Perubahan iklim dan pemanasan global merupakan isu yang saat ini sedang hangat diperbincangkan. Kesadaran masyarakat, khususnya penduduk Indonesia tentang isu tersebut masih sangat rendah. Menyoroti hal itu, seorang sutradara bernama Chairun Nisa menggarap sebuah film berjudul Semes7a.
Dalam film ini, Chairun mengangkat sebuah kisah dari beberapa tokoh tentang langkah sederhana untuk menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan. Film Semes7a merupakan bentuk kampanye peduli lingkungan yang dikemas bukan hanya dari sisi manusianya, tetapi juga dari perspektif budaya dan agama.
Semes7ta merupakan film dokumenter Indonesia yang diproduseri Nicholas Saputra bersama Mandy Maharahimin pada tahun 2020. Film yang berdurasi 1,5 jam ini berhasil digarap berkat kerja sama antara Mitsubishi Motors dengan Kementrian Lingkungan dan Kehutanan(KLHK) Republik Indonesia.
Film yang telah tayang sejak 30 Januari lalu ini, bercerita tentang tujuh tokoh yang berasal dari latar belakang, tempat tinggal, budaya dan agama yang berbeda. Tujuh tokoh tersebut adalah Tjokorda Raka Kerthyasa (Budayawan di Ubud Bali), Agustinus Pius Inam (Kepala Dusun di Sungai Utik Kalimantan Barat), Romo Marselus Hasan (Pastor di Bea Muring NTT), Almina Kacili (Kepala Kelompok Wanita Gereja di Kapatcol Papua Barat), M. Yusuf (Imam di Desa Pameu Aceh), Iskandar Waworuntu (pendiri Bumi Langit di Yogyakarta), dan Soraya Cassandra (Petani Kota yang mendirikan Kebun Kumara).
Terbagi dalam tujuh babak, dikemas dengan latar menarik dan diikuti visual yang menampilkan keindahan Indonesia, membuat film ini semakin seru untuk dinikmati. Masing-masing babak menceritakan tentang bagaimana ketujuh tokoh tersebut memaparkan upaya mereka dalam menggali kekayaan alam, dan merawat Indonesia untuk meminimalisir dampak perubahan iklim.
Film tersebut diawali dengan cerita Tjokorda Raka Kerthyasa tentang ritual Nyepi yang menjadikan manusia dan alam seakan beristirahat. Dari Pulau Dewata, cerita bergulir ke provinsi Seribu Sungai, tepatnya di Dusun Sungai Utik, Kalimantan Barat. Di babak ini, diceritakan kisah masyarakat setempat memahami tata cara dan aturan adat dalam memanfaatkan sumber daya alam, khususnya hutan.
Ada pula cerita tentang pemanfaatan energi baru dan terbarukan, yakni pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang memanfaatkan sungai alami oleh masyarakat Bea Muring, Nusa Tenggara Timur (NTT). Cerita terus berlanjut ke ujung timur Indonesia tepatnya di Kapatcol, Papua Barat. Di mana ada cerita tentang Kelompok Wanita Gereja yang melakukan kegiatan untuk menjamin regenerasi biota laut.
Dari daerah timur beralih ke ujung barat Indonesia, penonton diajak untuk melihat masyarakat Kota Serambi Mekkah, tepatnya di daerah Pameu, Aceh. Di sana, masyarakat lebih memilih berdamai dengan alam saat para gajah liar memasuki desa dan merusak panen. Lalu, cerita ditutup dengan kisah seorang wanita di kota metropolitan Jakarta, yang membangun sebuah kebun belajar untuk membantu masyarakat perkotaan agar kembali terkoneksi dengan alam.
Selain menceritakan tentang langkah sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak krisis lingkungan, penonton juga seakan-akan dibawah menjelajahi Nusantara yang kaya akan keindahan alam dan budaya. Mulai dari barat ke timur, hingga dari kota ke pelosok desa. Pada intinya, film ini membuka mata kita bahwa agama maupun budaya di Indonesia memiliki semangat ekologis dan menjaga alam, termasuk suku-suku yang berada di pedalaman.
Secara keseluruhan film tersebut patut diapresiasi. Fungsi film dokumenter sebagai penyampai informasi yang berimbang dan pesan membangun sangat terpenuhi di film ini, tanpa melupakan sisi hiburannya. Namun sangat disayangkan, film Semes7a memiliki keterbatasan edar dan jumlah tayang. Sebagai contoh, film ini menceritakan masyarakat Aceh, tetapi penduduknya sendiri tidak dapat menonton dikarenakan tidak adanya bioskop di daerah tersebut.
Finsensius Titse Sesa
Data Film:
Judul: Semes7a
Sutradara: Chairun Nissa
Durasi: 1 Jam, 28 menit
Genre: Dokumenter
Tanggal Tayang: 30 Januari 2020