.
Besar sekali pengaruh hilang kesadaran, beberapa kasus menimpa orang pajak. Seperti dulu Gayus, pengambilan kesimpulan masyarakat menjadi lain akan pajak. Itu tantangannya, pajak penting untuk keberlangsungan. Tetapi jika begini modelnya orang-orang akan apatis dan ragu bila ini memperkaya pihak tertentu.
Bahkan muncul pernyataan di masyarakat tentang perbedaaan zakat dan pajak, zakat dari orang kaya untuk orang miskin. Pajak itu dari orang miskin untuk orang kaya. Jadi seolah olah pajak itu diambil dari orang miskin untuk menafkahi orang kaya, tapi itu kan seharusnya pernyataan yang tidak benar. Stigma itu ada karena kondisinya terlihat.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pajak?
Pemerintah harus mempertegas regulasi, bahwa pajak yang dibayar tidak salah sasaran dan bisa dipertanggung jawabkan. Untuk kasus Mario ini harus ditindak hukum, tidak boleh dihindari. Jika tidak, maka akan berpotensi dilakukan pejabat lain dan masyarakat tidak mau lagi percaya. Pemerintah perlu meyakinkan masyarakat bahwa kasus ditangani serius. Sanksi berat menjadi bukti untuk pejabat lain agar tidak melakukan hal serupa.
Bagaimana peran kampus dalam menindak perilaku pamer kekayaan yang dilakukan oleh pejabat negara?
Jika di kampus, berbicara normatif, ada teori dan sebagainya. Tapi tak dipungkiri kampus dapat efeknya. Semua institusi harus introspeksi. Gaya hidup sederhana harus kita prioritaskan walaupun ada kepemilikan tapi tidak dipamerkan. Di manapun dan dalam kondisi apapun sangat tidak dibenarkan yang namanya berlebihan.
Data diri narasumber
Nama: Dr Rahmat Muhammad MSi
Tempat, tanggal lahir: Parepare, 13 Mei 1970
S1: Sosiologi, Universitas Hasanuddin
S2: Sosiologi, Universitas Gadjah Mada
S3: Ilmu Sosiologi, Universitas Hasanuddin