“Mempelajari makanan tradisional adalah cara untuk memahami hubungan yang lebih harmonis antara manusia dan alam.” -Wilda Yanti Salam.
Di tengah hiruk pikuk modernisasi yang terus mengalir deras dan sangat cepat, seorang peneliti sosial budaya juga penulis lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin (Unhas) ini tetap teguh menjaga warisan kuliner tradisional Sulawesi Selatan. Wilda Yanti Salam, dengan kecintaannya pada makanan dan budaya, telah mengabdikan dirinya untuk mendokumentasikan, mendalami, dan melestarikan kekayaan kuliner lokal melalui berbagai akses dalam kehidupan.
Wilda, demikian sapaan akrabnya, bercerita tentang perjalanannya dalam dunia kuliner yang dimulai dari lingkungan terdekat, tepatnya dalam dapur keluarga. Bermodalkan dapur tersebut, ia mulai memiliki ketertarikan dengan makanan. Dalam keluarganya, makanan tidak hanya sekadar kebutuhan, melainkan prioritas utama yang membentuk identitas dan nilai-nilai kebudayaan yang dianutnya hingga saat ini.
Keresahan terhadap minimnya dokumentasi sejarah makanan dalam literatur mendorong Wilda untuk menulis buku Kisah Kasih dari Dapur (2024). Buku ini tidak hanya berisi kumpulan resep, tetapi juga rangkaian esai yang mendalami hubungan antara kuliner dan budaya di Sulawesi Selatan, khususnya dalam tradisi Bugis. Wilda menyadari bahwa pembahasan mengenai makanan seringkali terabaikan dalam buku-buku sejarah.
“Kenapa kita tidak memulai sesuatu yang baru? Dengan mengeksplorasi kebudayaan melalui masakan yang kita buat di dapur, kita bisa memahami asal-usul makanan yang ada,” ungkapnya, Sabtu (28/09).
Ketika bergabung dengan komunitas literasi Kampung Buku, Wilda kemudian menciptakan titik temu antara kuliner dan budaya. Ia mulai menyadari pembahasan tentang makanan umumnya hanya berfokus pada teknik memasak, dan jarang mengungkap keterkaitan mendalam antara kuliner, sejarah, dan nilai-nilai budaya. Hal ini memicu rasa ingin tahu Wilda untuk mengeksplorasi bagaimana makanan dapat menjadi cermin dari hubungan budaya dan identitas.
Proses riset untuk bukunya tidak selalu dilakukan dalam format akademis formal. Sebaliknya, percakapan santai di dapur rumah dan diskusi dengan anggota keluarga menjadi sumber inspirasi dan ide utama. Baginya, riset tidak hanya bergantung pada pendekatan akademis, tetapi juga melibatkan kepekaan indera dalam merekam dan menggali berbagai aspek di sekitarnya yang berkaitan dengan kuliner.
Selama perjalanannya, baru-baru ini Wilda juga memprakarsai sebuah proyek monumental dalam bentuk serial dokumenter berjudul Pacukka: Budaya Pengasam di Sulawesi Selatan. Dokumenter ini mengeksplorasi lima bahan pengasam khas dari berbagai kabupaten di Sulawesi Selatan, mulai dari jeruk nipis di Makassar hingga daun uri di Enrekang. Melalui proyek ini, Wilda ingin menggali lebih dalam tentang peran rasa asam dalam budaya kuliner lokal.
“Mengapa rasa asam menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya makan di Sulawesi Selatan? Bahkan dalam hidangan sederhana seperti nasi goreng, jeruk nipis sering kali menjadi pendamping wajib,” ungkapnya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong lahirnya dokumenter tersebut.
Di antara beragam hidangan yang telah ditelitinya, kapurung menempati posisi istimewa. Hidangan khas Bugis ini, menurut Wilda, tidak hanya menarik dari segi cita rasa, tetapi juga sarat makna filosofis. Fleksibilitas dalam pemilihan lauk dan konsep kebersamaan yang melekat pada kapurung mencerminkan karakter Wilda yang ekstrovert dan cinta pada kebersamaan.
“Kapurung itu tidak bisa dinikmati sendirian. Hidangan ini mengajak kita untuk berkumpul dan makan bersama, dan itu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi saya,” tuturnya.
Sebagai peneliti dan penulis, Wilda tidak melihat kegiatannya hanya sebagai pekerjaan, melainkan sebagai bagian dari jati dirinya. Baginya, menulis dan meneliti sudah menjadi kebiasaan sekaligus kelebihan yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Ia memandang aktivitas tersebut sebagai cara untuk terus belajar dan bertumbuh.
Untuk menjaga semangat dan inspirasinya, Wilda menekankan pentingnya memperkaya wawasan melalui berbagai cara, seperti membaca, bepergian, dan berinteraksi dengan beragam kalangan. Semua kegiatan ini menjadi sumber pengetahuan dan ide-ide baru yang tak pernah habis, memperkuat dedikasinya dalam mengabadikan warisan kuliner dan budaya.
Melalui @Memodapur, sebuah inisiatif yang diprakarsai Wilda pada tahun 2019, ia terus mengajak generasi muda untuk lebih mengenal dan menghargai budaya kuliner Sulawesi Selatan. Mau Mati Tapi Sop Ubi Enak adalah salah satu program kolaborasi perdana yang digagas oleh Memodapur bersama Klub Buku Detakata dan Makassar Book Party. Acara ini mengajak peserta untuk merasakan petualangan gastronomi yang tak terlupakan dengan mengeksplorasi kelezatan kuliner lokal sekaligus menggali cerita budaya di baliknya.
Kedepannya, alumnus Ilmu Komunikasi Unhas ini berkomitmen tidak hanya mendokumentasikan resep dan teknik memasak, tetapi juga berupaya melestarikan filosofi, nilai, dan kearifan lokal yang terwujud dalam setiap suapan makanan tradisional Sulawesi Selatan. Bagi Wilda, apresiasi dari para pembaca dan penonton karyanya sudah menjadi balasan yang cukup atas dedikasi yang ia curahkan.
Wahyu Alim Syah