Dua tahun lalu, saya pernah menjadi moderator dalam sebuah kegiatan Dialektika (Dialog Interaktif Antarkita), salah satu program kerja dari bidang keilmuan Himpunan Pelajar Mahasiswa Wajo Koperti Unhas. Topik yang diangkat pada dialog kali ini membahas tentang buku yang berjudul Seks, Tuhan, dan Negara.
Secara singkat, buku yang ditulis oleh Soe Tjen Marching ini berawal dari sudut pandang penulis yang cukup miris dengan isu seks yang sering kali menjadikan perempuan sebagai subjek utama stigma negatif masyarakat. Menurutnya, seks selalu diartikan sebagai hal yang tabu, namun negara dan Tuhan gemar sekali mengaturnya, terutama terhadap perempuan.
Perempuanlah yang sering kali menjadi sasaran berbagai peraturan tentang pakaian dan perilaku seksual. Hal ini menandakan bahwa bila cara berfikir sudah dibentuk oleh penguasa, maka akan mudah dikendalikan untuk memenuhi tujuan tertentu. Karenanya, penulis melalui kata-katanya mencoba melawan berbagai propaganda dan dogma tersebut.
Saat dialog berlangsung, perhatian saya terfokus pada salah satu pembahasan mengenai pendidikan seks bagi anak-anak. Banyak peserta yang mengaku bahwa seks adalah sesuatu yang sangat sensitif untuk dibicarakan bahkan tidak pantas untuk diperkenalkan kepada anak meskipun sejatinya ia penting.
Menurutnya, pendidikan seks bisa saja menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, anak menjadi lebih tahu tentang orientasi seks, penyakit menular seksual, kehamilan, bagaimana gerak-gerik pelaku seks dan lebih bisa mengantisipasi terjadinya pelecehan seksual. Kedua, anak akan menjadi penasaran mengenai cara melakukan seks yang dalam dalam hal ini berujung ke arah “negatif.”
Dua kemungkinan di atas menurut saya sebenarnya sangat tergantung pada kondisi lingkungan sekitar anak. Ketika mereka berada pada lingkungan yang tepat, maka pendidikan seks bisa direalisasikan dengan baik oleh anak. Namun sebaliknya, keadaan lingkungan yang tidak cukup mendukung tak ayal akan membuat mereka mencari jalan alternatif untuk mengakses pendidikan seks, seperti internet pada masa kini. Sebagian mengakses konten pornografi untuk memenuhi kebutuhan seksualitasnya, sebagian lainnya menelusuri Google.
Informasi di internet yang tidak disaring oleh anak karena rendahnya tingkat literasi digital bisa menimbulkan dampak negatif. Alih-alih memperoleh informasi yang akurat soal reproduksi dan relasi, anak bisa semakin tersesat akibat membaca sumber-sumber yang tidak sepantasnya. Kemungkinan kedua inilah yang menurut pandangan saya sangat berpotensi terjadi pada anak di tengah pesatnya perkembangan teknologi sekarang.
Tak bisa dipungkiri, pendidikan seks memang mendapat banyak sekali kontra dari masyarakat. Antipati terhadap pendidikan seks salah satunya didukung oleh anggapan bahwa hal ini hanya akan memperbesar potensi anak melakukan hubungan seks di bawah umur atau di luar ikatan pernikahan. Padahal, lingkup pembahasan pendidikan seks tidak hanya berkaitan pada hubungan intim saja.
Saya pernah membaca sebuah artikel bahwa pendidikan seks akan memotivasi anak-anak untuk melakukan kegiatan seks lebih awal adalah anggapan yang secara empiris tidak benar. Hal ini dikarenakan anak yang memiliki pengetahuan tentang hubungan seksual akan beresiko menjadi lebih berhati-hati ketika memutuskan untuk melakukan hubungan tersebut. Karenanya, mereka yang memiliki pengetahuan cukup, baru akan melakukan seks ketika menginjak umur yang lebih matang.
Lantas, apakah pendidikan seks menjadi solusi bagi anak atau justru menjadi masalah?
Merujuk pada pro kontra di atas, saya berpandangan bahwa pendidikan seks bisa dikatakan solusi sekaligus menjadi alternatif pembelajaran bagi anak sebelum beranjak dewasa. Namun sayangnya, budaya Indonesia yang cenderung konservatif turut mempengaruhi rendahnya pendidikan seksualitas secara menyeluruh. Padahal pada dasarnya, gairah manusia itu sudah muncul semenjak ia mengalami masa pubertas, jauh dari tanda yang dianggap sebagai dewasa.
Ketika anak-anak tidak tahu cara mengontrol gairah seksnya secara sehat, maka saya khawatir mereka akan jatuh ke hal negatif yang lebih beresiko menghasilkan banyak masalah sosial. Bagi saya, pendidikan seks akan terbentuk saat seks menjadi sesuatu yang rekreatif (Penyegaran badan dan pikiran). Adanya kesadaran akan timbulnya resiko akibat seks rekreatif inilah yang menjadikan pendidikan seksual penting bagi anak-anak.
Pendidikan seks merupakan sebuah pembelajaran yang memberikan informasi dan pemahaman mengenai seksualitas, bukan asal tutorial hubungan. Dalam kata lain, mereka yang menganggap seks sebagai hal yang tabu muncul karena ketakutan terhadap ketidakpahaman. Sehingga bagi saya justru orang-orang yang menabukan seks adalah orang yang kemungkinan paling butuh pendidikan seks.
Terlepas dari asumsi saya mengenai pentingnya pendidikan seks bagi anak, nyatanya masih banyak orang yang masih konservatif akan hal ini sehingga masalah yang mungkin akan timbul adalah dari mereka yang tidak mau diedukasi, belum mengerti dengan masalah, dan ketidaknyamanan mereka menerima nilai-nilai baru.
Untuk itu, sangat perlu penanaman edukasi bukan untuk anak-anak tapi lebih awal kepada orang tua supaya mereka memiliki pengetahuan yang tepat tentang pendidikan seksual, dampaknya apa, dan hal lain yang berkaitan. Ketika edukasi ini diterima dan dipahami oleh orang tua, maka barulah pendidikan seks diperkenalkan dan diajarkan pada anak-anak.
Miftahul Janna
Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2020
Sekaligus Bendahara PK identitas Unhas 2024