“Biarkan buku-buku itu menjadi nisan dan tanda bahwa saya pernah hadir di dunia ini setelah saya meninggal nanti.”
Idwar Anwar, seorang alumni Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas), menghidupkan prinsip karyanya akan menjadi jejak yang dapat terus dikenang setelah ia tiada. Motivasi tersebutlah yang mendorongnya untuk terus menulis dan menerbitkan karya-karya selama hidupnya.
Sejak masa kecil, Idwar sudah terbiasa membantu ibunya memenuhi kebutuhan keluarga dikarenakan ayahnya yang telah tiada dan keterbatasan ekonomi yang dialami keluarganya.
Namun, kecintaan Pria kelahiran Oktober ini pada buku, ia sering mencuri buku dari perpustakaan sekolah. Meskipun demikian, buku-buku tersebut menjadi sumber inspirasi dan pengetahuan baginya.
Sampai saat masa ospek, Idwar merupakan anak yang sangat pemalu, bahkan untuk berdiri di depan teman-teman saja ia gemetar tak karuan. Tetapi, ia sadar ia tidak bisa menjadi pemalu seumur hidupnya. Ia menyadari bahwa tidak bisa terus menjadi pemalu sepanjang hidupnya.
Idwar ingat betul, ia sempat memberikan sambutan saat masa orientasi di panggung mengenakan sarung, yang membuat teman-temannya tertawa. Dengan kepercayaan diri tersebut, ia semakin bertumbuh dan mulai menjalin hubungan dengan orang-orang yang berpengaruh.
Pria kelahiran Oktober ini menyebut, ia memulai kegemarannya menulis sejak SMP. Namun, ia baru mulai sering mengirimkan tulisan berbagai rubrik ke penerbit surat kabar saat di bangku kuliah.
Idwar bercerita, ia menerbitkan kumpulan puisi miliknya sendiri dan kemudian menjualnya untuk mendapatkan kembali modalnya. Tanpa disangka, Rektor Unhas saat itu menempatkan karya tipis Idwar di antara buku-buku tebal miliknya.
Namun, hal ini justru membuat Idwar tersinggung, dan akhirnya dia memutuskan untuk menyelesaikan sebuah ensiklopedia berjilid agar karyanya dapat terlihat dari kejauhan saat dipajang. Alasan tersebut membuat Idwar mulai menulis Ensiklopedi Sejarah Luwu dan Ensiklopedi Kebudayaan Luwu.
Tak hanya itu, ia juga dikenal sebagai pemrakarsa dan pelopor Buku Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) Sejarah dan Kebudayaan Luwu untuk tingkat SD, SMP, dan SMA. Buku ini telah dipelajari di sekolah yang ada di Tana Luwu, termasuk Palopo, Luwu, Luwu Utara, dan Luwu Timur, sejak tahun 2008.
Mantan Ketua Gerakan Sayang Buku dan Ibu Suka Membaca (GERSAKUISME) Kota Palopo ini telah memberikan sumbangsih yang besar dalam mengenalkan dan melestarikan sejarah serta kebudayaan Luwu melaelui pendidikan formal.
“Bagi saya, ini adalah hutang kultural. Saya lahir di Kabupaten Luwu tetapi tidak bisa memberikan apa-apa, hanya ini kemampuan yang bisa saya berikan,” ucapnya.
Pendiri Media Online Arung Sejarah ini meneruskan pengabdiannya menjadi penulis pertama yang melakukan penulisan ulang Epos La Galigo, salah satu Epos terpanjang dan terbesar di dunia dan menjadi novel populer sebanyak 12 jilid.
Menurutnya, La Galigo terlalu sulit untuk dipahami oleh kaum muda. Ceritanya yang tidak memiliki karakter kuat juga menjadikannya sulit dicerna. Idwar ingin mahakarya itu dapat dengan senang diterima oleh masyarakat, khususnya para pemuda masa kini.
Catatan kaki juga dimanfaatkan Idwar untuk memperjelas bagian yang mungkin susah diartikan. Bukan hanya sebagai pemberi arti, ia ingin catatan kaki itu menjelaskan dengan detail sehingga pembaca dapat membayangkan dan menafsirkannya dengan benar.
“Saya ingin membuat orang mengerti La Galigo lebih dalam tanpa harus membaca karya aslinya,” tuturnya.
Baginya, konsistensi dalam menulis sangat penting. Karena seberapa hebat pun seseorang, kemampuannya akan sulit berkembang jika tidak terus diasah. Bahkan jika seseorang berhenti menulis, ia harus memulai lagi dari awal.
Ia berharap kelak ia dapat berkontribusi dan mengembangkan literasi di masyarakat, terutama di desa-desa, melalui pendirian perpustakaan keliling dan kelompok literasi untuk anak-anak. Dengan demikian, Idwar tidak hanya fokus pada penciptaan karya pribadi, tetapi juga pada upaya untuk memperluas akses dan apresiasi terhadap literasi di kalangan masyarakat.
Najwa Hanana