Wadah Pendidikan berkarakter; layu sebelum berkembang.
Tinggal menghitung hari lagi, kampus-kampus negeri di Indonesia akan kedatangan mahasiswa baru (maba). Masa peralihan status siswa menjadi mahasiswa menjadi ajang perguruan tinggi, dan lembaga kemahasiswaan untuk memberikan pengenalan kehidupan kampus.
Maka kita mengenal sistem Penerimaan dan Pengembangan Karakter Mahasiswa Baru (P2KMB), kemudian berubah menjadi Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) pada 2022 ini, merupakan wadah penting untuk para calon mahasiswa.
Dalam pengenalan kehidupan kampus, Universitas Hasanuddin memiliki orientasi sendiri yang berusaha menumbuhkan nilai-nilai MARITIM, atau Manusiawi, Arif, Religius, Integritas, Tangguh, Inovatif dan Mandiri. Karakter ini sebagai bekal untuk keberhasilan dalam menempuh pendidikan di kampus.
Namun dilihat kenyataannya, sering kali sivitas akademika belum mewujudkan nilai-nilai MARITIM, melanggar peraturan seperti Tata Tertib Kehidupan Kampus (Keputusan Rektor Unhas Nomor: 1595/UN4/05.10/2013) dan Kode Etik Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Peraturan Senat Akademik Universitas Hasanuddin Nomor: 2/UN4.2/2020).
Contohnya, pelanggaran berat tawuran antara dua kelompok mahasiswa yakni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan Fakultas Peternakan (Fapet) pada Mei 2022 ini. Permasalahan yang berujung pada tawuran umumnya berawal dari hal sepele. Dikutip dari identitasunhas.com, “Semua pihak mengklaim dirinya benar, padahal hal sepele (masalah personal yang terjadi 5 bulan sebelum terjadi tawuran) lalu jadi isu fakultas,” jelas Wakil Rektor 3, Prof Dr drg A Arsunan Arsin MKes , Kamis (26/5).
Saat diwawancarai pada hari Jumat (1/07), Ketua Komisi Disiplin (Komdis) FIB, Drs M Dalyan Tahir M Hum menjelaskan bahwa kasus tawuran ini masih sementara diusut.
Tawuran jelas tidak mencerminkan nilai-nilai MARITIM dan tidak mewujudkan mahasiswa yang telah mengikuti P2KMB dan Basic Learning Skills Character And Creativity (BALANCE) tersebut. Bahkan jika dilihat dari pedoman PKKMB Unhas 2022, tujuan khususnya adalah mengenalkan pentingnya pendidikan berkarakter dan menjalin keakraban antara seluruh sivitas akademika.
Menelisik masih munculnya permasalahan seperti tawuran, dan pelanggaran lainnya. Pertanyaannya, apakah kampus kurang menyiapkan dan mematangkan wadah-wadah tersebut? Atau mahasiswa yang apatis dalam proses adaptasi pendidikan berkarakter di lingkungan kampus?
Menurut pakar Sosiologi Pendidikan, Dr Mansyur Radjab M Si pendidikan berkarakter memiliki tiga poin penting yakni kecerdasan intelektual, emosional dan secara spiritual (iman).
Dia menjelaskan telah lama dilakukan pendidikan berkarakter dan sudah banyak sekali wadah pengembangan karakter kepada mahasiswa. Namun permasalahan seperti tawuran masih lumrah terjadi karena dari awal masuknya mahasiswa ke Unhas, sudah dibentuklah dan dikembangkan identitas kelompok masing-masing.
Identitas kelompok ini mengakibatkan pembelahan antara mahasiswa sehingga tidak bisa berbaur sesama warga kampus. Bahkan menurutnya adanya wadah-wadah yang menekankan identitas kelompok (contohnya seperti BEM Fakultas, Himpunan, UKM dan lain-lain) menimbulkan permasalahan seperti tawuran.
“Secara sosiologis, pasti itu melekat simbol-simbol mereka jadi memang perlu ada kegiatan yang dapat melebur mahasiswa sehingga identitas-identitas kelompok dapat terkikis,” ucapnya saat dikunjungi di ruangannya, Rabu (20/07).
