Pernahkah kita bertanya, apa arti menjadi muda di tengah situasi politik yang penuh tekanan? Apakah cukup dengan mengikuti arus atau justru berani melawan meski harus sendirian?
Pertanyaan ini terasa hidup ketika menyaksikan film Gie (2005) karya Riri Riza yang menghadirkan kembali sosok Soe Hok Gie, seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dengan keberanian menentang ketidakadilan di masa 1960-an.
Walau umurnya terbilang singkat, gagasan dan keberaniannya jauh melampaui usianya. Semasa hidup, ia menulis, bersuara, dan menolak diam, hingga catatan hariannya dibukukan dengan judul Catatan Seorang Demonstran yang menjadi sumber inspirasi film ini.
Film Gie tidak hanya sekadar menampilkan catatan sejarah dalam bentuk visual. Ia mencoba menangkap semangat seorang pemuda yang mempertaruhkan kenyamanan pribadinya demi idealisme. Kisah perjalanan hidupnya disajikan dengan sentuhan yang tidak kaku.
Dari film ini, kita tidak hanya menyaksikan kehidupan seorang mahasiswa jurusan Sejarah, tetapi juga menyingkap pergulatan seorang pemuda gelisah akan arah bangsa.
Nicholas Saputra, yang kala itu masih tergolong baru di dunia akting, dipilih sebagai pemeran utama dan berhasil menghadirkan sosok Gie dengan meyakinkan. Didukung dengan pemain lain seperti Wulan Guritno dan Lukman Sardi, film ini meneguhkan posisinya sebagai salah satu produksi terbaik pada masanya.
Keunggulan Gie tidak hanya terletak pada akting, tetapi juga pada kekuatan visual. Penata sinematografi, Yudi Datau, berhasil menghidupkan suasana 1960-an dengan detail dan cermat. Penonton seakan-akan dibawa mundur ke masa itu, melihat gaya busana, kendaraan, ruang kuliah, dan jalanan kota yang terasa otentik.
Meski sudah dirilis sejak dua dekade lalu, Gie tetap segar untuk disaksikan. Alih-alih tampak ketinggalan zaman, sinematografi serta detail masa lalu yang puitis justru membuatnya terasa timeless.
Pengakuan atas kualitas film ini datang dari berbagai ajang penghargaan. Pada Festival Film Indonesia 2005, Gie meraih Piala Citra untuk Film Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik (Nicholas Saputra), serta Tata Sinematografi Terbaik (Yudi Datau). Tidak berhenti di situ, film ini juga mendapat apresiasi di Festival Film Bandung dan MTV Indonesia Movie Awards.
Penokohan dalam Gie membuat film ini istimewa. Gie tidak digambarkan sebagai pahlawan serba benar, melainkan sebagai manusia penuh keraguan, kesepian, dan pencari makna. Potret ini mendekatkannya dengan penonton, karena ia tampil sebagai pemuda yang berjuang dalam keterbatasan, bukan figur ideal yang jauh dari realitas.
Menonton Gie hari ini bukan hanya kembali ke perjalanan masa lalu, tetapi juga refleksi tentang masa kini. Apa yang dikritik Gie pada masanya seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga keberpihakan politik pada kelompok tertentu, masih menjadi persoalan bangsa sampai saat ini.
“Hingga hari ini, harapan Soe Hok Gie tentang pemerintahan Indonesia yang bersih dari korupsi dan kehidupan politik yang tidak berpihak pada golongan, ras atau agama belum terwujud.”
Sebagai penutup film Gie, kalimat tersebut lantas menimbulkan sebuah pertanyaan, sudahkah kita menjawab harapan itu, ataukah justru masih membiarkan suara Gie bergema sendirian?
Azzahra Dzahabiyyah Asyila Rahma