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) ini mengatakan persoalan tawuran terjadi disebabkan dari masalah pribadi yang ujungnya membawa kelompok masing-masing.
“Tawuran merupakan masalah klasik, ketika lembaga-lembaga mahasiswa membawa identitas atau simbol-simbolnya, permasalahan pribadi dapat menjadi masalah kelompok. Sekarang perasaan saling memiliki satu sama lain itu sudah hilang karena berubahnya Posma (Pekan Orientasi Mahasiswa) yang sekarang dilakukan di fakultas masing-masing,” ujar Mansyur.
Selain tawuran, pelanggaran lain yang menyebabkan masih perlunya ditingkatkan pendidikan karakter yakni ketidakjujuran. Kasus perjokian yang melibatkan dua mahasiswa yang dilaporkan oleh dosennya. Seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) yang sedang mengikuti lomba bersamaan dengan ujiannya sehingga dia meminta tolong kepada temannya untuk mengerjakan ujian atas namanya.
“Jadi setelah kami mendengarkan dari kedua belah pihak kasus tersebut, akhirnya kami memutuskan memberikan rekomendasi berdasarkan aturan akademik hukuman yang sesuai dengan pelanggaranya,” ucap anggota Komdis FIKP, Nita Rukminasari SPi MP PhD.
Serupa tapi tidak sama, juga dialami dosen FMIPA ketika perkuliahan sedang berlangsung dia mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan terhadap mahasiswanya yang menurutnya tidak mencerminkan seorang yang berkarakter.
“Saya pernah waktu mengajar daring, ada mahasiswa yang acungkan jari tengah ke kamera. Menurut saya itu yang paling tidak mengenakkan,” ujarnya, Jumat (17/06).
Bercermin dari ketiga kasus ini, evaluasi terhadap pengembangan pendidikan berkarakter di lingkungan kampus seperti PKKMB, BALANCE, Mata Kuliah Umum (Pancasila, Kewarganegaraan), SAINS, dan wadah non formal lainnya di lembaga kemahasiswaan perlu dilakukan.
Pakar Psikologi Pendidikan, Dr Muhammad Tamar M Psi, mengatakan pendidikan berkarakter penting dan tidak penting. Penting karena salah satu tujuan pendidikan. Semua nilai-nilai yang diharapkan dari hasil pendidikan berkarakter dari berbuat baik, berintegritas, hingga jujur sudah diimplementasikan sejak dini.
“Semua karakter telah kita pelajari sejak TK, SD, SMP, SMA, jadi tidak bisa kita memvonis jika ada mahasiswa melanggar peraturan tertulis. Sebab ada kelanjutan dari pendidikan yang pernah dia tempuh sebelumnya,” jelasnya.
Lebih lanjut, dosen Psikologi ini menjelaskan sebenarnya lingkungan memiliki peran besar dalam mengembangkan karakter seseorang, namun semua kembali kepada nilai-nilai dasar seseorang. Nilai-nilai yang dimaksud seperti berintegritas yang dibentuk oleh pembiasan.
“Semua akan dilihat bagaimana dia berkarakter saat diuji, misalnya saat melihat orang lain buang sampah sembarang dan dia tidak akan melakukan hal sama. Lebih memilih untuk membuang sampah pada tempatnya karena dasarnya sudah bagus,” tuturnya saat ditemui, Jumat (22/07).
Selain memperhatikan nilai-nilai dasar, faktor lingkungan, dan masalah mengimplementasikan nilai karakter. Perlu mengembalikan kepada hal yang lebih sederhana, lebih fokus kepada individu, bukan organnya atau identitas kelompoknya.
“Saya melihat pendidikan berkarakter sulit dikontrol di universitas jadi semua kembali kesadaran masing-masing karena pasti akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri,” tutupnya.
Selain memperhatikan pendidikan berkarakter di setiap individu-individu, stagnannya kualitas pendidikan berkarakter di kampus karena menguatnya identitas kelompok. Hal ini menunjukkan wadah-wadah pengembangan pendidikan karakter di kampus, layu sebelum berkembang.
Baca juga artikel menarik lainnya di identitas Unhas – Ulasan
Arf, Ily